Jakarta, Aktual.co — Badan Pengendali Dampak Lingkungan Kota Batam menilai maraknya tambang pasir ilegal karena tingginya permintaan salah satu bahan pokok bangunan tersebut.

“Permintaan untuk pembangunan, sementara pasir yang didatangkan dari luar Batam harganya jauh lebih mahal. Hal itulah yang memicu banyaknya penambang ilegal,” kata Kepala Badan Pengndali Dampak Lingkungan Kota Batam, Dendi Purnomo di Batam, Minggu (18/1).

Ia mengatakan, setiap truk berisi sekitar empat meter kubik pasir dari luar Batam harganya selisih Rp400 ribu lebih mahal dibanding pasir lokal hasil tambang ilegal di Batam.

“Dengan kondisi tersebut bukan berarti kami hanya diam saja. Kami juga berupaya melakukan berbagai cara untuk penertiban, namun penambang baru selalu muncul lagi,” kata dia.

Saat ini di Bapedal Kota Batam terdapat delapan eskavator, tujuh truk yang merupakan barang bukti penambangan pasir ilegal pada berbagai titik Kota Batam.

“Ada 11 orang yang tengah menjalani pemeriksaan atas kasus tersebut,” kata Dendi.

Ia mengatakan, upaya penertiban penambang lain terutama kawasan Nongsa, Tembesi, Tanjung Piayu pernah dilakukan meski sebagian kembali beroperasi.

Dendi mencontohkan, untuk penambangan samping jembatan Nongsa sebenarnya rekomendasi yang diberikan sudah dicabut namun kegiatan penambangan pada alur sungai dengan menggunakan mesin penyedot terus berlangsung.

“Itu awalnya ada rekomendasi. Namun belum diurus izinya sudah mulai beroperasi. Akhirnya kami cabut rekomendasinya,” kata Dendi.

Titik lain, adalah kawasan Panglong Batubesar yang juga sudah beberapa kali dilakukan penertiban namun penambang baru terus datang.

Pihak Bapedal, kata dia, sempat mengangkat belasan mesin penyedot pasir dari lokasi tersebut namun mendapat perlawanan dari penambang.

“Terus terang anggota kami memang terbatas. Untuk penyelidikan oleh PPNS Bapedal Batam juga prosesnya lama, karena harus berdasarkan rekomendasi tim ahli yang menyatakan ada kerusakan lingkungan pada lokasi pertambangan,” kata Dendi.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka