Satrio Arismunandar
Satrio Arismunandar

Dunia kedirgantaraan dan kemiliteran Indonesia kembali berduka. Hal ini terasa sesudah kecelakaan jatuhnya pesawat latih tempur T-50i Golden Eagle TNI AU, saat melakukan atraksi terbang pada acara Jogya Air Show, Minggu 20 Desember 2015. Dua pilotnya tewas, yakni Letkol Penerbang Marda Sarjono dan Kapten Penerbang Dwi Cahyadi.

Letkol Penerbang Marda Sarjono adalah juga Komandan Skadron Udara Tempur 15 yang bermarkas di Pangkalan Udara Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur. Ia menjabat Danskadron Udara 15 sejak 23 Oktober 2014. Ini adalah skadron yang khusus mengoperasikan pesawat T-50i, hasil pengembangan industri penerbangan Korea Selatan bersama perusahaan AS Lockheed Martin.

Pesawat T-50i itu jatuh saat melakukan atraksi dan manuver di langit Yogyakarta. Mesin pesawat itu, menurut saksi mata, mendadak mati dan kehilangan tenaga. Pesawat dengan cepat menghujam ke tanah. Kedua pilot tidak sempat meloncat ke luar dengan ejection seat (kursi pelontar). Padahal ini adalah salah satu pesawat yang canggih dan belum lama dimiliki TNI AU.

Pesawat ini sudah dikembangkan sejak 1990, dan mulai diproduksi massal oleh Korea Selatan pada 2003. Di Indonesia, T-50i sudah didatangkan sejak akhir 2013 untuk menggantikan pesawat latih jet Hawk MK-53. Total ada 16 pesawat yang dipesan Kementerian Pertahanan dan datang secara bertahap.

T-50i termasuk salah satu pesawat latih tempur canggih. Bobotnya yang ringan dan mesin yang kuat, membuat pesawat ini cocok dijadikan pesawat latih lanjutan bagi pilot pesawat tempur. Pesawat ini memiliki panjang 13 meter dan lebar 9,45 meter, dengan kecepatan maksimum mencapai 1.600 km/jam atau 1,4 Mach. T-50i memiliki persenjataan cukup lengkap. Ada gattling gun tiga laras yang bisa menyemburkan 2.000 peluru setiap menitnya, serta beragam rudal dan roket.

Dengan segala kecanggihannya, toh kecelakaan bisa terjadi. Penyebab jatuhnya pesawat belum diketahui. Presiden Joko Widodo telah memerintahkan penyelidikan tuntas atas kecelakaan ini. Menurut Kepala Dinas Penerangan TNI AU Dwi Badarmanto, pesawat T-50 yang dipakai itu sudah punya jam terbang tinggi dan kerap melakukan manuver di berbagai acara TNI. Dua pilotnya juga sudah berpengalaman. Sebelum terbang, pesawat juga sudah diperiksa secara cermat.

Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanudin, menyatakan, “Saya minta TNI bekerjasama dengan pihak terkait untuk melakukan investigasi.” Purnawirawan Jenderal TNI dan politisi PDI Perjuangan ini menjelaskan, T-50 adalah pesawat baru, yang dibeli untuk kepentingan latihan dan operasi militer. Atas dasar ini perlu dilakukan investigasi menyeluruh.

Banyak faktor yang yang bisa menyebabkan kecelakaan, apakah human eror, pesawat itu sendiri atau faktor lingkungan. Ini harus jelas, kata Hasanudin. Ia meminta jajaran TNI AU, terutama para penerbang, untuk tetap bersemangat mesti ada peristiwa jatuhnya pesawat T-50 ini. “Para penerbang TNI harus senantiasa menjaga kedaulatan udara negara kita,” tegas Hasanudin.

Kita patut prihatin, karena kecelakaan pesawat terbang milik TNI AU –baik yang memakan korban tewas atau tidak—tetap suatu kerugian yang besar. Hal ini karena harga alat utama sistem persenjataan (alutsista) itu tidak murah, sementara jumlah alutsista itu sendiri masih belum memadai. Indonesia harus menjaga ruang udara dan kawasan laut yang sangat luas, dan itu membutuhkan banyak pesawat tempur dan kapal perang.

Di sisi lain, ada tantangan dan potensi ancaman yang cukup besar. Potensi konflik militer di Laut China Selatan, akibat tumpang tindih klaim wilayah antara China melawan negara-negara sekitar –termasuk sejumlah anggota ASEAN—membuat Indonesia harus bersiaga. Indonesia memang tidak punya klaim di Laut China Selatan, tetapi Pulau Natuna milik RI berhadapan langsung dengan Laut China Selatan.

Jatuhnya pesawat TNI AU selama ini sering dikaitkan dengan pernyataan bahwa alutsista itu sudah usang atau terlalu tua. Sehingga “wajar” jika jatuh, karena masa pakainya sudah kadaluwarsa. Namun, untuk pesawat T-50i pernyataan itu tidak akurat, karena pesawat ini belum lama bergabung dengan TNI AU. Ini juga pesawat yang dibeli dalam keadaan baru, bukan pesawat bekas pakai.

Oleh karena itu, perlu diperiksa secara mendalam dan mungkin juga perlu dievaluasi, bagaimana proses pengadaan alutsista, manajemen pengelolaan dan operasionalnya. Kita tidak ingin musibah kecelakaan seperti ini berulang lagi.

Untuk jangka panjang, pemerintah dan DPR tetap berkomitmen untuk membantu TNI, dalam melakukan peremajaan dan menambah kekurangan alat utama sistem senjata. Ini tidak bisa ditawar-tawar demi kedaulatan Indonesia. Namun di sisi lain, pihak pengguna –yakni, TNI— dan Kementerian Pertahanan harus terus menyempurnakan proses pengadaan alutsista, manajemen pengelolaan dan operasionalnya. Hal ini penting agar alutsista yang sudah ada dapat dipergunakan seefisien dan seefektif mungkin, dalam menjaga wilayah kedaulatan NKRI. ***

Depok, 21 Desember 2015

Artikel ini ditulis oleh: