RS Sumber Waras

Jakarta, Aktual.com – Terdapat perbedaan kesimpulan antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam mengusut pengadaan tanah RS Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Perbedaan hasil pengusutan itu diakibatkan bukan karena aturan yang dijadikan landasan, baik itu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2014 atau Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Ada faktor lain yang dinilai sebagai penyebab adanya perbedaan tersebut.

“Jadi sama sekali tidak ada perbedaan parameter antara BPK dan KPK. Cuma perbedaan semangat,” kata pakar hukum pidana Choirul Huda, lewat pesan singkatnya, Jumat (17/6).

Pakar dari Universitas Muhammadiyah Jakarta ini melihat, dalam pengusutan pengadaan tanah seluas 3,6 hektar itu BPK bersemangat untuk menyelamatkan keuangan negara, sedangkan KPK punya semangat yang lain.

“BPK bersemangat menyelamatkan uang negara, sedangkan KPK bersemangat membela dan menyelamatkan calon Gubernur DKI dan calon Wapres 2019,” ujarnya.

Pendapat itu dia sampaikan bukan tanpa alasan. Choirul juga berpedoman dengan cara lembaga antirasuah menangani kasus reklamasi pantai utara Jakarta. Menurutnya, dalam menangani kasus suap PT Agung Podomoro Land, KPK juga terlihat menyelamatkan Ahok.

“Kedapatan ada suap-menyuap dalam reklamasi saja tidak kelihatan kalau itu juga melibatkan yang bersangkutan (Ahok),” pungkasnya.

Menurut BPK, dalam pengadaan tanah RS Sumber Waras timbul kerugian keuangan negara sebesar Rp191 miliar. Sedangkan, KPK yang menyebut ada selisih Rp9 miliar dalam pengadaan senilai Rp800 miliar itu.

“Yang (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia) Mappi nemunya Rp9 miliar,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo, di gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (14/6).

Menarik ketika Agus menyebut bahwa KPK mendapatkan selisih itu dari Mappi, yang kategorinya bisa dikatakan sebagai LSM. Sedangkan BPK, yang diamanatkan oleh Undang-Undang sebagai lembaga yang memang memiliki kewenangan untuk mengaudit keuangan negara.

 

Laporan: Zhacky

Artikel ini ditulis oleh: