Satrio Arismunandar
Satrio Arismunandar

Politisi, mahasiswa yang berdemonstrasi, aktivis LSM, bahkan media, seringkali mengklaim bahwa aktivitas mereka didasarkan pada niat luhur untuk membela kepentingan rakyat. Tetapi siapakah yang dinamakan “rakyat” itu? Ada beberapa definisi tentang rakyat. Tetapi saya akan memilih definisi dari aktivis pergerakan merangkap politisi budayawan, Erros Djarot, yang saya kutip untuk artikel ini.

Rakyat, menurut Erros, adalah “mereka yang seharusnya bisa berdaya, namun tidak berdaya dikarenakan oleh sistem yang berlaku.” Erros membuat definisi itu ketika ia masih jadi aktivis oposisi pinggiran di zaman otoriter rezim Soeharto. Berdasarkan definisi ini, Jokowi, Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo Subianto, Surya Paloh, Setya Novanto, Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, adalah warga negara Indonesia. Namun, mereka bukan “rakyat” seperti yang kita maksudkan.

Pembangunan Indonesia dengan berbagai programnya ditujukan untuk mengangkat kepentingan rakyat, berdasarkan definisi di atas. Membangun manusia Indonesia bukan sekedar urusan ekonomi. Kita tak cukup sekadar membuat perutnya kenyang, tetapi ia juga harus mampu mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya. Orang yang cukup makan dan sehat, namun tidak berpendidikan dan tidak bisa membaca, dia belum berkembang secara budaya.

Oleh karena itu, di tengah derap pembangunan infrastruktur yang digalakkan pemerintah di berbagai daerah, kita merasa miris mendengar pengakuan jujur dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wapres mengatakan, rasio ketimpangan sosial (rasio gini) di Indonesia saat ini sudah masuk kategori lampu kuning. Artinya, jika tak segera diperbaiki, bukan tak mungkin ketimpangan ‎akan berimbas buruk, seperti terjadinya konflik.

Menurut Kalla, rasio gini di Indonesia saat ini sudah mencapai 0,41. “Jika ditafsirkan, 1 persen penduduk Indonesia saat ini menguasai hampir 50 persen aset bangsa,” ucap Kalla dalam sambutannya pada acara ulang tahun Universitas Paramadina ke-18 di Jakarta, 13 Januari 2016.

Kalla menyatakan, pemerintah tak tinggal diam menghadapi tingginya rasio gini tersebut. Setidaknya ada dua cara yang sudah dilakukan selama ini. Pertama, adalah mengoptimalkan pajak. Namun, untuk menggenjot penerimaan pajak, sistemnya juga harus berjalan baik. Untuk itu, pada sektor ini perlu teknologi inovasi agar capaian penerimaan pajak bisa ditingkatkan.

Cara kedua, adalah menaikkan golongan menengah. “Masyarakat harus dibiasakan berwiraswasta. Pemerintah juga sudah mengucurkan Kredit Usaha Rakyat sebanyak-banyaknya dengan bunga kecil,” ujar Kalla. Dia juga memuji layanan ojek berbasis daring, antara lain Go-Jek. Menurut Kalla, inovasi yang mereka lakukan bisa mengangkat harkat para tukang ojek dalam waktu singkat.

Pembangunan biasanya sangat mementingkan aspek ekonomi, sedangkan aspek ekonomi itu sangat mendewakan pertumbuhan. Dalam proses pertumbuhan itulah banyak rakyat yang tertinggal. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Pola pembangunan yang tidak seimbang membuat kesenjangan ekonomi dan ketimpangan sosial makin melebar.

Keprihatinan yang sama juga dinyatakan peneliti ekonomi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Agus Eko Nugroho. Ia mengaku miris dengan pertumbuhan ekonomi nasional, karena indeks pembangunan manusia terus merosot. “Fakta pertama, indeks pembangunan manusia (Human Development Index) belum menunjukkan perkembangan yang meyakinkan. Dari 188 negara, Indonesia menempati urutan 111,” kata Agus, pada 29 Desember 2015.

Kedua, ketimpangan ekonomi antara kelompok tajir dengan masyarakat dhuafa di Indonesia, menjulang tinggi. Hal ini ditandai dengan peningkatan rasio gini dari 0,3 pada tahun 2000 menjadi 0,41 di 2014. Hal ini memperlihatkan ketimpangan semakin melebar. Ada pertumbuhan ekonomi, tapi tidak diikuti kualitas pembangunan.

Uraian tersebut menggambarkan, strategi pembangunan selama ini belum optimal dalam memecahkan isu kualitas pertumbuhan. Hal ini juga mencerminkan masih jauh dan berlikunya jalan untuk menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Untuk mengatasinya, perlu pemerataan akses dalam konteks infrastruktur sosial dan ekonomi, sebagai salah satu prasyarat dasar menuju pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial. ***

Artikel ini ditulis oleh: