Foto udara kawasan reklamasi di Teluk Jakarta, Rabu (11/5). Pemerintah telah memutuskan moratorium reklamasi Teluk Jakarta hingga enam bulan mendatang sambil membuat rencana induk holistik, terperinci dan mendalam terkait proyek pembangunan Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) atau Proyek Garuda yang lebih dikenal dengan nama tanggul laut raksasa. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ama/16.

Jakarta, Aktual.com — Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta serta Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) oleh DPRD dan Pemprov DKI dianggap mubazir.

Kesia-siaan itu, kata Direktur Eksekutif Indonesia Lingkungan Hidup Watch (ILW), Fariz Ismu Amir Hatala, tercermin dari beberapa hal. Pertama, pemborosan keuangan negara.

“Belasan mungkin puluhan kali rapat digelar untuk membahas dua raperda itu dan menghabiskan uang ratusan juta rupiah untuk konsumsi dan keperluan rapat lainnya. Tapi, kini dihentikan pembahasannya dan publik tidak mendapatkan manfaat apa-apa,” ujarnya kepada Aktual.com, Senin (23/5).

Minimnya partisipasi anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD, perwakilan Pemprov DKI, dan pihak terkait lain juga menjadi faktor selanjutnya. Sebab, meski minim kontribusi gagasan dari berbagai unsur kelompok, dewan kala itu sempat memaksakan untuk mengesahkannya melalui paripurna.

“Kalau seandainya disahkan, tentu akan mubazir bagi rakyat, karena aspirasi mereka, khususnya warga pesisir dan nelayan, tidak terakomodir,” jelas eks aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini.

Ketidak bermanfaatan kedua alas hukum reklamasi Teluk Jakarta tersebut nantinya, juga tercermin dari kerangka tata ruang yang diatur, mengingat hanya mencantumkan megaproyek 17 pulau buatan saja.

“Padahal, Januari 2016, pemerintah pusat telah mencanangkan proyek giant seal wall (tanggul laut atau GSW) yang tercantum dalam Perpres No. 3/2016. Apabila disahkan, tentu tak sampai lima tahun akan kembali direvisi dan uang negara kembali dihambur-hamburkan untuk menyusun ulang,” bebernya.

Menurut Ais, nama sapanya, Pemda DKI pun tak berwenang untuk menyusun kedua aturan tersebut. Sebab, sesuai amanat UU No. 27/2007 sebagaimana diubah dalam UU No. 1/2014, megaproyek yang menelan anggaran hingga ratusan triliun itu koridor pemerintah pusat.

“Dan sebelum akhirnya kasus ini berpolemik karena terbongkarnya kasus dugaan suap yang menjerat anggota DPRD dan pengembang, pemerintah pusat tidak mewacanakan reklamasi 17 pulau. Jadi, seharusnya ada koordinasi dahulu dengan pemerintah pusat, bukan kepada pengembang,” paparnya.

“Itu semua adalah lingkaran setan dari pembahasan dua raperda reklamasi tadi, selain momok-momok lainnya, seperti pelampauan kewenangan oleh gubernur, marjinalisasi kaum papa di pesisir, dan kasus korupsi,” pungkas Ais.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan