Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memberi sinyal pemerintah akan menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan elpiji subsidi 3 kilogram (kg) pada 2019. Hal ini mengikuti kenaikan harga berbagai komoditas terutama harga minyak mentah dunia.

“Perlu kami sampaikan bahwa kenaikan harga minyak mentah dunia mendorong kenaikan ICP (harga minyak mentah Indonesia) yang secara langsung akan meningkatkan komponen biaya produksi BBM (Solar), dalam hal ini termasuk elpiji. Peningkatan biaya produksi ini tentu saja akan menyebabkan naiknya harga keekonomian,” ujarnya di Gedung DPR-MPR, Jakarta (31/8).

“Tanpa adanya kebijakan penyesuaian harga, maka selisih antara harga keekonomian dan harga penetapan pemerintah akan semakin lebar dan pada akhirnya akan meningkatkan beban subsidi BBM khususnya elpiji tabung 3 Kg,” dia menambahkan.

Sri Mulyani melanjutkan, tantangan kenaikan harga minyak mentah dunia juga berpotensi menimbulkan dampak multiplier lainnya. Apabila kenaikan harga minyak mentah diikuti oleh kenaikan harga BBM, maka akan berpotensi meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.

“Namun di sisi lain, apabila tidak dilakukan kebijakan penyesuaian harga BBM dan listrik, akan memberikan tekanan terhadap fiskal maupun keuangan BUMN dan menciptakan distorsi ekonomi yang berdampak negatif bagi perekonomian jangka panjang,” jelasnya.

Untuk itu, pemerintah akan mengambil langkah-langkah kebijakan yang optimal tanpa mengorbankan kemampuan daya beli masyarakat dan tetap menjaga kesehatan keuangan BUMN, serta menjaga tata kelola dan transparansi BUMN. Hal ini perlu dilakukan agar peran BUMN sebagai penggerak perekonomian nasional dapat dijalankan secara optimal dengan tetap menjaga corporate governance yang baik.

“Salah satu langkah yang dilakukan adalah mengembangkan berbagai alternatif innovative financing, seperti sekuritisasi aset, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA), Komodo Bond, kerja sama dengan investor strategis serta meningkatkan sinergi antar BUMN,” tandasnya.

Politik BBM Jokowi, Rusak Ketahanan Energi

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menuliskan bahwa salah satu motif utama di balik kebijakan tersebut adalah kepentingan pencitraan politik pemerintah. Sebagai penguasa dan eksekutif pengambil keputusan, rasanya sah-sah saja jika pemerintah membuat kebijakan tidak menaikkan harga BBM hingga 2019. Dengan begitu, simpati dan dukungan rakyat akan dapat diraih sehingga Pemilu 2019 bisa dimenangkan. Hal yang jadi masalah adalah apakah kebijakan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku dan sejalan dengan kepentingan energi nasional?

Ternyata kebijakan yang bersifat penugasan/PSO pada Pertamina tersebut diberikan tanpa diiringi dengan penambahan subsidi BBM di APBN. Artinya, seluruh dampak finansial tugas PSO tersebut harus ditanggung Pertamina. Tentu saja hal ini dapat mengganggu keuangan Pertamina yang pada gilirannya bisa mengganggu penyediaan energi berkelanjutan dan merusak ketahanan energi nasional. Penugasan seperti ini bertentangan dengan Pasal 66 UU Nomor 19/2003 tentang BUMN yang mewajibkan pe me – rintah memberi kompensasi (plus margin) kepada BUMN jika menerima tugas PSO.

Harga premium (Rp6.450/liter) dan solar (Rp5.150/liter) yang berlaku sepanjang 2017 masih merujuk pada harga rata-rata minyak dunia sekitar USD 40/barel. Padahal harga rata-rata minyak dunia tahun 2017 telah naik menjadi sekitar USD59/barel sehingga tidak heran jika untuk tugas PSO tersebut Pertamina rugi Rp24 triliun. Belakangan ini (30/4/2018) dengan harga minyak dunia sudah mencapai USD68/barel (West Texas In termediate) dan USD74/barel (Brent), maka harga keekonomian premium seharusnya Rp8600/liter dan harga keekonomian solar Rp8350/liter.

Dengan kuota premium dan solar di APBN 2018 masing-masing adalah 7,5 juta kiloliter dan 15,3 kiloliter, jika pemerintah berketetapan mempertahankan harga BBM tanpa tambahan subsidi APBN, maka kerugian yang akan ditanggung Pertamina guna pencitraan politik pemerintah sepanjang 2018 adalah Rp16,13 triliun (premium) dan Rp49,2 triliun (solar) atau total sekitar Rp65 triliun! Situasi geopolitik global bisa saja memburuk sehingga harga minyak dunia bisa naik di atas USD80 per barel. Jika pemerintah terus mempertahankan harga BBM tetap hingga 2019, maka jangan heran jika kerugian Pertamina akan semakin besar.

Hal ini pasti akan mem buat Pertamina mengalami gagal bayar atau default , keadaan di mana korporasi tidak mampu memenuhi berbagai kewajiban keuangan, terutama membayar utang dan bunga obligasi yang nilainya besar untuk menopang finansial perusahaan. Jika Pertamina mengalami default, jangan heran kalau kinerja keuangan dan operasinya terganggu dan pelayanan penyediaan BBM kepada rakyat pun akan terkendala. Jangankan untuk membangun kilang yang membutuhkan dana besar, pendanaan mengimpor minyak mentah dan BBM guna memenuhi kebutuhan rutin harian konsumen pun akan ikut terganggu.

Pemerintah sebenarnya memiliki opsi menerapkan kebijakan populis tanpa harus mengorbankan BUMN, yakni mempertahankan harga BBM tidak naik dengan meningkatkan dana subsidi BBM di APBN. Namun, dengan sistem subsidi saat ini, akan dibutuhkan dana subsidi besar dan orang yang mampu serta tidak layak pun akan memperoleh subsidi.

Opsi lain, pemerintah dapat menerapkan harga jual BBM sesuai harga keekonomian, tapi harus diiringi dengan “sistem subsidi langsung tepat sasaran” kepada golongan masyarakat tak mampu melalui mekanisme bantuan atau kompensasi langsung.

Hal ini akan membutuhkan anggaran subsidi APBN lebih rendah dan juga lebih berkeadilan karena hanya golongan masyarakat tidak mampulah yang disubsidi. Namun, sistem subsidi langsung tepat sasaran yang andal harus ditemukan terlebih dahulu. Untuk kedua opsi di atas, pemerintah perlu memberlakukan pola harga BBM dalam koridor batas atas dan batas bawah bersamaan dengan penerapan dana stabilisasi. Dengan begitu, kemampuan keuangan Pertamina tetap terjaga untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnis pada sisi hulu dan hilir, membangun kilang, mengem bang kan EBT, dan lain-lain, sehingga ketahanan energi nasional meningkat.

 

Oleh: Arbie Marwan