Jakarta, Aktual.com,- Ada sesuatu kekosongan spiritual pada jantung para pemimpin bangsa kita saat ini, di semua tingkatan, baik nasional maupun daerah.

Suatu degenerasi moral yang menjadi ciri dari segala sesuatu yang kemudian coba ditularkan kepada masyarakat dan bangsa kita. Jika pemimpin kita sekarang tidak mampu mengenali kekosongan tersebut secara seksama dan secara kritis, maka para pemimpin kita tak akan mampu melakukan apapun untuk mengubah tingkah laku kita. Apalagi untuk menyelamatkian negara kita dari keruntuhan yang akhirnya bakal terjadi.

Mari kita diagnosis gejala-gejala permukaan atau simptomnya. Perekonomian kusut masai, kebijakan dan tingkah laku pemerintah kita di dalam dan luar negeri kacau-balau. Pemeritah kita telah melakukan beberapa kekeliruan yang menyolok baik di dalam maupun luar negeri. Sehingga menciptakan perpaduan antara kebingungan dan kejutan di mana-mana.

Kita sedang menyaksikan seluruh rangkaian gejala yang tak mengenal saling pengertian, sehingga benar-benar melampaui batas-batas akal sehat.

Situasi ini kemudian menimbulkan rasa keterpencilan yang kosong pada jiwa para pemimpin kita, yang disadari atau tidak, telah menularkan rasa inti keterpencilan yang kosong tersebut kepada jiwa masyarakat dan bangsa kita.

Sehingga akhirnya mempengaruhi segala sesuatu yang para pemimpin lakukan dan pikirkan. Alhasil, rasa inti keterpencilan yang kosong pada diri para pemimpin nasional dan daerah kita saat ini, terpancar melalui serangkaian peristiwa-peristiwa,, kegiatan-kegiatan, dan kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup masyarakat Indonesia.

Permaslaah kita saat ini bermula pada tingkat ini, dan apabila kita hendak melakukan sesuatu tentang hal itu, hendaknya pemecahannya pun dimulai dari sana.

Kalau memang begitu halnya, darimana pemecahan masalah pelik tersebut bermula? Karena tadi saya katakan tadi keksongan spiritual sedang melanda para pemimpin bangsa kita saat ini, maka krisis metafisik lah yang sesungguhnya menjadi akar penyebab timbulnya aneka kesulitan-kesulitan yang melanda bangsa ktia saat ini.

Para pakar mungkin memandang simptom penyakit ini sebagai “kemerosotan moral,” Tapi menurut saya, ada sesuatu yang lebih dalam dari itu. Hancurnya falsafah moral sebagai pegangan spiritual para pemimpin bangsa dewasa ini.

Ketika tidak ada falsafah moral sebagai pegangan spiritual, maka bukan saja kebangkrutan material bangsa yang terjadi, melainkan juga kebangrutan metafisik itu sendiri. Artinya, bangkrut lahir dan batin.

Ketika kita, termasuk para pemimpin bangsa, tidak punya falsafah moral sebagai pegangan spiritual, maka para pemimpin dan ktia sebagai bangsa, sejatinya tidak tahu apa cita-cita kia sesungguhnya kini dan kelak.

Kita dan para pemimpin bangsa, tak tahu apa kesadaran dan hasrat kita kita secara bersama sebagai bangsa, untuk mencapai cita-cita dan hasrat nasional tersebut. Atau kalau mau meminjam istilah Founding Father ktia Bung Hatta, Multiplikasi Hasrat Bersama.

Ya, multiplikasi hasrat bersama bangsa inilah yang sekarang hilang dari diri para pemimpin kita, yang pada akhirnya kita bersama sebagai entitas bangsa.

Karena tak punya falsafah moral nasional, maka kita pun tak punya kode moralitas nasional, dan akhirnya baik para pemimpin maupun masyarakat kita, tak punya pegangan spiritual. Ikatan moral antaranggota masyarakat, dan bahkan antara pemimpin dan masyarakatnya, sama sekali tidak terjalin dan tidak bersenyawa.

Alhasil, timbullah kebingungan sosial dan kebingungan nasional, yang pada perkembangannya berpotensi menuju keruntuhan sistem politik kita. Padahal, justru politik itulah alat yang paling ampuh untuk membesarkan dan menjadikan suatu falsafah moral sebagai kekuatan yang hidup.

Seperti halnya ketika Bung Karno, Bapak Bangsa kita, melalui sarana politik yaitu Bapak Bangsa, dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menawarkan Pancasila, untuk menghidupkan Kode Moralitas Nasional dan Falsafah Moral Nasional. Sehingga melalui Pancasila sebagai Falsafah Moral Nasional atau Kode Moralitas Nasional, kita sebagai entitas bangsa secara kolektif menyadari apa cita-cita dan hasrat sejati bangsa Indonesia. Dan itulah yang kemudian tersurat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Seluruh rangkaian peristiwa, kegiatan dan kebijakan pemerintah yang menciptakan pepaduan antara kebingungan dan kejutan di mana-mana, sesungguhnya berakar pada kenyataan bahwa para pemimpin kita di tingkat nasional dan daerah, sejak lama telah mengabaikan kebutuhan nasional yang dasariah ini.

Yang buruknya lagi, mereka telah gagal, dalam suatu masa yang menentukan seperti sekarang ini, untuk mengenali tanggungjawab penting guna mengisi kekosongan spiritual bangsa saat ini. Dan tidak mengenali tanggungjawab penting untuk membangun landasan moral yang telah dirobohkan oleh perkembangan yang terjadi menyusul pergantian rejim kekuasaan pada Mei 1998.

Hendrajit

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit