BUMN Dijadikan Alat Kepentingan Politik

BUMN seharusnya menjadi akselerator pembangunan nasional, namun sayangnya yang terjadi BUMN malah menghambat proses pembangunan. Penyebabnya BUMN dijadikan alat kepentingan politik pribadi serta pengelolaannya yang tidak profesional. Sehingga tidak heran dengan segala keistimewaan yang dimiliki BUMN, namun tetap merugi.

“BUMN harusnya menjadi penggerak utama ekonomi nasional. Sebagai akselerator untuk percepatan ekonomi,” kata Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli.

Menurutnya, BUMN memiliki monopoli usaha seharusnya selalu untung kecuali perusahaan yang memang menjadi publik good atau yang memang diperuntukkan sepenuhnya sebagai layanan publik. Apabila laba BUMN dibandingkan dengan aset, maka akan terlihat kecil. Padahal bisnis BUMN sudah monopoli dan oligopoli.

“Kenyataannya, return aset rendah, return equity rendah. BUMN itu seharusnya untung karena sudah dikasih proyek, monopoli usaha, bahkan pembiayaan juga dapat dari APBN. Malah justru nambah beban utang,” jelas Rizal.

Dia mencontohkan, besarnya ekonomi china tidak terlepas dari peranan BUMN China yang menjadi katalisator bagi ekonomi nasional.

“Di kita, malah terbalik. Dengan segala kelebihan dan keistimewaan yang ada, BUMN kita malah memperlambat ekonomi, karena dipakai oleh alat kekuasaan dan sebagainya dan pengeloaan tidak profesional,” jelasnya.

Mencontoh demokrasi di Malaysia, Rizal mengungkapkan bahwa PM Malaysia Mahathir Mohamad dengan gamblang menyebut pejabat ini maling, pejabat ini rampok. Namun Indonesia ini masih tergolong santun, tidak terang-terangan mengatakan maling atau rampok.

“Malaysia dengan tenang mengatakan (pejabat) ini maling, rampok tapi Indonesia tidak ada, disini sudah paling sopan,” jelasnya.

BUMN merugi, antara lain diakibatkan dua hal. Pertama, strategi kompetensi yang buruk di jajaran direksi. Kedua, mereka tidak memiliki turn around yang jelas.

“Saya minta BUMN merugi untuk segera mengeluarkan turn around, membalikkan kerugian. Garuda kalau hanya cutting lost, anak SD juga  bisa. Itu menunjukkan direksi dan komisaris tidak profesional,” jelasnya.

Page 6: Mencari Pundi-Pundi Kampanye

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka