Ignatius Jonan

Jakarta, Aktual.com – Kementerian ESDM gencar melakukan revisi regulasi setelah mendapat teguran dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai produk hukum di Kementerian tersebut dirasa menghambat investasi.

Kali ini Menteri ESDM, Ignasius Jonan telah merevisi Permen terkait Kelisteirikan, yakni;

1.Permen ESDM Nomor 49 tahun 2017 (Penyempurnan atas Permen ESDM 10/2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik)

2.Permen ESDM Nomor 45 tahun 2017 (Revisi Permen ESDM 11/20117 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik)

3.Permen ESDM Nomor 50 tahun 2017 (Revisi kedua Permen ESDM 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik).

Namun yang disesalkan oleh Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), seminggu sebelum Permen revisi ini diterbitkan (2/8), pihak PLN dan Kementerian ESDM dikabarkan ‘memaksa’ investor agar menandatangani power purchase agreement (PPA). Pihak investor tidak diberi pilihan, jika tidak menandatangani, maka dianggap mundur dari proyek.

Hal inilah yang dirasa menjebak bagi investor. Dengan regulasi hasil revisi ini, tentu hukum tidak berlaku surut dan investor yang telah menandatangani PPA tidak bisa menggunakan mekanisme ketentuan tarif sebagaimana yang diatur dalam regulasi baru.

“Dipaksa kalau nggak mau tandatangan terus mundur. Untuk apa? Lebih baik ditunda peraturan ini ditunda satu minggu, sehingga orang bisa menyesuaikan. Kalau sekarang kan jadi seperti menjebak pengusaha kan. Setelah dipaksakan untuk tandatangan ceremony foto-foto sama Menteri, sekarang keluar peraturan baru. Tadi ditanyakan oleh salah satu perusahaan boleh nggak berubah, dibilang nggak boleh. Kalau sudah tandatangan yaudah nasibnya,” sesal Ketua APPLTA, Riza Husni di Jakarta, Kamis 10/8).

Sementara Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Surya Darma melihat hasil revisi ini tetap tidak menarik karena membingungkan bagi investor dalam kesepakatan harga jual terhadap PLN. Dengan mekanisme B to B akan sulit mencapai kesepakatan kontrak hingga imbasnya pengembangan listrik berjalan dengan lambat.

“Itu nggak jauh beda (dengan regulasi sebelumnya). Dengan dilepas kepada negosiasi, itu faktanya tidak ada kepastian. Dulu negosiasi lama, karena lama kemudian kita minta supaya dikeluarkan ada kepastian. Nah kepastiannya melalui apa, melalui feed in tarif,” ujarnya.

“Kalau misalnya feed in tarif kita anggap terlalu tinggi, sesuai dengan yang betul-betul di pengusaha bisa kembalikan modalnya, si PLN juga, itu bisa dicari win win nya. Win win nya itu lah peran pemerintah meningkatkan. Bukan peran pengusaha dengan PLN untuk negosiasi. Negosiasi itu kan yang satu pingin tinggi yang satu pingin rendah ya nggak pernah ketemu,” pungkasnya.

Sebelumnya di Jakarta, (2/8) di Hotel Mulia Jakarta, Menteri ESDM, Ignasius Jonan menyaksikan penandatanganan Power Purchase Agreement (PPA) energi baru terbarukan (EBT) antara PT. PLN (Persero) dengan Independent Power Producer (IPP) di 53 lokasi yang tersebar di Wilayah Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara, dengan total kapasitas mencapai sekitar 350 MW.

Sebanyak 53 PPA yang ditandatangani itu terdiri dari PLTM, PLTMH, PLTMbg, dan PLTS yang merupakan pembangkit skala kecil (kurang dari 10 MW).
Pewarta : Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs