Jakarta, Aktual.com – Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi, mengkritik pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang terjadi selama era reformasi. Pria yang akrab disapa Kris ini mengatakan bahwa Pemilu di Indonesia telah melenceng dari hakikat aslinya.

Sejatinya, kata Kris, pemilu merupakan proses demokrasi yang dapat dijadikan sarana pendidikan politik, khususnya mengenai kehidupan demokrasi, bagi masyarakat. Namun belakangan, rakyat justru dijadikan sapi perahan dan obyek politik belaka, sehingga telah mereduksi hakikat dari pemilu itu sendiri.

“Makanya pemilu itu menjadi dehumanisasi, karena yang ditonjolkan itu angka. Kita ini cuma kumpulan angka, seperti kemarin berebut Presidential Theshold, 20 persen, nol persen, 15 persen. Kita cuma dijadikan angka-angka saja, kan menjadi “dehumanisasi”,” ujarnya saat ditemu di kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (11/8).

Praktik ini disebutnya semakin menjadi-jadi dalam perhelatan pemilu yang terakhir. Pada Pilpres 2014, jelasnya, rakyat hanya akan menjadi sasaran dari dagelan politik yang diwarnai aksi saling fitnah oleh kedua kubu.

Lebih lanjut, pola-pola yang terjadi di Pilpres 2014 kemungkinan akan berulang kembali pada Pilpres 2019. Apalagi, saat ini peta politik dan koalisi partai politik sudah bisa digambarkan. Partai Gerindra, PKS dan Partai Demokrat mulai menjalin komunikasi. Sementara Partai Golkar dan PPP sudah memantapkan pilihannya untuk mengusung Joko Widodo dalam Pilpres 2019 mendatang.

“Berarti kita kembali kepada pertarungan lama. Dipertarungan lama, kalau tidak ada kekuatan media yang menetralisir itu menjadi kekuatan berbau primordial,” pungkasnya.

 

Laporan Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh: