Maulana Syekh Yusri Rusydi Jabr Al Hasani dalam acara pembacaan kitab amin al-I'lam bi anna attasawwuf min syariat al-islam karangan syekh Abdullah Siddiq al-Ghumari di Majelis Zawiyah Arraudah, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (28/1/2017). AKTUAL/Tino Oktaviano
Maulana Syekh Yusri Rusydi Jabr Al Hasani dalam acara pembacaan kitab amin al-I'lam bi anna attasawwuf min syariat al-islam karangan syekh Abdullah Siddiq al-Ghumari di Majelis Zawiyah Arraudah, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (28/1/2017). AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Syekh Yusri hafidzahullah Ta’ala wa ro’ah dalam pengajian Bahjat Annufusnya menjelaskan, bahwa merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kita ketahui, yaitu perbedaan antara memuji sebuah amal pekerjaan dengan memuji seseorang yang melakukan pekerjaan itu sendiri. Yang dianjurkan oleh tuntunan baginda Nabi SAW adalah memuji sebuah amal perbuatan, bukan memuji kepada orangnya.

Imam Abu Jamrah RA mengatakan, bahwa memuji sebuah amal perbuatan seseorang adalah merupakan perkara yang disunnahkan. Hal ini adalah sesuai dengan sunnah baginda Nabi SAW, ketika sahabat Abu Hurairah RA bertanya tentang siapakah orang yang paling beruntung mendapatkan syafa’at baginda Nabi SAW di hari kiamat nanti, maka bagindapun memuji Abu Hurairah RA dengan berkata:

“لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لاَ يَسْأَلَنِى عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ”

Artinya: “Sudahlah saya kira ahai Abu Hurairah bahwa tidak ada orang yang lebih dahulu bertanya dari pada dirimu tentang hadits ini, oleh karena saya melihat kesungguhanmu akan hadits ini”(HR. Bukhari).

Pujian baginda Nabi adalah terhadap amal perbuatan Abu Hurairah RA yang berupa kesungguhannya didalam mempelajari hadits baginda, adalah sesuatu yang bisa menjadi motivasi bagi dirinya untuk tetap konsisten serta bertambah kesungguhannya. Berbeda dengan pujian terhadap pribadi seseorang itu sendiri, bukan kepada amal perbuatannya, maka hal ini bisa menimbulkan rasa ujub , sombong dan juga berpaling dari Allah Ta’ala serta bersandar kepada diri dan amal perbuatannya tersebut.

Di dalam mempelajari ilmu tashawwuf, seorang murid tidaklah boleh bersandar kepada diri ataupun amal perbuatannya, akan tetapi hendaklah menjadikan Allah semata sebagai sandarannya. Karena sesungguhnya, tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan Allah Ta’ala. Taufiq serta hidayahNya lah yang menjadikan sesorang itu melakukan sebuah ketaatan, sehingga tidak ada hak miliknya yang pantas disombongkan serta menjadi sandarannya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid