Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015

Saudaraku, di tengah mentalitas pecundang yang melumpuhkan prestasi bangsa di berbagai bidang, seorang musisi prodigy asal Bali, Joey Alexander, mengibarkan bendera Indonesia menjulang tinggi di belantika musik dunia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Grammy Awards, seorang bocah berusia 12 tahun dinominasikan dalam dua kategori Grammy, untuk pencapaiannya yang luar biasa dalam kreativitas improvisasi musik jazz. Bukan hanya itu, ia pun tampil di panggung utama Grammy Awards dan ditahbiskan sebagai simbol regenerasi dalam perkembangan musik dunia.

Joey tidaklah berdiri sendiri. Ada jutaan anak-anak berbakat Indonesia lainnya yang terus terpendam dalam lumpur waktu. Tidak seberuntung Joey yang dapat menemukan ekosistem kreativitas yang diperlukan, berkat perjumpaannya dengan berbagai musisi melalui pengembaraan studi musiknya dari Bali, Jakarta hingga New York; bahan-bahan batu mulia Indonesia lainnya tetap teronggok di tempatnya tanpa wahana yang memungkinkannya bisa digosok menjadi permata.

Kisah tersebut menjelaskan bahwa kreativitas tidak semata-mata menyangkut soal bakat. Kreativitas adalah suatu proses penciptaan melalui mana domain simbolik dalam kebudayan berubah (nyanyian baru, ide baru, mesin baru). Kreativitas adalah segala tindakan, ide, atau produk yang mengubah domain budaya yang ada, atau yang mentransformasikan domain yang ada menjadi sesuatu yang baru.

Orang-orang berbakat hanya akan menjadi pribadi kreatif bila menemukan ekosistem kreativitas yang dihasilkan oleh interaksi dari suatu sistem yang terdiri dari 3 elemen. Pertama, domain simbolik (biasanya disebut budaya) yang berisi seperangkat aturan, prosedur, pengetahuan dan informasi (meme) simbolik; sebagai titik tolak sekaligus titik ubah dari kreativitas.

Kedua, bidang pendukung (field) yang meliputi segala orang, institusi dan jaringan yang bertindak sebagai penjaga pintu (gatekeepers) yang mendukung, menyaring dan memvalidasi setiap inovasi untuk bisa masukdan membawa perubahan dalam domain budaya. Penting dicatat bahwa suatu domain (budaya) tak bisa diubah tanpa dukungan (persetujuan) secara eksplisit atau implisit dari suatu bidang (field) yang bertanggungjawab atas hal itu.

Ketiga, barulah faktor kehadiran orang kreatif; yakni seseorang yang pikiran dan tindakannya mengubah suatu domain, atau membentuk domain baru (Mihaly Csikszentmihalyi, 2013).

Kurang berkembangnya kreativitas di negeri ini karena kurangnya dukungan politik terhadap reproduksi pengetahuan dan pengembangan minat-bakat, pemuliaan warisan budaya, serta kegiatan riset dan pengembangan. Kegiatan riset berhenti sebagai kertas laporan penelitian yang dilakukan lembaga-lembaga riset negara tanpa kemampuan membangun budaya riset dan inovasi di tengah masyarakat.

Negeri ini juga nyaris tak melahirkan politik kebudayaan yang dapat memperluas bidang pendukung kreativitas, seperti gedung-gedung pertunjukan, sarana-sarana tekno-estetika, studio-studio seni, pusat-pusat inkubasi, komunitas-komunitas epistemik, gugus kendali mutu, jaringan media, galeri, kurator dan kritik seni. Tanpa dukungan politik kreativitas yang dapat memfasilitasi pengembangan domain simbolik dan bidang pendukung, banyak anak berbakat Indonesia yang lekas layu sebelum berkembang; atau berhenti sebagai jago kandang.

Kreativitas merupakan jantung dari indusri kreatif yang amat menentukan daya hidup bangsa di era globalisasi. Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class, (2002) melukiskan tentang peran esensialdari kreativitas dalam perekonomian kontemporer. Bahwa pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidaklah seperti pada transisi dari era pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik (tanah dan tenaga manusia), melainkan bersandarkan pada inteligensia, pengetahuan dan kreativitas.

Kreativitas manusia-lah satu-satunya sumberdaya yang tak terbatas. Negara-negara dengan creative capital yang tumbuh baik, seperti Finlandia, Swedia, Denmark, Belanda, Irlandia, Canada, Australia dan New Zealand, terbukti memiliki daya saing perekonomian yang lebih kuat.

Isu utamanya di sini, bukanlah human capital dalam arti konvensional yang semata-mata diukur berdasarkan pendidikan formal, melainkan pada pemuliaan daya-daya kreatif lewat penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan kreativitas. Ekosistem kreativitas yang baik merupakan sinergi dari ketersediaan ”teknologi, talenta, dan toleransi (3T)—dengan tiadanya hambatan bagi ragam ekspresi budaya.

Adapun pelaku utama dari ekonomi kreatif (the creative economy) ini tak lain adalah anak-anak muda dengan etos kreatif yang kuat. Itulah sebabnya, mengapa dalam perekonomian global hari ini, banyak pengusaha sukses yang tumbuh dari orang-orang berusia muda.

Pada titik inilah titik genting pertaruhan Indonesia masa depan. Mengapa demikian? Karena bentuk piramida penduduk Indonesia pada awal milenium ini membesar di tengah, mengindikasikan besarnya jumlah pemuda berusia kerja. Meski jumlahnya banyak, peran pemuda dalam berbagai bidang dan lapis kehidupan sosial-politik dan sosial-ekonomi nasional masih terasa lemah, seiring dengan rendahnya kapasitas daya saing mereka dalam kompetisi antarbangsa.

Oleh karena itu, penciptaan ekosistem kreativitas yang diperlukan bagi pengembangan sumberdaya muda merupakan prioritas penting pembangunan Indonesia saat ini. Tanpa adanya kesungguhan dalam politik kreativitas, apa yang disebut sebagai bonus demografi bisa jadi berbalik menjadi bencana demografi.

Bila Joey dengan berjuang sendiri dapat mengibarkan panji-panji kebesaran bangsa, mestinya negara dan organisasi kemasyarakatan dengan segala dukungan sumberdaya dan jaringannya lebih berdaya memfasilitasi lahirnya generasi kreatif Indonesia.

Saatnya menggelorakan kreativitas!

 

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Artikel ini ditulis oleh: