Jakarta, Aktual.co —  Dua tahun jelang kejatuhan Presiden Suharto, seorang Indonesianis dari Universitas Ohio, Amerika Serikat, Benedict Anderson mengupas perilaku politik Suharto yang dilandasi tradisi budaya kekuasaan para aja Jawa maupun konsep politik yang terkandung pada dunia pewayangan. Karena ulasan Tentang “Lengser Keprabon” oleh Ben Anderson yang diterbitkan terbatas oleh (INDONESIA-L) pada 25 Nov 1997 itu cukup panjang, maka artikel ini terpaksa diterbitkan ulang dalam lima seri pemuatan. Silahkan dicermati. Redaksi.

NASIONALISME SUHARTO

T: Kami sering mendengar Suharto memperjuangkan kepentingan nasional. Misalnya dengan munculnya proyek mobil nasional, motor nasional, pesawat terbang nasional. Tapi disisi lain kami lihat nasionalisme itu tipis. Misalnya dengan hutang nasional yang sudah mencapai rekord nasional. Menurut Econit, setelah pinjaman IMF yang baru ini maka total hutang sudah sampai US$145 milyar. Untuk bayar bunga dan cicilannya saja sudah bakal bikin repot seluruh rakyat. Kami lihat juga boss-boss itu tidak banyak peduli dengan jutaan penduduk yang terkena bencana “asap nasional” itu. Suharto sendiri cepat sekali “minta petunjuk IMF” ketika ekonomi nasional kacau. Bagaimana memahami nasionalisme Suharto ini?
J: Saya nggak begitu jelas dengan pertanyaan ini. Prinsip mobil nasional itu saya tidak anti. Tapi kalau mobil nasional dibikin oleh orang Korea, itu kan dagelan saja. Tapi ini bukan di Indonesia saja. Di Malaysia juga yang dianggap mobil nasional itu nggak mungkin jadi kalau bukan Jepang yang urus. Kalau pinjam duit di luar negeri, ya nggak apa-apa asal bisa bayar pada waktunya. Masalahnya karena mereka sudah minjem lalu tidak mau bertanggung jawab. Mau seenaknya pinjam tanpa memikirkan kemungkinan krisis ekonomi di kemudian hari.
Kalau perkara bencana asap nasional saya merasa sukar membayangkan kalau boss-boss itu memang perduli. Bagaimana kalau besok pagi Bob Hasan nongol di TVRI dan nangis mikirin nasib anak-anak suku Dayak yang ‘diasep’ itu. Siapa akan percaya? Apa ini tidak lebih konyol lagi? Mungkin lebih baik mereka pura-pura tidak peduli.
Nasionalisme Suharto saya kira ada. Bagaimanapun juga dia produk dari revolusi. Cuma itu suatu nasionalisme yang sangat konservatif. Dan dia tidak membedakan antara kepentingan bangsa dan kepentingan dirinya sendiri.

ARUS TUNGGAL

T: Pak Ben pernah menulis makalah untuk seminar tentang “Demokrasi di Indonesia” di Universitas Monash tahun 92. Waktu menutup makalah itu Pak Ben bilang, “We do not exactly feel today that we are in an Age in Motion, but we are in an era where there is a stronger sense of a single ‘arus’ than at any time in the last half century.” Apa yang Pak Ben maksud dengan ‘arus’ itu? Apakah sekarang arus itu semakin jelas?
J: Pada waktu menulis itu maksud saya bukan kata ‘arus’ yang harus digaris-bawahi. Tapi kata ‘single.’ Sampai tahun 60-an masih banyak orang di dunia percaya bahwa kapitalisme akan hancur. Bahwa sosialisme adalah masa depan manusia. Tapi sejak 10 tahun belakangan ini banyak orang merasa sebaliknya. Karena amblesnya Uni Soviet, selesainya perang dingin, dan suksesnya Tiongkok Komunis menjadi juara No. 2 di dunia dalam rangkaian korupsi besar setelah Indonesia yang terkenal anti-Komunis. Dengan selesainya Perang Dingin orang semakin merasa bahwa kapitalisme itu adalah satu-satunya masa depan.
Kalau sekarang ditanyakan gimana maunya negara-negara Dunia Ketiga ini? Rasanya tidak bakal banyak menimbulkan perdebatan. Saya tertarik pada apa yang diucapkan oleh si Jiang, anak emasnya Deng Xiao Ping, waktu barusan mengunjungi Amerika. Dia cepet-cepet ke Wall Street, ke Harvard dan bilang, “Kami juga mau demokrasi, lho. Kami juga menghormati ini-itu, kok.” Yang menyolok dalam kalimat ini adalah kata ‘juga.’
Kita lihat perbedaan besar dengan yang diucapkan oleh tokoh-tokoh politik dunia pada tahun 50-an. Misalnya di PBB Bung Karno pernah bilang, ayo kita rame-rame “Membangun Dunia Kembali.” Ada juga yang ngomongin, “Ayo kita hapuskan itu penghisapan manusia oleh manusia,” dsb. Sekarang ini jarang sekali kita denger omongan begitu. Memang ada satu usaha untuk bikin arus baru yang sedikit menyimpang dari kemonotonan global, yaitu dicetuskannya konsep “Asian Values.” Tapi nggak laku.
T: Nggak laku di Asia atau nggak laku untuk dunia pada umumnya?
J: Saya kira semua tahu, “nilai-nilai Asia” ini cuma omongan penguasa-penguasa otoriter untuk memperkokoh rejimnya dan omongan kawan se’geng’ di lapangan internasional. Orang di Asia pada umumnya tidak merasa dirinya ‘Orang Asia.’ Mereka baru menjadi Orang Asia kalau ada di Amerika atau di Eropa. Dan itu biasanya hanya atas dasar warna kulit, bentuk mata, dan potongan badan saza di tengah orang-orang bule yang belum tahu Indonesia atau Laos itu dimana letaknya. Kalau orang Indonesia mangkalnya di Blitar, dia tidak merasa diri sebagai “Orang Asia.”
“Asian Value” itu cuman fantasi dari segelintir pejabat, dan hanya dipamerkan di luar negeri. Nilai-nilai yang sebenarnya hidup dalam masyarakat Asia, ya nilai-nilai beriman, nilai-nilai Budha, Islam, Kristen, Katolik, dsb. Dan itu bukan nilai-nilai Asia.

KEBADARAN

T: Dalam wawancara tahun lalu (Apakabar, 11 Juli 96), Pak Ben memakai istilah ‘malihan’ untuk menggambarkan raksasa jahat yang bisa merubah dirinya menjadi satria yang halus dan baik budi. Tapi pada titik terakhir lakon raksasa malihan ini topengnya jatuh. Itu disebut ‘kebadaran.’ Apakah keadaan sekarang ini masih cocok dengan lakon “satria malihan yang kebadaran” itu?
J: Masih. Cuma belum sampai goro-goro. Tapi Togog dan Bilung1) sudah masuk di ‘kelir,’ sudah nongol di layar.
 
Kalau Suharto bicara spontan terlihat sebenarnya raja ini tidak paham sejarah, tidak paham tradisi etniknya sendiri, tidak paham agamanya sendiri, dsb. Mengapa begitu banyak orang bisa ketipu, begitu banyak orang pinter yang sempet dibodo-bodoin? Dan mengapa bisa ditipu begitu lama? Dimana rahasia ‘kesaktian’nya Prabu Suharto ini? Menurut Pak Ben, “Saya kira orang Indonesia pada umumnya ndak tertipu, mereka tahu siapa Suharto. Buat mereka yang penting adalah ekonomi yang diciptakannya, bedil yang dipergunakannya, dan ketiduran-pasca-trauma besar yang diaturnya.” Dan apa rahasia Dinasti Mataram yang bisa berumur panjang (400 tahun)?

KELUARGA RAJA

T: Untuk mempertahankan kekuasaan raja jaman dulu mau mengorbankan orang tuanya sendiri, anaknya, menantunya, sahabatnya, dsb. Apakah gejala itu juga terlihat dalam sejarah raja Suharto ini?
J: Yah, lakonnya Suharto belum selesai. Selama 30 tahun belakangan ini justru dia selalu berusaha untuk menjaga kepentingan Keluarga Besarnya. Baru sekarang timbul gejala pencekalan terhadap Probo, Bambang cs dalam situasi yang kepepet. Tapi nasibnya si Sigit memperlihatkan bagaimana akibatnya kalau ‘putra mahkota’ bikin jengkel si sinuhun.
Yang lebih penting adalah fakta bahwa Presiden adalah jabatan yang sangat berlainan dengan jabatan Raja. Presiden adalah jabatan modern, yang berdasarkan UUD dan hukum yang sedang berlaku, plus ‘mewakili’ bangsa. Raja-raja dulu tak pernah merasa menjadi wakil bangsanya.
Jaman dulu di Eropa seorang raja bisa menambah luasnya kerajaan dengan kawin dengan putri raja lain yang membawa sebagian dari kerajaan babenya sebagai, yah semacam ‘mahar.’ Pada jaman nasionalisme modern itu tidak mungkin lagi. Sehingga perkawinan pembesar menjadi hal pribadi, tanpa efek politik. Jaman dulu dianggap lumrah kalau putra-putra si raja dikasih jabatan penting, dan putri-putrinya didagangkan ke raja lain atawa bangsawan yang tinggi. Itu semua bagian dari ‘seni’nya menjadi raja yang sukses. Itu lumrah. Makanya pada jaman dulu konsep nepotisme yang negatip itu tidak ada dalam kamus Jawa, Sunda, Batak dan lainnya. Tetapi jaman sekarang praktek-praktek tadi dicap sebagai nepotisme dan dianggap irrasional dan anti-demokrasi.
Selain itu, Asia diluar cengkeraman agama Kristen dengan tabiat resminya yang monogami. Raja-raja Asia biasa berbini banyak, sehingga anak-anaknya bisa jadi ratusan. Padahal ‘warisan’ si Babe itu terbatas dan harus dibagi-bagi. Bagaimana caranya supaya anak-anak tidak jadi tengkar mati-matian? Nggak ada! Makin berbiak, makin seru persaingan diantara keturunannya. Apalagi ketika Belanda masuk dan berangsur-angsur menarik bagian-bagian dari pulau Jawa menjadi bawahan Batavia. Dengan demikian ‘warisan’ tadi makin lama makin ciut. Jadi tambah serulah kompetisi. Diponegoro semula berontak karena tak kebagian yang semestinya. Dan pada akhirnya raja-raja Jawa terpaksa hidup dari subsidi-subsidi dari pusat, dari Kumpeni. Mirip gubernur-gubernur sekarang harus hidup dari subsidi yang dibagi-bagi Pusat, biar mereka jinak.
T: Kalau tentang sabahat-sahabatnya?
J: Hubungan pertemanan itu kan hubungan yang setara, tidak ada yang lebih atas atau lebih bawah. Karena raja — orang yang berkuasa mutlak — merasa dirinya wakil atau utusan atau titisan dewa, maka dia anggap tidak ada orang yang setara atau sama dengan dia. Selain itu, karena tidak ada hukum, konstitusi, dsb, maka raja merasa setiap saat dia bisa saja dilengserkan. Karena itu dia selalu penuh kecurigaan. Dalam babad-babad kata ‘teman’ itu juga tidak pernah nongol. Raja-raja di Eropa juga tidak punya teman. Apa Suharto punya sahabat? Saya belum pernah dengar.

BONEKA ‘ARUS TUNGGAL’

T: Begitu ekonomi mau ambruk, cepat sekali IMF datang dan memberi utang baru U$23 milyar. Kalau ditambah dengan bantuan negara-negara donor, utang barunya mendekati U$40 milyar. Mengapa IMF begitu murah hati? Dan apakah gejala ini juga terlihat dalam hubungan antara Dinasti Mataram dengan Kumpeni dan pemerintah Hindia Belanda?
J: Yah jelas. IMF dan World Bank sama sekali nggak punya maksud untuk menggulingkan Suharto atau menggoyangkan stabilitas negara-negara di Asia Tenggara. Mereka cuman ingin supaya Jakarta taat pada peraturannya, menjadi “anak baek-baek.” Mereka sendiri tidak tahu bagaimana jadinya Indonesia nanti kalau mereka terlalu keras.
Jaman Kumpeni lain. Belanda juga berniat memakai raja-raja kecil bawahannya demi Rust en Orde, kalau dipribumikan sekarang menjadi ‘kamtib,’ keamanan dan ketertiban itu. Raja-raja itu baru digulingkan kalow ‘mbalelo.’ Dan sikap mbalelo jarang nongol. Tapi pada jaman itu Kumpeni punya banyak kartu yang baik. Dan Kumpeni tahu, kalau raja ini-itu ditumbangkan, masyarakat yang 95% petani buta huruf itu tak akan banyak tahu-menahu atawa peduli. ‘Masa depan’ Jawa pada masa itu jauh lebih terang di mata si bule, daripada masa depan Indonesia sekarang ini.
T: Dinasti Mataram umurnya 400 tahun. Sejak didirikan oleh Senopati sekitar 1584 sampai Hamengku Buwono-10, Paku Buwono-12, dsb sekarang ini. Mengapa dinasti ini bisa bertahan begitu lama? Misalnya kalau dibandingkan dengan Dinasti Majapahit yang cuma 200 tahun. Majapahit mulai sejak didirikan Raden Wijaya 1293 s/d Brawijaya-5 yang dikabarkan ‘mukso’ atau ‘menghilang’ di puncak G. Lawu tahun 1520.
J: Mataram bisa panjang umur karena bersedia menjadi hamba Kumpeni. Seharusnya dinasti ini habis dengan larinya Amangkurat-I ke Tegalarum mencari bantuan dari Kumpeni. Atau habis ketika kraton Kartasura diporak-porandakan oleh Geng Cokin yang berani anti-Belanda. Tapi Belanda melihat bahwa dinasti ini tak punya watak yang jantan. Mereka gampang diperalat asal dikasih subsidi, dibangunin kraton-kraton baru, asal ada basa-basi dikit. Lama-lama raja ini menjadi boneka doang. Dan boneka emangnya bisa hidup lama.

(Bersambung ke KESAKTIAN SANG PRABU)

Artikel ini ditulis oleh: