Pemerintah memilih impor garam daripada produksi sendiri atau swasembada. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Patut atau tidak, predikat ter-“gaduh” kerap merundung sepanjang periode pemerintahan kabinet Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) dengan Kabinet Kerjan-nya. Aspek kegaduhan yang terjadi meliputi multi dimensi sosial, politik, budaya maupun ekonomi. Tak jarang sumber kegaduhan malah berasal dari internal pemerintah.

Kegaduhan belakangan terkait sektor pangan, yakni impor gula, beras dan garam. Pada kasus garam, tampaknya di tubuh pemerintah tidak lagi berjalan seirama. Bagaikan sepeda dengan ‘pelek penyo’, publik melihat antara satu kementerian degan lainnya tidak berjalan harmonis.

Berbeda dengan kebijakan impor beras yang dilakukan sebelumnya, yakni terkait validasi stok, namun kali ini masalah impor garam adalah mengenai perebutan kewenangan, kementerian mana yang berhak memberi rekomendasi impor. Adapun terkait kebijakan impornya sendiri memang tidak menjadi persoalan, karena dipahami garam konsumsi berbeda dengan garam yang diperuntukkan bagi industri. Untuk garam konsumsi dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, sedangkan garam industri dengan spesifikasi tertentu belum sepenuhnya mampu dipasok dari produk domestik.

Namun terkait persoalan impor garam, tidak sedikit publik merasa heran, bagaimana bisa dengan garis pantai 99.095 km, terpanjang nomor dua di dunia, Indonesia melakukan impor garam? Sedangkan China degan panjang garis pantai 14.500 km, Amerika Serikat 19.924 km, India 7.000 km, Jerman 2.389 km dan Australia 25.760 yang notabene jauh lebih pendek dibanding garis Pantai Indonesia, mereka mampu menjadi lima besar produsen garam di dunia.

Kasus serupa juga dialami negara Rusia, Filipina, Jepang, dan Selandia Baru dengan garis pantai terpanjang, mereka tidak mampu menjadi produsen garam terbesar. Bahkan negara Jepang menjadi negara importir garam terbesar untuk memenuhi permintaan industri mereka. Namun, ukuran tingkat produksi garam dengan garis pantai tidak sepenuhnya keliru, tetapi yang perlu juga dipahami bahwa proses produksi garam tidak dilakukan di laut melainkan di darat. Dan itu tidak semata dilakukan di pantai dengan air laut (sea brine), melaikan dapat juga diprodusi dengan air danau (lake brine), sub-soil brine, dan garam tambang (rock salt deposits).

Dengan segala tantangannya, hampir semua garam di Indonesia dihasilkan dari air laut. Sehingga kendati pengembangan produksi garam harus didorong terus menerus, namun saat ini tidak ada perdebatan terkait keharusan melakukan impor garam untuk pemenuhan kebutuhan industri.

“Sekarang ini memang harus impor, karena kita masih menargetkan di 2020 kita harus swasembada. Ini hanya untuk garam industri, kalau garam konsumsi saya kira tidak ada masalah,” tutur Menko Maritim, Luhut Binsar Panjaitan.

# Gaduh Rebut Kewenangan

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka