Yogyakarta, Aktual.com – Pelarangan becak motor oleh Pemda DI Yogyakarta masih menuai reaksi penolakan dari pengemudi bentor yang tergabung dalam Front Persatuan Nasional Perjuangan Becak Motor se Indonesia.

LBH Yogyakarta yang mengadvokasi tuntutan para pengemudi bentor ini berpendapat bahwa sudah saatnya pemerintah dan polisi selaku penegak hukum tidak lagi berbicara legal atau tidak legal. Karena negara sendiri sesungguhnya memiliki tanggung jawab terhadap pemenuhan hak warga atas pekerjaan.

Yogi Zulfadli dari LBH Yogyakarta mengakui bentor memang belum memenuhi standar angkutan umum seperti yang diatur UU Transportasi. Tapi ujar dia, persoalan ini tidak bisa hanya dilihat secara normatif.

“Kita harus melihat bentor ini sebagai suatu kebutuhan pekerjaan yang harus dipenuhi oleh negara sebagai pemangku kebijakan,” ujar dia kepada Aktual.com, saat berunjukrasa, di Yogyakarta, Rabu (30/3).

Sambung dia, para pengemudi bentor sebenarnya sudah berinisiatif membuat prototype bentor agar sesuai standar kelayakan dan keselamatan. Namun pemerintah sampai hari ini belum mengakomodir inisiatif tersebut.

Di Yogyakarta sendiri terdapat kurang lebih 1.500 bentor yang beroperasi. Mereka beralasan, secara fisik mereka sudah tidak kuat untuk mengayuh becak kayu karena usia para pengemudi bentor rata-rata diatas 40 tahun, sehingga mereka memodifikasi becak dengan menggabungkannya dengan mesin motor.

Ada lima hal tuntutan yang disampaikan dalam aksi damai mereka. Yakni meminta dihentikannya razia bentor di seluruh Indonesia, tolak zona khusus bentor di seluruh Indonesia, revisi UU no 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Darat, membentuk Perda perlindungan bentor, serta menghapus aturan daerah yang tidak pro bentor.

Pelarangan transportasi bentor di Yogyakarta sendiri didasari atas Surat Edaran Gubernur DIY No.551.2/0136/2003 tentang Larangan Bentor. Salah satu alasan yang menjadi dasar pelarangan adalah tidak sesuainya bentor dengan standarisasi angkutan jalan yang diatur dalam UU Transportasi.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Nelson Nafis