Aksi para penyadang disabiltas dengan berpakaian adat dari berbagai daerah Nusantara menuntut kepada pemerintah Jokowi - JK untuk segera membentuk Komisi Nasional Disabilitas agar tidak ada lagi diskriminasi. AKTUAL/Munzir

Yogyakarta, Aktual.com – Koalisi sejumlah elemen masyarakat yang menaruh kepedulian terhadap hak kaum difabel, menolak rencana perampingan Peraturan Pemerintah (PP) terkait nasib penyandang disabilitas yang semula 15 turun menjadi tujuh dan akhirnya disepakati hanya satu PP atau disebut dengan PP ‘Sapu Jagat’.

Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta, salah satu elemen yang tergabung dalam koalisi menyatakan, keputusan pemerintah itu sudah salah arah, menyimpang jauh dari semangat yang telah dibangun untuk menjadikan disabilitas sebagai isu Hak Asasi Manusia.

“Kebijakan pembentukan PP ‘Sapu Jagat’ seperti mundur ke belakang, difabel yang belum sepenuhnya merdeka akan kembali masuk ranah diskriminasi dengan mode charity (belas kasih) yang bukan jamannya lagi,” ujar Ismail saat dihubungi Aktual. di Yogyakarta, Sabtu (5/8).

Dalam Konsultasi Nasional soal perencanaan penyusunan turunan UU 8/2016 (UU Penyandang Disabilitas) yang berlangsung di Yogyakarta pekan lalu, Kementerian Sosial bersama Kementerian Koordinator Pembangunan Masyarakat dan Kebudayaan bersepakat hanya akan membentuk satu PP saja.

“Selama difabel diundang oleh pemerintah dalam proses konsultasi di Yogya, ternyata kesannya kita dianggap objek belaka. Jadi, paradigma pemerintah masih klasik yaitu difabel tidak bisa apa-apa, padahal ada beberapa tokoh difabel yang piawai,” kata Ismail.

Sebelumnya, dalam siaran pers yang diterima, Koalisi Masyarakat Penolak PP ‘Sapu Jagat’ menyampaikan tiga alasan utama penolakan. Pertama, bertentangan dengan UU 8/2016 dan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Kedua, tidak adanya pelibatan kaum difabel dalam pengambilan kebijakan. Ketiga, menyimpangi semangat dan komitmen Presiden Jokowi dalam Piagam Soeharso.

“Dalam poin ketiga piagam itu, disebutkan Presiden berkomitmen untuk membangun pemerintahan yang memiliki persepsi bahwa penyandang disabilitas adalah aset bagi negara, bukan beban, termasuk dalam keputusan yang diambil baik berupa kebijakan politik regulasi maupun kebijakan politik anggaran,” paparnya.

Maka itu, Presiden dituntut tetap mempertahankan keberpihakan terhadap penyandang disabilitas dalam setiap keputusan politik dan implementasi, supaya masyarakat difabel mampu menjadi subjek dalam pembangunan.

Presiden juga diminta mengeluarkan instruksi berisi arahan untuk melakukan pengarus-utamaan, pembentukan program serta penganggaran bagi pemenuhan hak penyandang disabilitas di setiap Kementerian/Lembaga, mulai tahun anggaran 2018, sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

 

Laporan Nelson Nafis

Artikel ini ditulis oleh: