‘Perkelahian’ antar pendukung kubu Jokowi dengan kubu Prabowo bisa dikatakan sudah terjadi cukup lama. Puncaknya, saat terjadinya kasus penistaan agama Islam yang dilontarkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang notabenenya merupakan rekan dari mantan walikota Solo tersebut, dalam momentum Pilkada Jakarta 2017.

Dikenal dengan aksi bela Islam di bawah komando para ulama diantaranya Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Sihab, yang kemudian terus membesar ibaratkan bola salju.  Dari mulai aksi 14 Oktober 2016 sebagai gerakan aksi bela Islam pertama yang dilakukan, kemduian berlanjut 4 November (aksi damai 411) sebagai gerakan aksi kedua meski sempat terjadi kericuhan saat aparat kepolisian membubar paksa para massa aksi di depan Istana Negara, hingga aksi bela Islam ke tujuh 5 Mei 2017.

Aksi yang dilakukan dan dihadiri seluruh umat Islam se-Indonesia tersebut, justru menyulut ‘kemaranahan’ atau ‘gairah’ bagi para pendukung Ahok yang merupakan pendukung Jokowi untuk membuat suatu aksi massa tandingan. Tidak berselang lama pasca aksi bela Islam 411 di kawasan Monas, Jakarta Pusat, ketika itu.

Parade Bhineka Tunggal Ika yang digelar di kawasan Bundaran Bank Indonesia Patung Kuda,dinilai sebagai bentuk upaya menandingi aksi sebelumnya. Meskipun, Penggagas Parade Bhineka Tunggal Ika, Nong Darol Mahmada  membantahnya.

Tidak hanya itu, aksi 412 atau yang dikenal dengan Aksi Kita Indonesia juga dinilai sebagai bentuk aksi tandingan yang dibuat pemerintah Jokowi dalam rangka ‘mengamankan’ Ahok diantaranya untuk mengalihkan opini publik atas kasus penistaan agama tersebut.

Politikus Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia‎ mengatakan sejak awal mempertanyakan rencana aksi bertajuk Kita Indonesia itu. “Sebenarnya aksi-aksi seperti ini tujuannya apa‎?” kata Doli di Kantor Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Jalan Sultan Agung, Jakarta, Minggu (4/12).

Menurut dia, aksi 411 tidak berbeda dengan aksi Parade Bhinneka Tunggal Ika sebelumnya. Doli menilai tujuan aksi tersebut tidak jelas. Karena tujuannya tidak jelas maka aksi tersebut dinilainya juga demikian.

‎”Misalnya hari ini kan temanya aksi Kita Indonesia, pertanyaannya apa memang yang lain kecuali mereka itu bukan Indonesia? Apakah yang datang di 212 (Aksi Belas Islam 2 Desember 2016) itu bukan orang Indonesia? Nah dan faktanya sekarang itu, aksi yang tadi pagi itu justru merusak dan memalukan Indonesia,” tuturnya.

Menurut dia, faktanya Aksi 412 merusak taman dan merusak moral masyarakat karena membagikan uang untuk ikut serta serta mengganggu aktivitas masyarakat berolahraga.

‎”Ini memalukan. Apalagi kalau misalnya aksi tadi pagi itu dilakukan untuk membuat aksi tandingan 212, saya kira kalau ini dilakukan memang mereka yang melakukan tadi pagi itu membawa persoalan Ahok ke masalah politik,” ungkapnya.  Doli menilai tokoh yang hadir ataupun inisiator Aksi 412 tidak menghargai perbedaan, tidak menghargai hukum.

Jelang memasuki tahun politik, justru ‘perkelahian’ kedua kubu bisa dibilang kemudian berpindah di ranah dunia maya. Ya, dengan menggunakan smart phone di akun media sosial masing-masing hingga menggunakan buzzer dalam mematikan opini lawan dilakukan, salah satunya dengan ‘Perang Hastag’ alias perang tagar.

Sudah barang tentu, perang hastag #2019GantiPresiden dengan #2019Tetap Jokowi membuat polarisasi kedua kelompok kian terpisah.

Mengutip dari Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Nurudin bahwa perang hashtag merupakan bagian dari kedewasaan kita sebagai warga negara. Mengapa riuh dengan hashtag?.

Hashtag bagian dari ekspresi masyarakat, baik pendukung atau penentang pemerintah. Tidak bisa dilarang karena wujud ekspresi. Pemerintah, jika tidak suka pada hashtag hanya bisa memproses ke ranah hukum jika sudah melanggar aturan (misalnya menyangkut soal pidana atau perdata).

Hashtag, sambung dia, juga merupakan  cermin sejauh mana kedewasaan masyarakat dalam menyikapi banyak hal di sekitarnya. Mengapa hashtag masih dijadikan alat untuk mengumbar ketidakpuasan? Cerminnya, kita masih berada dalam masyarakat seperti itu.

Ini tidak berarti mengatakan masyarakat kita bodoh, hanya belum terdidik secara baik. Gelar akademik tidak mencerminkan kedewasaan berpikir, ia hanya membuktikan telah lulus di lembaga pendidikan.

Kembali ke Jalan?

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Novrizal Sikumbang