Inilah  momen ketika Johor-Riau dan Singapura dipisahkan oleh Thomas tipu muslihat kolonial Inggris lewat Stamford Raffles dan akibat bagi-bagi daerah jajahan antara Inggris dan Belanda. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. 

 

 

Di abad ke-17, persaingan global antarnegara adikuasa bukan seperti sekarang antara AS dan blok Barat versus Cina yang belakangan ini bangkit sebagai raksasa baru di Asia Pasifik. Melainkan antarnegara Eropa Barat itu sendiri. Dalam kasus menguasai pulau Tumasik atau yang kita kenal sekarang sebagai Singapura, persaingan tajam terjadi antara Inggris dan Belanda.

 

Thomas Stamford Raffles yang pernah menjadi Letnan Gubernur Jendral Belanda di Pulau Jawa antara 1811-1816, merupakan sosok penting di balik kepentingan strategis global Kerajaan Inggris menguasai kawasan Asia Tenggara.

 

Menurut perhtingan Raffles, Singapura atau Tumasik punya nilai strategis secara geopolitik, buat mengimbangi Belanda yang saat itu praktis menguasai Jawa, Sumatra dan Maluku. Sehingga oleh Raffles pengaruh Belanda di pulau-pulau yang berasal dari rumpun Melayu semakin mendalam dan mengakar.

 

Maka, pada 29 Januari 1819 mendaratlah Raffles di Pulau Singapura. Fakta Sejarah yang menarik dan selama ini jarang dapat sorotan para sejarawan ataupun peminat sejarah, yang berkuasa di Pulau Singapura kala Raffles dan tentara Inggris mendarat di Singapura, adalah Temenggung Abdur Rahman,  yang memerintah atas sebagai Sultan Johor-Riau berikut rantau daerah jajahan taklukannya. Kala itu, Pulau Singapura yang berada dalam kekuasaan Temenggung Abdur Rahman hanya berpenduduk 300 orang.

 

Namun bagi Raffles, merayu dan membujuk Temenggung Abdur Rahman jadi agenda utama sebagai bagian dari strategi menguasai Singapura melalui sarana-sarana nonmiliter. Melalui perjanjian dengan Abdur Rahman, Inggris diberi izin untuk membagun loji  di Singapura. Seraya mengikat janji dengan Temenggung bahwa Singapura tidak boleh berhubungan dengan kerajaan-keraaan lain tanpa persetujuan Inggris.

 

Namun Raffles yang memang punya talenta mengembangkan strategi Perang Nonmiliter maupun militer dalam menaklukkan negeri-negeri jajahannya seperti yang dia alami sebelumnya di Pulau Jawa, merasa belum aman jikan Sultan Johor-Riau belum diikat pula dalam komitmern perjanjian dengan Inggris dalam lingkup yang lebih strategis. Buikan sekadar soal sewa tanah atau transaksi bisnis. Melainkan sepenuhnya berada dalam kendali kongsi dagang Inggris East India Company. Maka itu untuk menguasai Singapura dan pulau-pulau sekitarmya, Inggris harus menerapkan metode klasik mereka, Politik pecah-belah alias Devide et Impera.

 

Artinya, Riau dan Singapura pun harus dipecah-belah dibuat terpisah, sehingga tidak bersatu lagi.

 

Bagaimana konstelasi dalam negeri di kesultanan Johor-Riau kala sedang jadi sasaran penaklukkan Raffles? Seperti saya uraikan di awal, kala itu Sultan Johor-Riau dan Lingga adalah Yang Dipertuan Muda Riau, Sultan Abdur Rahman al-Moazam Syah. Yang berkuasa sejak 1819, dan waktu itu masih berada dalam kewenangan pemerintah kolonial  Belanda.

 

Raffles yang semasa menjajah Jawa belakangan menulis buku bertajuk the History of Java, secara jeli melihat adanya persaingan keluarga di internal kesultanan Johor-Riau. Raffles berkat informasi intelijen mengetahui bahwa yang berhak bertahta seharusnya adalah Tengku Long atau Sulong. Sebab ia adalah putra tertua. Namun selain dihalangi peluangnya jadi Sultan, dan tidak diberi tunjangan hidup oleh anggaran kerajaan, Tengku Long hidup miskin dan sengsara di Riau. Tak selayaknya anggota keluarga kerajaan.

 

Situasi ini diketahui oleh Raffles. Sehingga informasi mengenai situasi internal kerajaan ini dijadikan jembatan oleh Raffles untuk menyusun skenario penaklukkan Singapura secara total.

Segera Raffles mengirim utusan untuk menjemput Tengku Long ke Riau dan menjanjikan dirinya akan dijadikan Sultan Singapura. Maka pada 2 Februari 1819 tibalah Tengku Long di Singapura. Pada 6 Februari 1819, dengan melalui sarana upacara adat-istiadat, Tengku Long resmi dilantik sebagai Sultan Singapura dengan gelar Sultan Husain Syah.

 

Adapun dengan Sultan Abdur Rahman yang merebut hak Tengku Long sebagai Sultan Johor-Riau, Raffles selaku pemegang otoritas politik Inggris, juga mengikat perjanjian dengan dengan Temenggung Abdur Rahman. Intinya, Sultan hanya berkuasa secara hukum atas rakyatnya, bangsa Melayu. Namun keamanan berada di tangan Inggris.

 

Sebagai kompensasinya, Sultan Abdur Rahman dapat ganti rugi sebesar 5 ribu dolar Spanyol. Adapun Sultan Husain Syah yang penguasa boneka Inggris di Singapura, dapat kompensasi 3000 dolar Spanyol. Sedangkan Sultan Singapura digaji 1500 dolar, Temenggung digaji 800 dolar.

 

Sejak saat itulah kerajaan-kerajaan besar Melayu yang semula bersatu, terpisah-pisah karena bagi-bagi daerah Jajahan antara Inggris dan Belanda. Riau, Lingga, Karimun danSingkep, berada di tangan Belanda. Adapun Johor dan Singapura berada dalam kekuasaan Inggris.

 

Namun pada 1824, ketika Singapura dirasa semakin penting dan vital bagi Inggris, maka kemudian diputuskan untuk secara resmi dijadikan daerah jajahan Inggris. Bagaimana caranya? Inggris sadar betul bahwa kedua raja Melayu itu sudah sangat tergantung keuangannya dan kehiduoan materinya kepada Inggris. Cara menaklukkan Singapura ya dengan memberi tahta dan harta.

 

Disinilah siasat licik Inggris mulai dimainkan terhadap Sultan Singapura Tengku Long maupun Temenggung Riau-Johor Abdur Rahman. Tahu bahwa selama ini Sultan dan Temenggung tergantung pafa gaji Inggris, tiba-tiba gaji keduanya dihentikahn. Sehingga mereka berdua terpaksa berhutang ke kanan ke kiri untuk memenuhi gaya hidup mewah dan foya-foyanya.

 

Meskipun kedua raja Melayu itu masih dapat memungut cukai-cukai pelabuhan, namun tidak mencukupi. Mereka berdua mendesak Inggris membayar gaji mereka, namun cuma janji-janji kosong belaka.

Alhasil, karena dibelit hutang, pikiran kedua raja Melayu itu sudah tidak jernih lagi. Namanya juga kepepet. Sementara gaya hidup sebagai raja yang serba mewah, sangat butuh uang.

 

Maka, Residen Inggris di Singapura, Craufurd, menyodorkan skema pencaplokan Singapura kepada kedua raja Melayu tersebut. Serahnkan Singapura dan pulau-pulau sekelilingnya kepada Inggris.

 

Singkat cerita, kedua raya Melayu tersebut menyerah, dan menyerahkan kedaulatan Singapura dan pulau-pulau sekelilingnya kepada Inggris.

 

Mengapa saya begitu pentingnya menulis kembali sekelumit pengambil-alihan Singapura kepada Inggris/ Nampak jelas melalui rangkaian kisah tadi, Singapura dulunya merupakan bagian integral dari geopolitik Indonesia. Geopolitik Nusantara. Melalui perjanjian Inggris terhadap kedua raja Melayu yang lemah jiwa tersebut, lepaslah Singapura dari tangan kita.

 

Ketika kemudian Singapura berkembang menjadi pusat perdagangan Asia Tenggara, pulau Tumasik itu sudah jadi milik Inggris. Adapun Riau pun terputus dari Johor dan Singapura, karena kesepakatan bagi-bagi tanah jajahan antara Inggris dan Belanda.

Waktu baca baca buku tentang muslihat Raffles ini. Inggris menurutku lebih kejam daripada Belanda. Meskipun tanpa sebutir peluru pun diletuskan.

Dua raja Melayu itu direbut kedaultan wilayahnya setelah dibunuh dulu derajatnya  sebagai raja dan pemimpin dengan iming-iming tahta dan harta. Disebabkan lemah jiwa, kedua raja itu jadi pecundang. Takluk sebagai negara jajahan terhadap Inggris.

Tragisnya sejak itu tak ada lagi kisah kepahlawanan di Semenanjung Melayu seperti kisah heroik Hang Tuah atau Hang Jebat.

Kita sebagai jajahan Belanda di bumi Nusantara lebih beruntung. Belanda mencaplok wilayah nusantara di Maluku. Jawa dan Sumatra melalui perang bersenjata dan kekerasan. Maka hikmahnya justru menciptakan kisah kepahlwanan bagi para pejuang dari berbagai pulau yang kelak diberi nama Indonesia. Ketika mereka tak sudi dijajah Belanda sehingga angkat senjata melawan Belanda. Seperti Pangeran Dipobegoro di Jawa. Tuanku Imam Bonjol di Sumatra Barat. Sultan  Hasanudin di Makasar. Sultan Ageng Tiirtayasa di Banten. Patimura di Maluku. Serta Teuku Umar dan Tjut Nyak Dien di Aceh.

Hendrajit, redaktur senior.