Cita-cita tinggi yang berimplikasi pada perubahan besar dan mendasar jelas menuntut komitmen, kerja keras, dan pengorbanan untuk mencapainya. Itulah yang terjadi pada Indonesia saat ini, yang sedang melakukan transformasi fundamental ekonomi, dari yang semula selalu bertumpu pada konsumsi, penjualan komoditi dan bahan mentah, menjadi fokus ke produksi, investasi dan industrialisasi.

Dalam kaitan itu, dua fokus utama pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah pembangunan infrastruktur dan ketahanan pangan, ditambah pengendalian subsidi harga bahan bakar minyak. Persoalannya, dalam melakukan transformasi besar yang fundamental itu, Indonesia menghadapi tantangan perlambatan ekonomi global, seperti juga negara-negara lain, serta kurs rupiah yang fluktuatif.

Masalah itu ditambah dengan faktor cuaca berupa kekeringan, yang dikombinasikan dengan perilaku tidak bertanggung jawab perusahaan pembuka lahan, yang menghasilkan kebakaran hutan dan lahan, serta bencana kabut asap yang memakan korban, bahkan berdampak ke negara-negara tetangga.
Pernah mengalami tiga booming –harga minyak, kayu, dan mineral dan pertambangan (minerba)—Indonesia melakukan kesalahan besar karena menjadi terlena. Pembangunan Indonesia terus-menerus mengandalkan pada kekayaan sumber alam. Selama puluhan tahun Indonesia tidak menyiapkan industri, investasinya, dan hilirisasinya. Untuk membalik kondisi yang sudah runyam itulah, pemerintah ingin fokus pada pembangunan infrastruktur.

Pemangkasan Anggaran Infrastruktur

Tekad dan semangat boleh tinggi, tetapi realitas ekonomi yang melambat memaksa pemerintah Jokowi mengubah prioritas. Pemerintah telah memangkas drastis anggaran infrastruktur dalam RAPBN 2016, serta merevisi prioritas-prioritas programnya.

Pengurangan ini terlihat pada pagu anggaran dalam RAPBN 2016 untuk dua kementerian teknis yang selama ini membidangi infrastruktur, yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Pagu kebutuhan anggaran Kementerian PUPR pada 2016 mencapai Rp 178,2 triliun. Sedangkan alokasi yang disiapkan dalam RAPBN hanya Rp 103,8 triliun, atau lebih rendah 41,8 persen. Sementara itu, anggaran Kemenhub dialokasikan Rp 50,2 triliun, atau hanya 52,4 persen dari pagu kebutuhan sebesar Rp 105,4 triliun.

Menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas, Sofyan Djalil, pengurangan anggaran infrastruktur itu disebabkan alokasi anggaran akan lebih diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Fokusnya adalah pada sektor-sektor yang akan mendorong pencapaian target pengurangan pengangguran. Target pengurangan pengangguran terbuka itu saat ini tidak berubah, padahal kondisi ekonomi sedang sulit.

Maka APBN harus digunakan untuk menyelamatkan atau menciptakan lapangan kerja.
Misalnya, dana desa tahun 2016 lebih dialokasikan untuk membangun industri atau pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) di wilayah pedesaan, bukan lagi fokus untuk membangun infrastruktur‎. Alokasi anggaran nanti juga akan lebih difokuskan untuk mengurangi kemiskinan, dengan cara mengalokasikan anggaran yang berdampak lebih langsung pada masyarakat, seperti jaminan-jaminan sosial.

Pembangunan Bendungan

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menyatakan, untuk 2016, kementeriannya mendapat anggaran Rp 103 triliun. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan anggaran 2015 sebesar Rp 118,5 triliun. Dalam situasi demikian, kementerian itu akan melanjutkan pembangunan yang sudah berjalan tahun 2015. Yakni, 22 bendungan yang mulai dikerjakan tahun ini, dan delapan bendungan baru lagi sesuai dengan rencana kerja pemerintah.

Yang juga dilanjutkan adalah pembangunan 78 ribu hektar irigasi rawa dan tambak, rehabilitasi 94 ribu hektar irigasi rawa dan tambak, pembangunan 126 km pengendali banjir, dan 7,3 km pengelolaan pantai. Juga, meneruskan pembangunan untuk konektivitas, termasuk jalan baru sepanjang 376 km, yang mencakup pula kawasan perbatasan. Sedangkan, pembangunan jalan Tol Trans Jawa ditargetkan harus tersambung paling lambat tahun 2018.

Di Kementerian PUPR, kekurangan anggaran terbesar berada di Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga sebesar Rp 33,2 triliun. Pagu anggaran dalam RAPBN 2016 hanya Rp 46 triliun, dari rencana kebutuhan Rp 79,2 triliun. Di Ditjen Sumber Daya Air hanya dialokasikan Rp 29,7 triliun, dari rencana kebutuhan Rp 62 triliun. Ini artinya, ada kekurangan anggaran Rp 32 triliun.

Sedangkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengakui, karena pengurangan alokasi anggaran, Kemenhub akan memetakan sejumlah program prioritas yang akan dikerjakan. Di Kemenhub, pengurangan terbesar berada di Ditjen Perkeretaapian yang menderita kekurangan anggaran sebesar Rp 25,9 triliun. Pagu anggaran dalam RAPBN 2016 hanya Rp 13,6 triliun, dari rencana kebutuhan Rp 39,6 triliun. Lalu di Ditjen Perhubungan Laut yang hanya mendapat anggaran Rp 15 triliun, dari kebutuhan Rp 28,6 triliun atau dipangkas hingga Rp 13,6 triliun.

Meski dihantam dengan pengurangan anggaran infrastruktur, Wakil Presiden Jusuf Kalla meyakini, kualitas dan jumlah pembangunan infrastruktur fisik pada 2016 akan lebih baik daripada tahun ini. Walau anggaran Kementerian PUPR menyusut hingga 10 persen, pembangunan infrastruktur fisik yang lebih baik itu akan terealisasi, asalkan Kementerian menjalankan tiga tahapan pembangunan dengan baik, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

Proses Lelang yang Tertib

Untuk mencapai target pembangunan dengan anggaran yang terbatas, Kementerian PUPR diimbau menjalankan proses lelang yang tertib dan tetap mengutamakan kualitas. Kementerian ini menargetkan penyerapan anggaran mencapai 44 persen pada akhir September 2015 dan terus meningkat hingga 93 persen pada akhir Desember 2015, dari total anggaran Rp 118,6 triliun.

Selain besarnya anggaran infrastruktur, faktor yang juga penting adalah langkah untuk mempercepat alokasi anggaran pemerintah, demi memicu pertumbuhan ekonomi 2016. Pihak Kementerian PPN/Bappenas tegas ingin memastikan agar proses tender, yang diselenggarakan di masing-masing kementerian dan lembaga, akan dilakukan di akhir 2015. Sehingga nantinya, ketika memasuki tahun 2016, pengerjaan proyek-proyeknya sudah dimulai. Selain mempercepat pertumbuhan ekonomi, ini juga menciptakan lapangan kerja.

Pembangunan infrastruktur merupakan unsur penting dalam transformasi ekonomi, yang akan memberi dampak signifikan pada jangka panjang. Dampak dari sulitnya konektivitas dan minimnya infrastruktur memicu disparitas harga barang konsumsi dan non-konsumsi yang sangat kentara. Harga kebutuhan pokok semen, misalnya, mencapai Rp 2 juta per sak di kawasan Pegunungan Tengah Papua. Hal ini menyebabkan lambatnya pelayanan pembangunan ke masyarakat di pedalaman Papua.

Dengan infrastruktur yang berkualitas layak dan berjumlah memadai, biaya distribusi logistik akan menjadi murah. Harga barang kebutuhan yang didistribusikan ke seluruh pelosok daerah juga menjadi lebih murah, sehingga pemerataan kesejahteraan rakyat juga diharapkan akan menjadi lebih mudah diwujudkan.

Oleh karena itu, dengan segala pemangkasan yang dilakukan terhadap anggaran infrastruktur pada RAPBN 2016, kita tetap berharap bahwa ini hanya kasus yang bersifat sementara dan tidak akan terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Fokus pemerintah harus tetap ditujukan pada pembangunan infrastruktur, meski dalam jangka pendek hasilnya tidak segera bisa dinikmati oleh masyarakat, yang menuntut hasil serba cepat. ***

Artikel ini ditulis oleh: