Pertamina tidak pernah membangun Kilang Minyak baru sama sekali dalam 20 tahun terakhir. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Kendati belum kinclong, pencapaian Pemerintahaan Joko Widodo (Jokowi) -Jusuf Kalla (JK) di bidang kemanidirian energi dinilai sudah pada jalur yang tepat (the right traack). Demikian pendapat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Fahmy Radhi.

Capaian yang dimaksud di antaranya pengalihan subsidi BBM dari konsumtif ke produktif, BBM Satu Harga, percepatan elektrifikasi di 25.000 desa, pembangunan jaringan gas untuk rumah tangga, pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Lalu peningkatan iklim investasi semakin kondusif dengan mengubah contract regime dari Product Sharing Contract menjadi Gross Split Contract, serta pengambil-alihan Blok Mahakam dan Freeport.

Namun ujar dia, tidak semua program kemandirian energi Jokowi dapat dicapai sesuai target. Selain Proyek Listrik 35.000 MW, Pemerintahan Jokowi-JK belum berhasil mengurangi ketergantungan impor BBM, bahkan volume impor BBM justru cenderung meningkat.

“Pada 2014, konsumsi BBM sudah mencapai 1.450 ribu barrel per hari, sedangkan kapasitas Kilang Minyak terpasang sebesar 860 ribu barrel per hari, sehingga dibutuhkan impor BBM sekitar 590 ribu barrel per hari. Pada April 2017, konsumsi BBM meningkat menjadi 1.740 ribu barrel per hari, sedangkan kapasitas Kilang terpasang naik hanya sedkit menjadi 920 ribu barrel per hari, sehingga impor BBM naik menjadi 820 barrel per hari, hampir mencapai 50% dari total konsumsi BBM,” kata dia secara tertulis, di Jakarta, Senin (30/10).

Kegagalan mengurangi ketergantungan impor BBM ini disebabkan kenaikkan konsumsi BBM yang lebih besar dari produksi BBM dalam negeri, karena akibat keterbatasan kapasitas Kilang Minyak yang dioperasikan oleh Pertamina. Pasalnya tegas Fahmy, Pertamina tidak pernah membangun Kilang Minyak baru sama sekali dalam 20 tahun terakhir.

Padahal Kilang Minyak Pertamina merupakan kilang-kilang yang sudah tua-renta. Bahkan kilang yang dibangun pada zaman Penjajahan Belanda, antara lain Kilang Balik Papan (1894) dan Kilang Plaju (1903), masih saja digunakan. Sedangkan Kilang Minyak yang dibangun Pertamina umumnya juga sudah relatif tua, di antaranya Kilang Dumai (1971), dan Kilang Cilacap (1976), serta Kilang Kasim, yang terkahir dibangun pada 1997.

Sebelumnya kata Fahmy, pada masa Direktur Utama Pertanina dijabat Dwi Sotjipto, sesungguhnya rencana pembangunan kilang makin menjadi perhatian. Bahkan diperkirakan pada 2023 Indonesia akan mencapai swasembada BBM, semua kebutuhan BBM akan dipasok dari Kilang Minyak dalam negeri.

Upaya untuk menambah kapasitas Kilang Minyak dengan melakukan pengembangan dan modifikasi existing Kilang dalam proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Pembangunan Kilang baru.

Total penambahan kapasitas Kilang Minyak melalui RDMP dan GRR ditergetkan sebesar 2 juta barrel per hari, yang akan diselesaikan pada 2022. Sedangkan konsumsi BBM pada periode yang sama diproyeksikan mencapai 1,9 juta barel per hari, sehingga pada 2023 Indonesia tidak akan impor BBM lagi.

Untuk mencapai target itu, Pertamina menjalankan 4 Proyek RDMP Kilang CIlacap, Balik Papan, Balongan dan Dumai, serta 2 Proyek Gross Root Refinery (GRR). Setiap Proyek RDMP membutuhkan dana investasi sekitar USD 5 miliar atau sebsesar Rp 67,5 triliun (asumsi USD 1 setara Rp. 13.500). Sedangkan satu Proyek GRR dubutuhkan dana investasi sekitar USD 12,5 miliar atau setara Rp. 168,75 triliun. sekitar USD 45 miliar atau setara Rp. 607,5 triliun.

“Memang berat bagi Pertamina untuk menyediakan dana investasi sebesar itu. Namun penyelesaian semua Proyek RDMP dan GRR merupakan suatu keniscayaan yang harus direalisasikan tepat waktu sesuai target,” kata dia.

Tetapi kemudian dia melihat manajemen baru di bawah direktur utama Elia Massa Manik, tidak memiliki kemampuan keuangan untuk menyelesaikannya. Pertamina harus menunda waktu penyelesaian RDMP dan GRR antara 1 hingga 3 tahun, sehingga target untuk swasembada BBM pada 2023 tidak akan dapat dipenuhi.

Karena itu, untuk mengatasi ketidakmampuan dalam menyediakan dana, menurutnya Pertamina harus menawarkan sejumlah saham Proyek RDMP kepada swasta. Kalau perlu proporsi kepemilikan saham swasta lebih besar dari pada proporsi Pertamina.

Selain itu, Pemerintah harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada swasta untuk membangun Kilang Minyak baru.

“Masuknya swasta, baik dalam Proyek RDMP dan GRR, maupun dalam Proyek Pembangunan Kilang baru sesungguhnya sangat dimungkinkan. Lantaran Menteri ESDM sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 35 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak di Dalam Negeri oleh Badan Usaha Swasta,” ujar dia.

Agar investor swasta tertarik untuk masuk pada investasi Proyek Pengembangan dan Pembangunan Kilang Minyak di Indonesia, Pemerintah juga harus memberikan kemudahan dan fasilitas, serta insentif kepada investor swasta.

Insentif itu berupa percepatan pembebasan tanah dan perizinanan, serta memberikan fasilitas insentif fiskal dan non-fiskal. Selain itu, Kilang Minyak baru yang dibangun harus dapat diintegrasikan, tidak hanya untuk menghasilkan BBM, tetapi dapat juga untuk menghasilkan produk-produk petro-kimia, sehingga tercapai kapasitas keekonomian (economic of scale)
Upaya untuk melibatkan swasta akan menjadi solusi untuk mengatasi ketidakmampuan Pertamina dalam menyelesaikan proyek pengembangan dan pembangunan kilang minyak sesuai target ditetapkan.

“Tanpa ada solusi mengatasi ketidakmampuan Pertamina, jangan harap program kemandirian energi Presiden Jokowi, dalam pengurangan ketergantungan impor BBM, dapat diwujudkan selama periode Pemerintahan Jokowi,” pungkas dia.
Pewarta : Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs