Ekskavator beraktivitas di lokasi proyek reklamasi di kawasan Ancol, Jakarta, Kamis (17/3/2016). Hingga tahun 2030 mendatang Pemprov DKI Jakarta akan membangun 17 pulau reklamasi di pesisir utara Jakarta. Demi mewujudkan rencana tersebut Pemprov DKI Jakarta siap menggandeng pihak swasta.

Yogyakarta, Aktual.com — Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 secara tegas menyatakan, ‘Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.’ Maka, negara sudah seharusnya berkewajiban memakmurkan seluruh rakyat terlebih bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, bukan para konglomerat pemilik modal.

Keprihatinan ini disampaikan Pakar Pidana UII Yogyakarta, Prof Mudzakkier kepada Aktual.com beberapa waktu lalu di Yogyakarta. Dalam kasus Reklamasi Teluk Jakarta, para penyelenggara negara dalam hal ini otoritas di DKI Jakarta dianggap telah mengenyampingkan hak-hak rakyat kecil dalam menikmati dan memanfaatkan kekayaan alam di daerahnya.

“Ini pelanggaran serius karena mengubah tatanan bumi dan laut, sebuah kejahatan terhadap alam semesta! Dampaknya tidak hanya pada masa sekarang tapi di masa yang akan datang, 10-20 tahun kedepan. Alam yang telah rusak dan berubah tidak bisa dikembalikan lagi,” kecamnya.

Dalam Undang-undang No. 33 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup pasal 80 ayat 2 juga mengatur perihal pengenaan upaya paksa pemerintah yang dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran, jika pelanggaran yang dilakukan menimbulkan, ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup.

Kemudian dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya, terakhir kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.

Ia menilai, pembangunan proyek Reklamasi ini sebagai sebuah kejahatan lingkungan karena dilakukan tanpa mempedulikan keseimbangan alam semesta. Perusakan alam yang terjadi merupakan kejahatan serius melebihi kejahatan terorisme maupun genosida.

“Jika terorisme sasarannya hanya orang, kalau Reklamasi (Teluk Jakarta) orang bisa mati secara pelan-pelan, alam bisa mati, makhluk-makhluk hidup yang lain juga mati, keseimbangan ekosistem terganggu, berdampak pada semuanya. Seperti sebuah genosida dengan modus yang berbeda,” jelasnya.

Untuk itu, Mudzakkier menuntut KPK secara terang-benderang membongkar kejahatan lingkungan yang dilakukan penyelenggara negara dengan ‘menggadaikan jabatannya’ untuk menjadi bagian dari kejahatan korporasi ini.

“Kalau kasus ini berhenti ya nggak ada KPK juga nggak apa-apa, dibubarin juga ngga apa-apa kalau dia bertindak hanya sampai disitu,” sentilnya.

Ditegaskannya, agar KPK tidak lagi mem’bonsai’ kasus ini seperti kasus-kasus besar sebelumnya. Sebagai aparat hukum KPK jangan pernah terpengaruh dan terjebak dengan skema-skema yang dilakukan korporasi. Pada kasus BLBI dan Century, KPK pernah berjanji kepada publik untuk membongkar pihak-pihak terlibat namun nyatanya, hanya kasus-kasus kecil yang digarap.

“Modus kejahatan seperti ini yang kerap dilakukan korporasi di Indonesia dalam memuluskan sebuah proyek, bangun dulu baru kemudian mengurus peraturan-peraturan yang mendasari. Selalu didahului oleh pelanggaran yang sifat administratif, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara menyebut hal ini sebagai ‘Izin yang Berpidana,” demikian tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Nelson Nafis
Editor: Arbie Marwan