Murtadha Muthahhari adalah pemikir Islam terkemuka asal Iran. Pemikirannya menjadi bahan kajian banyak kaum intelektual, termasuk di Indonesia. Muthahhari telah menginspirasi intelektual muslim untuk terbuka pada pemikiran apapun, termasuk filsafat Barat, dan khususnya ajaran Marxisme.

Muthahhari adalah sedikit di antara kalangan ulama yang mampu memadukan ciri-ciri keulamaan dan keintelektualan. Ia bukan sekadar mendalami ilmu-ilmu Islam tradisional, tetapi juga fasih berbicara tentang mazhab-mazhab pemikiran Barat.

Muthahhari juga tokoh pejuang perlawanan di zaman rezim Shah Reza Pahlevi. Tak banyak tokoh yang berjuang, dan dalam masa yang sama mampu menekuni berbagai disiplin ilmu. Muthahhari adalah salah satu sosok langka itu. Hampir sebagian besar waktu hidupnya dihabiskan demi mewujudkan sebuah negara yang bercitrakan Islam.

Muthahhari lahir di Faryan, sebuah kota sekitar 120 km dari Masyhad, ibukota propinsi Khurasan, pada 2 Februari 1919. Ia berasal dari keluarga ulama di daerah Khurasan. Ayahnya, Hujjatul Islam Muhammad Husain Muthahhari adalah ulama yang dihormati dan disegani masyarakat setempat.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Muthahhari pindah ke Masyhad, yang merupakan pusat belajar dan ziarah yang bergengsi. Ia meneruskan pendidikan dengan guru-guru yang otoritatif di bidangnya. Pada 1936, ia meninggalkan Masyhad untuk pergi ke Qom.

Sejak menjadi siswa di Qom, Muthahhari menunjukkan minatnya pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Di Qom, Muthahhari menuntut ilmu di bawah bimbingan Ayatullah Boroujerdi dan Ayatullah Ruhullah Khomeini. Sepanjang hidupnya, Muthahhari selalu mengatakan, pelajaran yang ia terima dari Khomeini selalu terngiang di telinganya, seolah baru satu atau dua hari saja ia dapat.

Dari Khomeini, Muthahhari memperoleh pelajaran filsafat dan irfan. Tahun 1941, Muthahhari meninggalkan Qom menuju Isfahan. Di sini, minatnya terhadap Nahjul Balaghah makin tinggi. Ia mempelajarinya dengan bimbingan Mirza Ali Aqa Shirazi Isfahani, guru yang memiliki otoritas untuk naskah-naskah Syiah.

Muthahhari melanjutkan kajian filsafatnya dengan mempelajari Kifayah Al Usul, sebuah kitab hukum dari Akhud Khorasani. Dari kitab ini, Muthahhari memulai komitmennya untuk mempelajari Marxisme. Sumber yang didapat untuk mempelajari Marxisme umumnya dari buku dan pamflet yang dibuat oleh Partai Tudeh.

Pada 1945, Muthahhari mulai membaca sebuah naskah filosofis, yaitu Manzumah karangan Hajj Mulla Hadi Sabzawardi, dengan Ayatullah Khomeini. Pada 1946, ia mulai mempelajari Kifayah al-Usul, sebuah kitab hukum dari Akhund Khorasani dengan Khomeini.

Pada 1949, Muthahhari memulai studinya terhadap al-Asfar al-Arba’ah karangan filosof Syi’ah abad ke-16/17 dengan Khomeini. Teman sekelasnya antara lain Ayatullah Muntazhari, Hajj Aqa Reza Sadr, dan Hajj Aqa Mehdi Ha’eri.

Dalam filsafat, Muthahhari amat terpengaruh oleh pemikiran Allamah Husain Thabathaba’i. Muthahhari begitu tekun dan pantas menguasai ilmu-ilmu filsafat. Buku karya William Durant, Sigmund Freud, Bertrand Russell, Albert Einstein, Erich Fromm, dan para pemikir Barat lainnya ditelaahnya dengan serius.

