Jakarta, Aktual.com – Keluhan masyarakat akan sulitnya mendapat Bahan Bakar Minyak (BBM) Premium bukan perihal baru. Masalah ini sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir, tepatnya sejak kebijakan Presiden Joko Widodo mencabut subsidi bensin jenis RON 88. Namun pemerintah menetapkan bahwa BBM Premium ini merupakan penugasan pemerintah kepada Pertamina untuk tetap disalurkan kepada masyarakat.

Untuk diketahui, saat ini BBM terbagi tiga kelompok, pertama; Jenis BBM Umum (JBU) yang meliputi Pertalite, Dexlite, Pertamax dan lainnya. Kelompok kedua yaitu Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yakni Premium. Lalu Kelompok terakhir yaitu Jenis BBM Tertentu (JBT) yang meliputi BBM subsidi jenis minyak tanah dan Solar.

Pada umumnya konsumen BBM jenis Minyak Tanah dan Solar tidak sebanyak volume Permium yang memang mayoritas mejadi bahan bakar kendaraan bermotor masyarakat. Penugasan Premium bisa menjadi beban cost atas selisih harga yang ditanggung Pertamina apabila konsumsinya di luar pagu.

Persoalan inilah yang disinyalir menjadi pemicu tindak ‘kucing-kucingan’ Pertamina kepada Masyarakat dengan modus mengurangi suplai Premium pada SPBU hingga masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapat layanan tersebut. Sedangkan penetapan harga BBM JBU sepenuhnya menjadi otoritas dari Pertamina, bukan pemerintah lagi.

Artinya, Pertamina bisa melakukan penyesuaian harga kapanpun untuk mencapai keuntungan bisnisnya. Berbeda dengan BBM JBKP (Premium) dan BBM JBT (Solar dan Minyak Tanah) menjadi kewenangan pemerintah sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM Jo Permen ESDM Nomor 27 Tahun 2016 dimana Menteri ESDM mengevaluasi dan menetapkan harga per tiga bulan.

Mengingat JBT merupakan subsidi dari Pemerintah dan tidak mengganggu keuangan Pertamina, keberadaan BBM ini terbilang relatif aman terdistribusi dengan baik ke masyarakat dibanding dengan JBKP yang tidak disubsidi namun kewenangan penetapan harga di tangan pemerintah dan dievaluasi per tiga bulan.

Sebagaimana diketahui, mulanya BBM Premium merupakan bagian dari BBM yang disubsidi oleh pemerintah, namun di awal jabatan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden (2014), diputuskan pencabutan subsidi pada Premium. Saat itu harga minyak dunia tengah anjlok di bawah USD50 per barel, sehingga ketika subsidi dicabut tidak berefek langsung kepada harga minyak yang mumpung tengah murah. Pemerintah beralasan adanya subsidi Premium sangat membeban APBN di kemudian hari, selain memang argumentasi pemerintah membutuhkan kelonggaran fiskal untuk pembiayaan sejumlah proyek infrastruktur yang dicanangkan.

Tetapi pemerintah tidak bisa begitu saja mencabut subsisi dan melepaskan harga kepada mekanisme pasar tanpa adanya perlindungan terhadap kepentingan umum. Konstitusi Indoneisia tidak mengenal sistem liberal yang membuat rakyat terombang-ambing pada fluktuasi pasar, karenanya pemerintah membagi kategori BBM menjadi tiga golongan yakni JBU, JTB dan dan Premium masuk kategori JBKP dengan pengaturan harga yang dievaluasi per tiga bulan sebagai upaya proteksi pemerintah terhadap rakyat atas ancaman fluktuasi pasar.

Jadi, BBM Jenis Premium sejatinya merupakan layanan dan perlindungan pemerintah kepada rakyat yang dimandatkan pelaksanaannya kepada Pertamina. Sedangkan BBM jenis umum sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar tanpa ada perlindungan kepada Rakyat. Namun malangnya, dengan kelangkaan Premium yang kerap terjadi, praktis masyarakat tidak maksimal menerima manfaat layanan dari pemerintah berupa BBM Premium tersebut.

 

Selanjutnya, DPR Tuding Pertamina Sengaja Kurangi Distribusi Premium

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka