Ada sebuah ironi besar di era pasca reformasi, menyusul lengsernya Presiden Suharto pada 22 Mei 1998. Dalam menghadapi arus deras globalisasi yang sarat membawa misi kepentingan para kapitalis global dan korporasi-korporasi multinasional, bangsa kita justru kehilangan kesadaran nasionalnya. Hal itu disebabkan karena para pemimpin dan elit politik nasional mengabaikan pentingnya pemahaman geopolitik dalam menyusun kebijakan strategis nasional.

Atas dasar kegelisahan pokok inilah, dua pengkaji geopolitik Global Future Institute (GFI) M Arief Pranoto dan Hendrajit, tergerak untuk mendalami hal itu lebih lanjut, kemudian menuangkannya dalam sebuah buku bertajuk Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru.

Foto Hendrajit.
Setelah  melakukan riset pustaka dan penyusuhnan buku selama 5 bulan, terbitlah buku setebal 234 halaman. Maka GFI bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), menyelenggarakan peluncuran buku tersebut pada di Auditorium PTIK pada Rabu 24 Mei 2017.   Buku Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru kemudian dibedah tiga pakar: Dr Dirgo D Purbo. Pakar Geopolitik Perminyakan. Prof Dr Ronny Nitibaskara. Pensehat ahli Kapolri dan Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia. Serta Agung Marsudi. Penulis buku Chevronomics.

Ketiga pakar tersebut secara khusus menyorot salah satu aspek penting dari buku ini, yaitu betapa suatu negara adikuasa mampu menaklukkan dan menguasai sektor-sektor strategis negara sasaran di bidang ideology, politik-ekonomi maupun sosial-budaya, melalui sarana-sarana non-militer. Dan tanpa menggunakan satu butir peluru pun.

Dirgo D Purbo, yang kebetulan beberapa tahun belakangan ini secara intensif mengkaji ketahanan energi dan pangan, saat ini Indonesia sudah kehilangan kedaulatan nasionalnya di sektor pangan dan energi/migas. Sehingga praktis negeri kita dalam posisi sangat berrgantung pada negara-negara adikuasa seperti AS dan Cina. Itulah bukti nyata dari keberhasilan serangan asimetris negara-negara asing sehingga di sektor sumberdaya alam khususnya energi/migas.

Korporasi-korporasi multinasional asing baik dari blok Barat seperti AS dan Uni Eropa maupun Cina, telah menguasai dan mengawal energi/migas kita mulai dari proses eksplorasi hingga eksploitasi. Alhasil, sumberdaya alam atau kekayaan alam kita berhasil dilumpuhkan.Foto Bedah Buku PTIK OKe

Agung Marsudi, yang sebelumnya pernah bekerja untuk perusahaan minyak raksasa AS Chevron yang beroperasi di Indonesia, daya rusak perang asimetris terhadap Indonesia, praktis telah menghancurkan sistem tata kelola negara kita. Bahkan mampu membelokkan ideology dan kebijakan strategis negeri kita dari pro rakyat menjadi pro kepentingan asing.

Buku Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru yang ditulis Arief Pranoto dan Hendrajit, menurut Agung sangat bermanfaat untuk membuka mata banyak kalangan betapa melalui perang asimetris suatu negara adikuasa akan dituntun untuk mengerahkan segala daya dan sumberdaya yang tersedia, untuk menguasai dan mengontrol sumberdaya nasional negara yang jadi sasarannya, termasuk di sektor migas dan energi.

Selain dari itu, perang asimetris negara asing terhadap Indonesia, telah berhasil merasuki tubuh konstitusi Indonesia. Hal ini dengan telah dibuktikan dengan adanya empat kali amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 asli, sehingga sekarang ini praktis sudah berubah secara substansial menjadi UUD 2002. Sebab UUD 1945 hasil empat kali amandemen tersebut ditetapkan pada 2002.. Dengan demikian, amandemen UUD 1945 pada 2002 itu tak berlebihan jika kita katakana sangat sarat dengan aroma “pesanan” negara lain semiasal AS.

Prof Ronny Nitibaskara, mengulas buku ini dengan menggunakan konsep hegemoni yang berasal dari Antonio Gramsci terkait kerangka konsep yang ditawarkan Arief Pranoto dan Hendrajit mengenai konsep Perang Asimetris. Prof Ronny yang saat ini masih menjabat Penasehat Ahli Kapolri, menjabarkan empat unsur ketika suatu negara bermaksud menguasai atau menghegemoni negara lain. Pertama, adanya kontrol terhadap atas produksi sumberdaya alam. Kedua, kontrol atas kekuasaan politik. Ketiga, kontrol atas pengetahuan. Dan keempat, kontrol atas kehidupan manusia.

Lantas,  bagaimana solusi atau jalan keluar agar Indonesia bisa bebas dari jeratan skema penjajahan gaya baru dan perang asimetris pihak asing? Agung Marsudi, menegaskan kita harus kembali kepada jatidiri bangsa. Dirgo punya usulan yang lebih konkrit, yaitu agar kita kembali kepada asas Wawasan Nusantara sebagai landasan awal sekaligus kontra skema menghadapi arus globalisasi maupun skema kapitalisme global dan korporasi multinasional  baik dari blok Barat, Jepang maupun Cina.

Agung Marsudi maupun Dirgo D Purbo agaknya sepakat,  bahwa nasionalisme harus kita jadikan landasan awal untuk pemetaan maupun penyusunan kebijakan-kebijakan strategis negara.

Selain dihadiri beberapa pejabat teras Mabes Polri dan PTIK, Lemhanas, maupun berbagai elemen masyarakat termasuk perguruan tinggi, forum juga mendapat kehormatan dengan hadirnya Letjen (purn) Purbo S. Suwondo, salah seorang veteran pejuang kemerdekaan Indonesia 1945. mantan Wakil Gubernur Akademi Militer Nasional (AMN) 1962-1966, serta Danjen Akabri 193-1978.

Menurut Purbo S Suwondo, terbitnya buku Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Baru karya M Arief Pranoto dan Hendrajit, sangat menginspirasi untuk mendalami secara lebih intensif studi-studi mengenai perang. Termasuk di jajaran kepolisian seperti PTIK.

Rohman Wibowo, Pembantu Khusus Aktual.