Kawal proses pemilihan Dirut Pertamina agar terlepas dari bayang-bayang mafia migas. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah memperkirakan tidak perlu dilakukan impor gas pada tahun 2019 karena adanya tambahan produksi dari Lapangan Jangkrik yang dikelola oleh ENI. Produksi gas juga meningkat apabila Lapangan Tangguh Train 3 dan Blok Masela juga berproduksi sesuai rencana.

Sebelumnya berdasarkan data Neraca Gas Bumi Indonesia, diperkirakan Indonesia perlu melakukan impor gas pada tahun 2019. Namun setelah dilakukan update, ternyata terjadi penurunan kebutuhan karena program kelistrikan 35.000 MW yang belum rampung serta adanya peningkatan produksi dari Lapangan Jangkrik yang dikelola ENI yang semula 450 MMSCFD, dapat ditingkatkan menjadi 600 MMSCFD.

“Lapangan Jangkrik ini maju kan (produksinya), ternyata bagus (hasilnya). Yang tadinya didesain 400 sampai 450 MMSCFD, pas dites bisa sampai 600 MMSCFD. Jadi kemungkinan besar 2019 tidak perlu impor,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi IGN Wiratmaja Puja usai membuka acara Gas Indonesia Summit 2017 di Jakarta Convention Centre, ditulis Kamis (13/7).

Tambahan produksi gas lainnya, berasal dari Tangguh Train 3 tahun 2020 yang membuat pasokan gas Indonesia tetap aman. “2020, begitu Tangguh Train 3, masuk nggak perlu impor lagi,” ujarnya.

Produksi kembali bertambah apabila Blok Masela berproduksi tahun 2025-2027

Terkait kelebihan pasokan gas dalam negeri ini, pihak PT Pertamina tidak khwatir kemana melempar LNG hasil impor dari ExxonMobil melalui kontrak berjangka Panjang yang akan berlansung hingga 2045.

Menurut Direktur Utama Pertamina, Elia Massa Manik, pihaknya telah mempunyai strategi agar impor 1 juta ton per tahun (2025-2045) itu terserap secara baik.

“Itu pasti kawan-kawan di gas itu sudah punya strategi. Kan kita nggak bisa market buka kemana saja. Nanti kau tau,” katanya di Jakarta, Rabu (12/7).

Untuk mengingatkan, kontrak impor LNG ini ditandatangani sekatu kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), Michael Richard Pence ke Indonesia.

Berdasarkan keterangan Direktur Migas Pertamina, Yenni Andayani, meskipun LNG itu ditandatangani dengan perusahaan asal AS, yakni ExxonMobil, namun tidak berarti LNG-nya dibawa dari negara AS.

“Tolong dimengerti, kalau beli dari ExxonMobil, perusahan Amerika, lau bukan berarti bawa kargo dari Amerika. ExxonMobi memiliki portopolio volume atau portopolio kapasitas di berbagai lokasi di seluruh dunia. Jadi itu adalah fleksibelitas, dimana kalau kita beli dari ExxonMobil bisa dapat dari tempat yang terdekat,” Katanya di Kementerian BUMN, Kamis (27/4).

“Sumber mereka yang terdekat dari Indonesian, ada Papua New Guinea, kemudian di Qatar, mereka punya beberapa fasilitas. Jadi intinya kami membeli Kargo international oil company, dimana volume mereka tidak hanya tergantung dari satu producer facility saja,” tandasnya.

Namun sesungguhnya Peneliti Enkonomi Energi UGM yang juga mantan Tim Tatakelola Migas, Fahmy Radhi telah memahami hal itu, bahkan dia mensinyalir pembelian LNG itu akan diambil dari hasil eksploitasi Exxon dari blok migas yang ada di perairan laut Natuna Indonesia. Hal ini tentunya membuat Fahmy Radhi merasa prihatin.

“Saya perkirakan impor LNG itu akan diambilkan dari hasil eksplorasi dari lahan gas Natuna, yang saat ini dikuasai oleh Exxon. Kalau benar, sungguh amat ironis bagi Indonesia. impor LNG yang gas-nya diperoleh dari lahan gas dalam negeri milik Indonesia sendiri,” tandasnya.

Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Arbie Marwan