Pengamat Hukum tata Negara Margarito Kamis

Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi dianggap bukan lembaga negara yang diisi oleh para dewa, sehingga masih kerap luput dari kesalahan dalam pengambilan keputusan dalam perkara-perkara yang disidangkan di lembaga produk amandemen konstitusi tersebut.

Pernyataan tersebut dilontarkan oleh pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, terkait dengan sengketa Pilkada yang sedemikian banyak diperkarakan di MK. Menurut Margarito, sengketa hasil Pilkada Kabupaten Intan Jaya, Papua, adalah contoh teraktual kesalahan MK dalam memutus perkara.

Sebagaimana diketahui, paslon nomor urut 2 Yulius Yapugau dan Yunus Kalabetme, telah diputuskan KPUD Intan Jaya melalui berita acara nomor 7/BA/KPU IJ/II/2017, sebagai pemenang Pilkada Intan Jaya yang diadakan Februari lalu.

“Namun MK memutuskan lain, MK memenangkan Paslon incumbent yakni Natalis Tabuni dan Yaan Robert Kobogoyaw, tapi putusan itu jelas sekali sesat dan tidak konsisten,” kata Margarito saat jumpa pers di Cikini, Jakarta, ditulis Minggu (17/9).

MK telah memutuskan, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor urut tiga, Natalis Tabuni dan Yann Robert Kobogoyauw sebagai pemenang Pilkada Kabupaten Intan Jaya 2017 pada 29 Agustus 2017 lalu.

Margarito menerangkan, terdapat beberapa hal terkait putusan MK yang ia nilai sesat tersebut. Pertama, MK memutuskan paslon incumbent sebagai pemenang berdasarkan C1 KWK yang dihitung oleh MK saat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), namun hasil tersebut berbeda dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap yang ditetapkan sebelumnya dalam pleno KPUD Intan Jaya.

Hasil hitungan MK, menunjukkan adanya tambahan suara yang cukup siginifikan di tiga distrik yang ada di Intan Jaya, yaitu Wandai, Homeyo dan Mbiandoga.

Total suara sah di Distrik Wandai mencapai 14.509, sementara Daftar Pemilih Tetap (DPT) hanya 8.352.

Sedangkan di Distrik Homeyo, hasil hitungan MK total suara sah 18.079 sementara DPT-nya hanya 14.881, dan Distrik Mbiandoga hasil hitungan MK total suara sah sebanayk 567, padahal jumlah DPT sebanyak 14.509.

“Ini kan menunjukkan bahwa data C1 yang diserahkan ke MK oleh Refly Harun sebagai kuasa hukum nomor 3 adalah tidak valid dan penuh rekayasa, kenapa MK masih menghitungnya? Kenapa tidak dicek dulu DPT-nya?” tegas Margarito.

Selain itu, Margarito menilai putusan MK tersebut juga tidak konsisten lantaran bertentangan dengan putusan sebelumnya yang telah menggugurkan perolehan semua Paslon di 7 TPS yang dinilai bermasalah. Hal ini menjadi dasar bagi MK untuk dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU) pada 7 TPS tersebut.

Margarito beranggapan, dalam logika sederhana, perolehan suara semua Paslon di luar 7 TPS tersebut sudah bersifat final dan tidak dapat diubah lagi. Sehingga PSU cukup dilakukan pada 7 TPS yang dianggap bermasalah.

“Namun kenyatannya tidak, MK malah menghitung ulang semua berdasarkan C1 yang tidak valid, artinya MK melanggar putusannya sendiri yang sebelumnya,” tegas Margarito.

Margarito membeberkan, perolehan suara seluruh paslon selain tujuh TPS bermasalah yakni paslon nomor 1 : 8.636 paslon no 2 : 33.958, no 3 : 31.476 dan no 4 : 1.928. Perolehan suara tersebut harusnya ditambahkan dengan suara perolehan suara hasil PSU 7 TPS dimana suara paslon nomor 1 : 120, nomor 2 : 1076, nomor 3: 2.048, nomor 4 : nol. Total suara paslon bila ditambahkan suara dasar dan hasil PSU maka sebagai berikut : Paslon no 1 : 8.756, nomor 2 : 35.034, no 3 : 33.524, no 4 : 1.928.

“Namun MK dengan C1 KWK yang tidak valid itu memangkan paslon nomor 3 dengan suara 36.883 dan paslon nomor 2, 34.395 suara,” paparnya.

Akibat putusan yang sesat itu, Margarito menegaskan, MK harus menanggung dampak sosial yakni konflik masyarakat di Intan Jaya. Paslon nomor dua adalah utusan suku Moni, suku asli dan mayoritas di Intan Jaya, sehingga mereka sadar betul bahwa kekalahan ini akibat adanya kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara yakni KPUD Intan Jaya yang memanipulasi C1 KWK yang oleh MK dijadikan dasar penghitungan suara.

“Sebagai penjaga konstitusi harusnya MK memberikan keadilan kepada masyarakat, bukan justeru menjadi pemicu munculnya konflik masyarakat, harusnya hakim-hakim MK belajar dari kasus akil mukhtar,” pungkasnya.

 

Laporan Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh: