Jakarta, Aktual.com – Ekonom dari CORE Indonesia, Muhammad Faisal menyayangkan adanya peningkatan defisit anggaran di APBN Perubahan 2017 dari sebelumnya di 2,41 persen menjadi 2,92 persen.

Dengan besarnya defisit di APBNP itu membuat pemerintah pun akan banyak mencari utangan baru. Dan itu berdampak ke likuditas keungan dalam negeri, seperti yang terjadi kebijakan Bank Sentral AS, The Fed dan Bank Sentral Uni Eropa (ECB).

“Jadi sekarang, pemerintah harus menghentikan kecenderungan pembiayaan anggaran melalui utang. Karena saat ini, trennya terus meningkat dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir. Serta pemerintah perlu memperbaiki manajemen risiko utangnya,” kata Faisal di Jakarta, Rabu (12/7).

Pada APBN 2017 lalu, kata dia, bunga utang yang ditanggung pemerintah mencapai Rp221 triliun. Angka itu meningkat 21 persen dibanding pembayaran bunga utang pada APBN-P 2016 yang mencapai Rp182 triliun.

“Dan kini akan naik lagi di APBNP 2017. Apalagi dalam tiga tahun terakhir (di era Jokowi), rata-rata peningkatan pembayaran bunga utang per tahun mencapai 18 persen, jauh lebih tinggi dibanding periode 2009-2014 yang rata-rata per tahun meningkat 7 persen,” jelas dia.

Dengan semakin besarnya porsi pembiayaan melalui utang pada RAPBN-P 2017, ucap Faisal, pemerintah harus lebih mencermati risiko suku bunga.

Meskipun memang, dia mengingatkan, surat utang indonesia telah mendapat label “investment grade” oleh beberapa lembaga credit rating, itu tidak menjamin surat utang Indonesia terbebas dari risiko pasar.

“Seperti potensi kenaikan suku bunga The Fed dan European Central Bank (ECB) yang mengakibatkan perebutan likuditas obligasi global semakin ketat,” ingatnya.

Di samping itu, kata dia, penerbitan surat utang negara (SUN) juga akan menimbulkan crowding out effect karena penerbitan SUN akan menyerap likuiditas di pasar keuangan, sehingga pasar obligasi akan kekurangan likuiditas akibat sepi peminat.

“Kondisi ini akan mendorong pihak swasta mencari alternatif pembiayaan lain seperti utang dari luar negeri,” ujarnya.

Penyebab defisit yang melebar itu karena pemerintah menurunkan target pendapatan dari Rp1.750 triliun pada APBN 2017 menjadi Rp1.714 triliun pada APBN-P 2017.

Ini karena adanya penurunan target penerimaan pajak yang menyumbang 85 persen dari total penerimaan negara, dari Rp1.498 triliun menjadi Rp 1.450 triliun. Di sisi lain pagu belanja negara ditargetkan naik dari Rp2.080 triliun menjadi Rp2.111 triliun.

Belanja subsidi meningkat paling tinggi yakni 14 persen, dari Rp160 triliun pada APBN 2017 menjadi Rp182 triliun pada RAPBN-P 2017.

Dengan demikian, defisit anggaran yang sebelumnya ditargetkan Rp330 triliun atau 2,41 persen terhadap PDB melonjak menjadi Rp397 triliun atau 2,92 persen terhadap PDB.

Kondisi ini berdampak pada peningkatan pembiayaan anggaran melalui utang. Pembiayaan utang pada RAPBN-P 2017 dipatok Rp397 triliun, atau meningkat 20 persen dibandingkan RAPBN 2017 yang mencapai Rp 330 triliun.

 

Laporan Busthomi

Artikel ini ditulis oleh: