ada satu hal yang paralel terkait perang geoekonomi antara Qatar-Yordania-Turki versus  Iran-Irak-Suriah. Betapa besar dan vitalnya binis energi dan gas bumi bagi AS dan Uni Eropa. Baik di Timur Tengah maupun di Indonesia.

Kalau Pilpres 2019 dalam bayang-bayang Perang Proxy antara AS versus Cina, bukan hal baru. Namun mengaitkan perang bisnis gas di Timur Tengah antara Qatar yang didukung AS dan Arab Saudi versus Suriah-Iran dan Irak, rasanya jauh lebih menarik untuk dicermati.   Betapa tidak.

Penilaian analis internasional Pepe Escobar beberapa waktu lalu, konflik Suriah yang berkepanjangan adalah akibat dari perang gas antara Qatar versus Iran-Irak-Suriah yang berlangsung sejak 2011 lalu.   Dalam skema pengelolaan gas alam di South Pars, menurut Pepe Escobar Qatar menolak bergabung dalam skema kerjasama Iran-Irak-Suriah yang mana Lebanon dijadikan sebagai Pintu Gerbang.

Adapun Qatar memilih Turki sebagai pintu gerbang ke Pasar Eropa.   Dalam perang skema pengelolaan gas ala ini, Qatar dan Turki otomatis menjadi sekutu yang berada dalam satu kepentingan yang sama. Lebih runyam lagi, Qatar kemudian punya skenario alternatif dengan menjadikan Yordania juga sebagai pintu gerbang ke pasar Eropa.  

Kalau Qatar serius dengan skenario menggunakan jalur Yordania, maka besar kemungkinan Qatar akan mengekspor gas alam ke Eropa melalui Aqaba di Teluk Yordan.   Skema pengelolaan gas alam yang melibatkan penggunaan jaringan pipa gas yang melewatiTurki atau Yordania, berarti AS dan NATO masih tetap mendukung dari balik layer persekutuan strategis Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait dan Yordania.  

Sedangkan Iran, Irak dan Suriah, punya skema yang berbeda kepentingan. Skenario ini jika berhasil akan mematikan pengaruh Rusia dan Cina di Timur Tengah. Maupun tiga negara mitranya yaitu Iran, Irak dan Suriah. Inilah latarbelakang mengapa konflk bersenjata antara pasukan pro pemerintahan Bashar al Assad versus kelompok-kelompok perlawanan yang berada di bawah payung Free Syrian Army masih yang didukung AS, NATO Arab Saudi dan Qatar, masih tetap berlangsung dan tak ada solusi penyelesaian damai.  

Masalahnya bukan sial Suriah semata, melainkan karena terintegrasi dengan skema bisnis pengelolaan gas alam Iran yang cukup strategis. Dalam skema ini, Iran dikabarkan bermaksud membangun jaringa pipa gas yang membentang dari  pelabuhan Assalouyeh (dekat ladang gas alam terbesar Iran, South Pars) hingga Damaskus (Suriah) melewati sebagian wilayah Irak.    

Maka di sinilah Lebanon kemudian jadi pintu gerbang menuju pasar Eropa. Menurut kajian Pepe Escobar dari Asia Times, South Pars adalah ladang gas alam terbesar di dunia dengan cadangan mencapai 51 triliun meter kubik. South Pars adalah ladang gas alam lepas pantai yang terdapat di Teluk Persia.  

Masalah jadi krusial ketika ladang tersebut berada di perairan dua negara. Iran dan Qatar yang sejak pembagian kekuasaan melalui San Remo Agreement 1922, Qatar bersama Arab Saudi dan Yordania merupakan sekutu strategis AS dan Inggris.  

Maka perebutan geoekonomi antara Qatar dan Iran terkait gas alam tak terhindarkan lagi. Menurut catatan Escobar, Iran menguasai 9.700 kilometer persegi, sedangkan Qatar menguasai sekitar enam ribu kilometer persegi dari total luas ladang.  

Persekutuan Qatar, Yordania, dan Turki, terlepas adanya kemungkinan Turki bermain dua kaki antara mendukung skema Qatar atau Iran, nampaknya AS dan Uni Eropa mengandalkan pertaruhan kepentingan gas alamnya kepada skema Qatar dengan menggunakan jalur Aqaba di Teluk Yordan. untuk menghadapi  skema Iran-Irak-Suriah. 

Lantas apa kaitannya dengan Pilpres 2019 di Indonesia? Sejak bangkitnya Aksi Bela Islam 411 dan 212, atmosfer politik Islam sangat kuat dan punya daya pengaruh besar dalam mewarnai kejatihaj Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama alias Ahok, dan keberhasilan duet Anis Baswedan-Sandiaga Uno sebagai gubernur baru menggantika Ahok.  

Pada tataran Pilpres 2019 tentu saja aksi bela Islam 212 dan 411 sudah selesai. Namun atmoesfer Islam dalam mewarnai Pilpres, khususnya dukungan pada sosok capres di luar presiden petahana Jokowi, agaknya perang binis energi antara Qatar yang tentunya didukung Arab Saudi dan Turki satu sisi, versus Iran-Irak-Suriah pada sisi lain, akan membawa efek juga ke Indonesia.

Mengingat pengaruh aktor-aktor politik Islam Indonesia sangat memainkan peran dalam konstelasi Pilpres 2019 mendatang.   Jusuf Kalla, misalnya, yang yang mana core bisnisrnya antara lain di bidang energi termasuk gas alam, tentunya sangat berkepentingan.

Jika tidak memungkinkan lagi dirinya untuk kembali menjadi wapres atau menyalongkan diri sebagai capres, patut diduga JK akan menjagokan Anies Baswedan gubermur petahana DKI Jakarta, untuk menjadi cawapres atau bahkan jadi capres.

Selentingan yang sempat merebak bahwa Anies merupakan calon presiden yang dapat dukungan dari AS dan Arab Saudi, kiranya jadi masuk akal.   Terlepas itu memang fakta atau sekadar tebar isu.

Namun mencuatnya kabar adanya restu AS dan Arab Saudi, setidaknya menyiratkan bahwa dalam Pilpres 2019 nanti kepentingan strategis AS dan negara-negara arab satelitnya seperti Aran Saudi dan Qatar, akan bersekutu untuk menggolkan sosok capres yang paralel dengan kepentingan energi/gas alam AS dan Uni Eropa di Timur Tengah.  

Spekulasi itu semakin menguat dengan  kunjungan Menteri Luar Negri AS Mike Pompeo ke Indonesia pada 4 Agustus lalu. Sosok Mike Pompeo yang mantan Direktur badan intelijen AS CiA semakin memperkuat aroma politis di balik kunjungan tersebut.  

Seperti juga halnya dengan kunjungan Menlu AS era Bush, Condoleeza Rice ke Indonesia saat ExxonMobil begitu berhasat menguasai ladang minyak di blok Cepu, maupun kunjungan beberapa anggota kongres AS yang pada era Preisden SBY terkait Deepwater Development yang mempertaruhkan kepentingan gas lepas pantai Chevron.  

Maka ada satu hal yang paralel terkait perang geoekonomi antara Qatar-Yordania-Turki versus  Iran-Irak-Suriah. Betapa besar dan vitalnya binis energi dan gas bumi bagi AS dan Uni Eropa. Baik di Timur Tengah maupun di Indonesia.  

Hendrajit, redaktur senior.