Akan tetapi, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82 Penjelasan atas UU No. 12/2011, pasal itu dinilai cukup jelas atau tidak ada definisi “kegentingan yang memaksa” sehingga perlu ada batasan yang jelas agar tidak mengedepankan subjektivitas.

“Nah, apakah kondisi sekarang sudah sangat genting? Padahal, keberadaan UU No. 17/2013 itu sudah cukup untuk menjatuhkan sanksi kepada ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945,” kata Petir.

Ia menekankan, “Sangat bahaya kalau dalam pembuatan undang-undang kepentingan pribadi atau golongan masuk karena UU itu untuk mengatur rakyat supaya tertib dan ada kepastian hukum. Semua harus merasa terlindungi, itu asas pembuatan peraturan-peraturan perundang-undangan.” Setidaknya, menurut Petir, parameter kegentingan adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Berikutnya, undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU sudah ada tetapi tidak memadai.

Kekosongan hukum, katanya lagi, tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa (jalur legislatif) karena akan memakan waktu yang relatif sangat lama, sementara keadaan sangat mendesak untuk segera diselesaikan.

“Ini era demokrasi, jangan sampai pemerintah justru membungkam ide dan kreativitas rakyat dalam melakukan pengawasan dan kritik membangun,” katanya.

Lagi pula, UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28 E Ayat (3) memberikan jaminan kepada setiap orang berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Begitu pula, lanjut dia, dalam Pasal 24 Ayat (1) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Eka