Wakil ketua DPR RI, Fadli Zon membacakan Puisi Musikal di Acara Tadarus Puisi Ramadhan di Hari Pancasila di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (1/6). Acara tersebut dihadiri atau diisi oleh politisi, seniman dan budayawan, diantaranya Taufik Ismail, Ridwan Saidi, Desy Ratnasari, Jaya Suprana, Fahri Hamzah, Neno Warisman, Rachel Maryam, Abrory Jabar, Iman Soleh dan Linda Djalil. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Pelaksana tugas (Plt) Ketua DPR RI, Fadli Zon menentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang kumpul kebo dan Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender (LGBT).

“Bagi saya secara pribadi, ini satu hal yang kontroversial,” kata Fadli Zon di Gedung Nusantara III, Kompleks DPR/MPR, Jakarta, Jumat (15/12).

Menurutnya, MK harus lebih hati-hati dalam memutus perkara ini. Ia menilai, putusan ini harus dikaji secara komprehensif lantaran masyarakat Indonesia merupakan masyarakat religius dengan berbagai agama, yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha ataupun keyakinan lokal lainnya.

“Ini tentu dikembalikan kepada tokoh-tokoh bagaimana ada perkembangan zaman yang seperti ini. Maksudnya di satu sisi terutama dalam hukum yang ada di dalam hukum positif kita yang perlu dikaji,” lanjutnya.

Namun, Fadli mengaku akan membaca putusan tersebut secara lengkap untuk memahaminya secara utuh.

“Saya belum lihat. Nanti saya kaji dulu,” ucap politisi Gerindra ini.

MUI sendiri telah merespon dengan menyatakan bahwa putusan MK sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai agama. Fadli pun mengatakan bahwa putusan MK soal ini memang akan memancing kontroversial dan polemik di tengah masyarakat.

“Justru itu, yang tadi saya sampaikan bahwa ini kontroversial. Tetapi secara hukum harus kita kaji. Hakim MK kan mengadili hukum konstitusi kita, jadi ada dalam hukum, kita tidak ada atau dari sisi konstitusi kita yang tidak menampung itu. Saya kira masalah ini harus ada kajian dalam agar adil bagi semua pihak,” terangnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga pasal tersebut mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan.

Permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP dalam perkara nomor 46/PUU-XIV/2016 diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak.

Pemohon dalam gugatannya meminta pasal 284 tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.

Terkait pasal 292, pemohon meminta dihapuskannya frasa “belum dewasa”, sehingga semua perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidana. Selain itu, homoseksual haruslah dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa atau sudah dewasa.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim MK Arif Hidayat dalam sidang pleno di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/12).

Dalam pertimbangannya, MK menjelaskan, pada prinsipnya permohonan pemohon meminta Mahkamah memperluas ruang lingkup karena sudah tidak sesuai dengan masyarakat.

Hal itu berakibat pada perubahan hal prinsip atau pokok dalam hukum pidana dan konsep-konsep dasar yang berkenaan dengan suatu perbuatan pidana.

Artinya, secara substansial, pemohon meminta MK merumuskan tindak pidana baru yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang.

Namun, Hakim MK Maria Farida mengatakan, Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan tindak pidana baru sebab kewenangan tersebut berada di tangan Presiden dan DPR. Menurut Maria, MK tidak boleh masuk ke dalam wilayah politik hukum pidana

“Produk hukum pidana lahir dari kebijakan pidana atau politik hukum pidana pembentuk undang-undang. MK tidak boleh masuk wilayah politik hukum pidana,” tutur Maria saat membacakan pertimbangan putusan.

Dalam putusan tersebut terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion yang berasal dari empat hakim, yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto.

Teuku Wildan A.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Teuku Wildan