BANYUWANGI, 6/6 - PERAHU SALEREK. Beberapa anak buah kapal (ABK) perahu salerek menarik jaring yang ditebar di Perairan Selat Bali, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (6/6). Perahu jenis ini dalam berlayar harus sepasang (dua unit) karena satu perahu menjadi simpul dan satunya menebar jaring, serta mampu mengangkut 30 ton ikan dengan 40 ABK. Biaya produksi sepasang perahu salerek mencapai Rp. 1 milliar. FOTO ANTARA/Seno S./ss/nz/12.

Pembangunan itu penting. Namun, pemerataan hasil pembangunan, khususnya buat rakyat kecil, jauh lebih penting. Itulah sebabnya, memasuki paruh kedua pemerintahan, Presiden Joko Widodo menegaskan mendesaknya pemerataan kesejahteraan buat rakyat kecil dan pembangunan infrastruktur.

Sesuai program Nawacita ketiga, pemerintah berkomitmen membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Dalam dua tahun terakhir, ratusan proyek infrastruktur strategis maupun dasar, khususnya di daerah pinggiran terus digulirkan.

Kini, pemerintah memprioritaskan pemerataan bagi rakyat di seluruh pelosok negeri. Pada 2017, pemerintah Jokowi tampaknya ingin bekerja lebih fokus lagi, guna mewujudkan pemerataan ekonomi. Terutama, memperkecil ketimpangan ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin.

Kebijakan pemerataan ekonomi ini harus betul-betul menyentuh lapisan masyarakat terbawah. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah terobosan kebijakan, baik melalui redistribusi aset, langkah-langkah afirmasi untuk memberikan kesamaan kesempatan, serta peningkatan akses pendidikan dan keterampilan bagi 40 persen kelompok masyarakat terbawah.

Salah satu upaya pemerataan kesejahteraan, yang menjadi prioritas pemerintah, adalah peningkatan taraf hidup masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kategori MBR adalah kelompok masyarakat yang berpenghasilan kurang dari Rp 7 juta per bulan. Mereka berasal dari kalangan buruh, santri, nelayan, guru, prajurit TNI/Polri, PNS,

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menjadi salah satu kementerian, yang bertanggung jawab menggarap sejumlah program, yang menyentuh kepentingan MBR. Seperti: pembangunan rumah susun sewa/rusun milik dan hunian layak tinggal bagi kalangan buruh maupun MBR di beberapa kota.

Kota-kota itu adalah Jakarta, Batam, Bogor, Ungaran, dan Serpong. Lokasi hunian bagi MBR akan terus dikembangkan di kota-kota lainnya. Caranya, dengan memanfaatkan tanah milik Kementerian PUPR, BUMN, maupun pemerintah daerah. Selain Kementerian PUPR, kementerian lain juga tidak boleh berdiam diri, tetapi harus pro-aktif mendukung program pemerataan kesejahteraan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), misalnya, juga memiliki program asuransi nelayan yang menyasar kalangan nelayan tradisional. KKP sejak dua tahun lalu juga telah memprioritaskan pembangunan pulau-pulau terluar dan kawasan perbatasan, sebagai Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT).

Yang menarik adalah Kementerian PUPR juga membuat hunian buat nelayan dan MBR di pesisir Lombok, Nusa Tenggara Barat. Rusunawa lima lantai di Labuhan Lombok terdiri dari 114 unit, dan sudah difasilitasi dengan meubelair, listrik, dan air.

Dari 114 unit yang dialokasikan tersebut, 61 unit sudah dihuni nelayan dan MBR di pesisir Lombok. Sedikitnya, pemerintah sampai 2018 akan membenahi permukiman nelayan dan tepi air agar laik hunian, di 11 wilayah seperti: Bengkulu, Kupang, Pontianak dan Tegal.

Gerakan membangun pemerataan kesejahteraan juga dilakukan KKP dengan menggarap SKPT. Program ini bertujuan mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan pulau mandiri dan terpadu.

Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan pendapatan nelayan dan rakyat pesisir, produksi perikanan, nilai investasi, nilai kredit yang disalurkan, ragam produk olahan, utilitas Unit Pengolahan Ikan (UPI), dan nilai ekspor.

SKPT merupakan pembangunan pulau-pulau kecil dan kawasan perbatasan dengan basis spasial, serta sektor kelautan dan perikanan sebagai penggerak utamanya. Untuk mengejar efektivitas dan efisensi, SKPT juga akan dilengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk para nelayan kembali melaut. Seperti: ketersediaan bahan bakar dan kebutuhan logistik untuk melaut.

Aspek peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan juga menjadi hal mutlak yang menjadi target prioritas dalam SKPT.Fasilitas penunjang juga disediakan seperti listrik, air bersih, akses jalan, dan rumah singgah nelayan.

Tentu pembangunan SKPT ini tidak hanya menjadi ranah KKP, tetapi juga didukung penuh oleh pemerintah daerah dan kementerian/lembaga/BUMN terkait. Dari sisi pembiayaan dan investasi, juga perlu dukungan dari perbankan nasional dan bank swasta nasional lainnya.

Tahun 2017, SKPT dikembangkan di 12 lokasi utama yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Yaitu: Sabang, Mentawai, Natuna, Nunukan, Talaud, Rote Ndao, Sumba Timur, Saumlaki, Morotai, Merauke, Biak Numfor, dan Mimika. Di lokasi tersebut dibagikan 1.010 bantuan kapal penangkap ikan dan alat penangkap ikan kepada para nelayan.

Ada pula penyediaan 10 unit integrated cold storage berkapasitas 500 ton; 450 unit alat budi daya dan 2 unit gudang rumput laut; 36 unit dermaga apung; serta banyak bantuan sarana dan prasarana lainnya, yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan hasil produksi.

Selain itu, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan atau Corporate Social Responsibility (CSR) dari berbagai BUMN dan swasta juga diharapkan dapat disalurkan ke lokasi-lokasi tersebut, guna menopang pertumbuhan ekonomi daerah. ***

Artikel ini ditulis oleh: