Rizal Ramli, mengkritik habis kebijakan pemerintah yang doyan ngutang, sampai-sampai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri lupa uang itu larinya kemana. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Ekonom Senior, Rizal Ramli mengatakan masyarakat telah dirugikan oleh keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang tak bisa menegosiasikan bunga utang menjadi lebih murah. Hal ini membuat bunga utang yang diperoleh Indonesia tinggi dan penerimaan pajak yang didapat dari masyarakat banyak disedot untuk membayar bunga utang tinggi.

Baca Special Report: Indonesia Darurat Utang?

Mantan Menko Ekuin era Presiden Gusdur ini mencontohkan, keputusan salah itu pernah dilakukan Sri Mulyani kala menjadi bendahara negara di era Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, Sri Mulyani menyepakati penerbitan utang kepada asing dengan bunga lebih tinggi sekitar dua persen dibandingkan surat utang yang diterbitkan negara-negara tetangga, yakni Filipina, Thailand, dan Vietnam. Padahal, peringkat surat utang ketiga negara tersebut lebih rendah dari Indonesia.

“SMI jadi Menkeu SBY, 2006-2010 terbitkan surat utang $43 milyar dgn bunga 2% ketinggian. Kerugian negara sekitar Rp130an Trilliun. Itu tidak prudent dan kriminal. Agar SMI tanggung jawab, tolong utang bunga mahal tersebut ditukar dgn utang bunga murah, karena harusnya Indonesia di bawah Thailand, Vietnam, dan Filipina,” ujarnya kepada aktual.com, Selasa (27/3).

Baca Juga: Utang Superbesar Bikin Indonesia Bubar?

Mantan Menko Kemaritiman yang digantikan Luhut Panjaitan ini menantang Sri Mulyani untuk menukar kembali surat utang luar negeri yang telah dikeluarkan Indonesia agar bisa mendapatkan bunga yang lebih murah dan tak membebani masyarakat. Menurutnya, Sri Mulyani seharusnya bisa memperjuangkan hal itu lantaran peringkat surat utang Indonesia yang sudah jauh lebih baik.

Penerbitan utang dengan bunga rendah sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Agus D W Martowardojo kala mengisi kursi bendahara negara yang ditinggalkan Sri Mulyani beberapa tahun lalu. “Ini sudah dibuktikan saat Agus Marto jadi Menteri Keuangan. Bunga bond saat itu turun satu persen dibandingkan tiga negara lain,” imbuhnya.

Selain itu, ia juga meminta Sri Mulyani untuk lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan dan merestrukturisasi utang pemerintah. Salah satunya, melalui negosiasi ulang dengan negara-negara kreditur untuk mengubah tenor utang dari jangka pendek ke jangka panjang.

Saat ini, menurut dia, sekitar 50 persen utang pemerintah adalah utang jangka pendek. Hal ini sering kali memberikan tekanan pada sektor keuangan Tanah Air.

“Bila berhasil, ini akan meningkatkan kestabilan keuangan dan juga dapat menurunkan tingkat bunga domestik,” terang Rizal.

Sri Mulyani juga dinilai dapat meniru langkah yang pernah dilakukan Rizal kala ia masih menjabat sebagai menteri keuangan pada 12 Juni hingga 9 Agustus 2001. Kala itu, pemerintah berhasil melunasi utang dari Kuwait, sehingga pemerintah Kuwait memberikan ‘hadiah’ atas pelunasan itu, melalui pembangunan proyek infrastruktur.

Bila hal-hal itu bisa diupayakan barulah tepat bila dunia memberikan predikat Menteri Keuangan terbaik kepada Sri Mulyani. Ia menilai predikat tersebut diberikan hanya karena pihak asing diuntungkan oleh keputusan bunga utang Sri Mulyani.

“Tentu, itu karena dia berikan bunga dua persen (lebih tinggi), lebih mahal dari negara lain. Sedangkan Menteri Keuangan Singapura, China, Jepang, tidak dapat penghargaan karena ketika menerbitkan bond, mereka negosiasi semurah mungkin demi kepentingan bangsanya,” celetuknya.

Negosiasi bunga utang, menurut dia, menjadi penting agar bisa menyehatkan kembali sektor keuangan Indonesia. Pasalnya, ia mencatat, mayoritas indikator keuangan saat ini mengalami defisit.

Neraca transaksi berjalan dan keseimbangan primer misalnya, pada tahun lalu, masing-masing mencatatkan defisit US$5,8 miliar dan Rp68,2 triliun. Selain itu, defisit pembayaran cicilan pokok dan bunga utang (service payment) meningkat hingga mencapai hampir dua kali lipat dari anggaran pendidikan dan infrastruktur saat ini sebesar Rp800 triliun.

“Menteri Keuangan selama ini selalu berpidato prudent, prudent. Apanya yang prudentWongsemuanya defisit. Apanya yang prudent? Ini prudent kalau semuanya positif,” pungkasnya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga Februari 2017, total utang pemerintah hingga akhir Februari 2017 menembus Rp4.035 triliun. Utang pemerintah masih didominasi oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp3.257,26 triliun atau 80,73 persen dari total utang pemerintah.

Adapun dalam dua bulan pertama tahun ini saja, pemerintah telah merealisasikan pembayaran bunga utang mencapai Rp34,43 triliun.