Keseriusan Muthahhari menelaah pemikiran Barat karena ia mencoba melakukan studi perbandingan antara pemikiran Islam dan Barat. Filsafat Barat perlu dipelajari serius, agar umat Islam bisa mengeritik karena menguasai keseluruhan ilmu filsafat, dan mampu menawarkan pemikiran alternatif.

Pada usia relatif muda, Muthahhari sudah mampu mengajar ilmu logika, filsafat, dan fiqh di Fakultas Teologi, Universitas Teheran. Dalam waktu yang sama, ia turut menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat. Ia juga tidak canggung memberi kuliah dalam bidang yang berbeda, seperti kuliah al-Ushul, Ilmu Kalam, dan al-Irfan.

Muthahhari tak cuma berteori, tapi juga berjuang. Ia menerjemahkan gagasannya tentang arti kehidupan melalui kerja aktivis dan menulis buku-buku. Ia bersama Ayatullah Khomeini menentang penindasan oleh rezim Shah Pahlevi. Karena itu, Muthahhari ditahan pada 1963, sebagai implikasi langsung dari peristiwa Khordad.

Ketika Khomeini diasingkan ke Turki, Muthahhari diberi amanah untuk memimpin gerakan rakyat Iran, serta memobilisasi para ulama dalam melanjutkan semangat perjuangan Islam, yang dirintis Khomeini.

Muthahhari bersama Ali Shari’ati dan Husain Beheshti turut mendirikan Husainiyyah-e-Irsyad, yang menjadi basis kebangkitan intelektual Islam sebelum revolusi meletus. Muthahhari juga jadi Imam Masjid al-Jawad, dan secara konsisten menggalang dukungan rakyat Iran untuk perjuangan kemerdekaan Palestina.

Kendati lama bergelut dengan filsafat, Muthahhari tetap bisa berkomunikasi dengan masyarakat biasa. Ia tetap mengajar ilmu agama, sehingga ia lebih dikenal sebagai ulama ketimbang filsuf. Bahasanya amat cair dan ilmu yang diajarkan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat.

Muthahhari bukan hanya mengulas kajian agama untuk kehidupan sehari-hari, tapi juga memasuki perdebatan tentang feminisme, teori evolusi, bahkan prinsip kausalitas dan penciptaan alam semesta, yang selalu menjadi perdebatan para filsuf.

Tentang teori evolusi Darwin, Muthahhari berpendapat, tidak ada kesenjangan logika antara kepercayaan pada Tuhan dengan teori evolusi. Namun, teori evolusi yang dirumuskan Darwin tidak cukup untuk menerangkan proses evolusi spesies. Evolusi tetap harus dilengkapi dengan hukum metafisika.

Keterlibatan Muthahhari tidak terbatas di bidang keilmuan. Dia juga ikut menggerakkan revolusi Islam Iran, sehingga dunia filsafat yang ia geluti tak hanya jadi menara gading. Karena keterlibatannya pada politik praktis, ia dicekal pada 1963.
Antara Juni 1963 dan bangkitnya revolusi Islam 1977-1979,

Muthahhari terus mengadakan kontak dengan Khomeini. Bahkan, dalam kenyataannya ia menjadi satu-satunya wakil di Iran, yang bertanggung jawab mengumpulkan dan menyalurkan zakat karena pengasingan Khomeini.

Pasca kemenangan revolusi Islam Iran 1979, Muthahhari dilantik menjadi anggota Dewan Revolusi. Ciri yang menonjol pada Muthahhari telah menjadikannya seorang ulama yang dinamis, bersandarkan pada penguasaan ilmu-ilmu Islam, sains modern, serta terlibat dalam dunia aktivisme. Tapi pada 1 Mei 1979, Muthahhari terbunuh, hanya beberapa saat setelah kemenangan revolusi Islam Iran.

Di antara karyanya, selain Ushul-e Filsafat adalah Struktur Hak-Hak wanita dalam Islam (1966-1967), Manusia dan Nasibnya (1966), Layanan Timbal Balik antara Iran dan Islam (1967), Pertolongan Ghaib dalam Kehidupan Manusia (1969) dan lain-lain. ***

Artikel ini ditulis oleh: