Plh. Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati (kanan) memberi keterangan pers mengenai operasi tangkap tangan di Bengkulu, di gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/5). KPK menetapkan Ketua PN Kepahiang, Bengkulu Janner Purba sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan suap untuk mempengaruhi putusan terkait kasus tindak pidana korupsi penyalahgunaan honor Dewan Pembina Rumah Sakit Umum Daerah Bengkulu yang sedang disidang di PN Bengkulu. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/pd/16.

Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan pemicu dan pemberdaya (trigger mechanism) pemberangusan korupsi di Indonesia. Dengan predikat itu, KPK seharusnya lebih memprioritaskan diri untuk menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi berskala besar.

Kendati demikian, KPK sekarang dianggap terlihat asik mengurus perkara korupsi ataupun suap yang nilainya kecil. Padahal Agus Rahardjo Cs memiliki amunisi untuk menguak kasus berlabel ‘grand corruption’.

“Kalau KPK sebagai triger mechanism untuk menguatkan dua lembaga itu (Kejaksaan dan Kepolisian) fungsi KPK jangan malah main kepada persoalan-persoalan hukum yang ‘cere’ (kecil). KPK harusnya berani untuk mengungkap persoalan-persoalan yang namanya grand corruption. Apalagi persoalan cuma kisaran Rp50 juta atau Rp 200 juta, padahal biaya satu perkara di KPK itu ratusan juta,” ujar Anggota Komisi III DPR RI Daeng Muhammad, di Jakarta, Selasa (19/7).

Pernyataan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menanggapi kinerja KPK tangani kasus dugaan korupsi di proyek reklamasi Teluk Jakarta yang hingga saat ini berjalan lamban. Daeng curiga, KPK tengah ditunggangi kepentingan politik penguasa.

“Ada inkonsisten sebetulnya. Ada pemilahan-pemilahan yang menurut saya terjadi di KPK. Fungsi kita adalah kalau memang para penegak hukum kita memberikan keadilan terhadap semua orang, iya perlakukan sama. Persoalannya jangan-jangan ada gandeng tangan, bahasa kampung saya itu cantel (antara) penegak hukum, penguasa, pengusaha,” ujar dia.

Proyek Pemuas untuk Taipan

Di satu sisi, Daeng menilai proyek reklamasi Teluk Jakarta tidak hanya berkutat pada masalah hukum. Dalih solusi menyelesaikan problem kepadatan penduduk di Ibu Kota hingga kepada rencana penataan kembali wilayah pesisir, disangsikannya.

Menurut dia reklamasi bukan solusi atasi masalah kepadatan penduduk dan penataan pemukiman. Proyek senilai Rp500 triliunan itu justru dianggapnya menyimpan modus-modus ‘busuk’ para penyelenggara negara dan pengusaha di Jakarta. Bahkan, Daeng menyebut proyek ini disebut sebagai ‘pemuasan’ untuk para pengusaha taipan.

“Jujur, persoalan reklamasi itu bukan persoalan hukum semata. Tapi pesoalan anak cucu kita. Harusnya negara mencari solusi berbagai persoalan. Kalau memang teluk Jakarta itu, sudah tidak layak, tidak bagus, terjadi pencemaran, apa upaya negara ini terhadap persoalan-persoalan ini? Kalau upayanya adalah memberikan konsesi bagaimana melakukan proses reklamasi di teluk Jakarta, ini bukan buat rakyat. Ini buat pengusaha dan yang punya uang,” tandasnya.

Beberapa waktu lalu, Ketua KPK Agus Rahardjo menanggapi kebijakan diskresi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait implementasi tambahan kontribusi pengembang reklamasi yang menurutnya tidak memiliki landasan hukum. Ketika itu, Agus menegaskan bahwa pihaknya serius mengusut keputusan Ahok itu.

“Jangan kemudian kita sebagai birokrat bertindak sesuatu tanpa acuan peraturan perundang-undangan, kan enggak boleh. Tidak adanya aturan yang melandasi diskresi tadi, Agus melanjutkan, memunculkan persoalan. “Kalau enggak ada peraturannya, itu kami ada tanda tanya besar,” kata Agus, 20 Mei lalu. (M Zhacky K)

Artikel ini ditulis oleh: