Terdakwa dugaan kasus penistaan agama, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama, usai berdiskusi dengan penasehat hukum dalam sidang ke 22, dengan agenda pembacaan putusan (vonis) di pengadilan Jakarta Utara, Auditorium Kementrian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (9/5/2017). Majelis hakim dengan berbagai pertimbangan, menjatuhkan hukuman 2 tahun kepada Basuki Tjahja Purnama atas tuduhan penistaan agama. Suara Pembaruan-POOL/Joanito De Saojoao

Yogyakarta, Aktual.com – Pemerintah Indonesia dinilai perlu memberi penjelasan terbuka ke dunia internasional soal vonis penjara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok usai muncul sejumlah reaksi mulai dari Amnesty International, Dewan HAM PBB hingga Uni Eropa.

“Pemerintah perlu memberi penjelasan yang cukup terbuka bagi pihak-pihak internasional mengenai hukum yang berjalan di negara kita,” ujar analis hubungan internasional, Enggar Furi Herdianto, kepada Aktual di Yogyakarta, Kamis (11/5).

Alasannya, demi memastikan bahwa pengadilan di Indonesia telah menjalankan sistem peradilan sesuai hukum yang berlaku atau dapat pula diartikan sebagai upaya perlindungan kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia dari serangan SARA.

Bilamana dilakukan, Enggar yakin hal ini dapat menguatkan kembali posisi demokrasi Indonesia di mata Internasional, dimana pemerintah selaku eksekutif memang dilarang mencampuri urusan yudikatif atau peradilan.

“Disini Indonesia harus mampu menunjukkan bahwa peraturan yang digunakan untuk menjerat Ahok itu tidak hanya digunakan untuk kepentingan kelompok mayoritas saja,” kata pengajar di UII Yogyakarta ini.

Dengan kata lain, pengadilan pun secara progresif perlu menjalankan sistem peradilan secara adil bagi kelompok minoritas yang juga mendapat perlakuan bersifat kebencian atau penghinaan atas agama yang mereka anut.

Badan yudikatif Indonesia dituntut berani menindak kelompok yang menggunakan identitas agama untuk melakukan tindakan anarkis terhadap kelompok agama lain berlatar kebencian, siapapun itu.

“Sehingga dunia internasional bisa memahami implementasi peraturan tersebut di Indonesia,” imbuhnya.

Tak dipungkiri, Pasal Penodaan Agama menurutnya memiliki celah yang bisa dimanfaatkan sekelompok tertentu untuk saling menekan sesuai kepentingan. Disinilah fungsi sistem peradilan, harus mampu menjaga keadilan bagi semua orang.

Munculnya reaksi internasional usai keluarnya vonis pengadilan, sementara ini dinilainya tidak akan sampai menjadi tekanan yang bersifat signifikan, seperti sanksi atau bahkan intervensi asing.

Pasalnya, kasus Ahok bukanlah sesuatu yang menimbulkan korban jiwa atau setidaknya tak ada yang mati gara-gara kasus ini. Terlebih, Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas perumusan dan pelaksanaan hukum di negerinya sendiri.

Indonesia pun kata Enggar bukan satu-satunya negara yang menerapkan peraturan mengenai penghinaan agama, sebagaimana pernah dipaparkan oleh media ternama Al-Jazeera.

Selain itu, dalam kerangka ASEAN, posisi Indonesia cenderung lebih aman karena adanya prinsip non-interference sesama negara anggota, mencegah negara lain turut campur permasalahan domestik.

Contoh faktualnya adalah Myanmar. Meski pembantaian warga sipil terjadi di Rohingya, pemerintahannya menggunakan hak prinsip non-interference ASEAN sehingga kasusnya hanya ditangani pihak internal Myanmar.

“Vonis yang dijatuhkan pada Ahok sudah terjadi dan putusan tersebut merupakan produk hukum yang sah menurut proses peradilan di Indonesia. Ahok masih memiliki hak untuk banding, harus kita akui juga haknya,” demikian Enggar.

(Nelson Nafis)

Artikel ini ditulis oleh: