Reputasi dan perjuangan putra Betawi asli Mohammad Hoesni Thamrin, bukan sekadar jadi nama jalan protocol di Jakarta ibukota Indonesia. Bang Thamrin atau Mat Seni, merupakan salah satu pelopor perjuangan kaum Pribumi Betawi maupun skala nasional antara1919-1943.

 

Mohammad Hoesni Thamrin. Lahir pada hari Jumat 16 Februari 1894. Putra dari Mohammad Tabri dan Nurhana. Anak Betawi asli. Di lingkungan tempat tinggalnya, Thamrin dipanggil Mat Seni.

 

Thamarin Tabri, ayah Thamrin merupakan Wedana, sebuah jabatan dalam birokrasi pemerintahan kolonial Belanda yang saat ini setingkat lurah. Dengan kata lain Hoesni Thamrin merupakan anak seorang ambtenar.

 

Meski sempat mengenyam sekolah setingkat SMA, namun Hoesni muda lebih memilih untuk bekerja ketimbang berlama-lama menempuh pendidikan di sekolah. Sebagai putra seorang ambtenar, Mohammad Tabri tidak sulit mendapatkan tempat kerja buat Hoesni muda. Maka mulailah Hoesni magang di kantor kepatihan Batavia.

 

Namun Thamrin merasa tidak betah, sehingga pindah kerja ke kantor karisidenan Batavia. Akhirnya Thamrin bekerja di sebuah perusahaan perkapalan Belanda KPM, milik seb uah maskapai swasta Belanda. Sebagai pemegang buku atau adminsitrasi. Menariknya, di maskapai perkapalan milik perusahaan swasta Belanda ini, Thamrin merasa betah, dan sempat 10 tahun bekerja di sana antara 1914-1924.

 

Kalau menelisik situasi-kondisi antara 1914-1924, memang cukup dinamis. Pada 1914-1917 meletus perang dunia I di kawasan Eropa milbatkan negara-negara adikuasa kala itu seperti Inggris, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Rusia dan Turki. Pada saat yang sama di bumi nusantara yang masih dalam genggaman kekuasaan kolonial Belanda, mulai tumbuh-berkembang berbagai organisasi-organisasi pergerakan nasionalis seperti Budi Utomo, Sarikat Islam, Muhammadiyah, dan Indische Partij.

 

Situasi tersebut telah membangkitkan kesadaran kebangsaan di kalangan masyarakat Pribumi. Menariknya, para mahasiswa dan pemuda muncul sebagai pelopor pergerakan nasiona dan persatuan dari aneka organisasi mahasiswa dan kepemudaan. Misal, Jong Java dan Jong Sumatranen Bond, menggagas terbentuknya Klub Debat atau Debating Club yang fokus pada pembahasan dan diskusi mengenai isu-isu politik yang jadi sorotan ketika itu.

 

Kegiatan yang dibina oleh kedua organisasi kedaerahan tersebut ternyata merupakan bibit dan benih-benih munculnya dorongan untuk membangun sebuah organisasi yang menyatukan berbagai daerah dan kesukuan menjadi sebuah organisasi berskala nasional. Tak berlebihan jika kepeloporan Jong Java dan Jong Sumatranen Bond itu, kelak menginspirasi dan mendorong terselenggaranya babak kongres pemuda pada 1926.

 

Dalam settingan pentas sosial-politik yang penuh dinamika inilah, Thamrin ikut menyerap osmosis keadaan ketika itu. Meskipun masih bekerja di maskapai swasta Belanda KPM, Thamrin rupanya dalam hasrat sejatinya terpanggil untuk jadi tokoh pergerakan. Sehingga pengalaman dan pergaulannya di lingkungan kerja perkapalan, bagi Thamrin menjadi modal untuk mengembangkan kepribadian maupun peluangnya sebagai tokoh pergerakan nasional Indonesia kelak.

 

Salah satunya ketika Thamrin bertemu dengan Van der Zee, tokoh politik sosialis Belanda yang kala itu menjadi anggota Dewan Kotapraja Batavia. Pertemuannya dengan Van der Zee telah memantik sesuatu yang sejatinya memang sudah tumbuh di dalam jiwa Thamrin sebagai aktivis pergerakan. Melalui kontak intensif dengan Van der Zee, Thamrin semakin meningkatkan pemahamannya mengenai ide-ide maupun situasi kemasyarakatan yang ada di tanah air kita. Sebagai tokoh sosialis Belanda, Thamrin dipahamkan atas berbagai ide seputar konsepsi Negara Kesejahteraan atau Walfare State, keadilan hukum, dan penghapuan klas sosial antara si kaya dan si miskin.

 

Barang tentu, karena dasarnya memang ada ketertarikan khusus pada masalah-masalah sosial di lingkungan sekitarnya, gagasan-gagasan yang disampaikan Van der Zee semakin meningkatkan wawasan dan kesadaran politik Thamrin. Terutama kepeduliannya pada nasib rakyat kecil.

 

Kepedulian sosial Thamrin agaknya terpupuk sejak kecil karena sering bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.

 

Kepedulian sosial mapun tindakannya  mengangkat masalah sungai Ciliwung kepada para anggota Dewan Kotapraja Batavia, sepertinya pantas untuk jadi suri taula dan para anggota DPRD DKI Jakarta saat ini maupun kelak. Merespons berbagai keluhan masyarakat ihwal sungai Ciliwung yang seringkali menyebabkan banjir dan merugikan masyarakat, Thamrin dengan tak ayal membawa soal ini ke hadapan para anggota Dewan Kotapraja Batavia. Dan mendesak para anggotanya untuk mengagendakan masalah itu sebagai pokok bahasan yang penting dan mendesak.

 

Agaknya debut awal Thamrin membawa soal sungai Ciliwung ke hadapan para anggota Dewan Kotapraja Batavia, merupakan babakan awal Thamrin berkiprah di dunia pergerakan, meskipun menurut metode dan gayanya sendiri yang khas. Melalui pendekatan kooperasi, dan tidak konfrontasi langsung dengan pemerintah kolonial Belanda.

 

Kepeduliaannya yang alami pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan, nampaknya selaras dengan kesempatan  yang dibuka lebar-lebar oleh Van der Zee bagi Thamrin untuk menjadi anggota forum aspirasi masyarakat Betawi sehingga bisa secara langsung menyalurkan aspirasi masyarakat Betawi itu kepada para anggota Dewan Kotapraja.

 

Maka pada Oktober 1919, Thamrin resmi pengabdi masyarakat dalam naungan Dewan Kotapraja tersebut. Inilah babak awal yang menempatkan Thamrin di pentas sejarah, sebagai tokoh pemimpin pergerakan kaum pribumi. Alhasil, Thamrin disegani oleh kawan maupun lawan yang tentunya terutama yang ada di Volksrad, dewan perwakilan rakyat yang mayoritas anggotanya orang Belanda sehingga tak ubahnya sekadar parlemen boneka belaka.

 

Meskipun Thamrin bekerja di dalam kelembagaan buatan Belanda yang tentunya ditujukan untuk melestarikan penjajahan di Indonesia, namun jiwa juang Thamrin di dalam kelembagaan Dewan Kota itu, adalah untuk berjuang bagi kaum Pribumi di Betawi.

 

Mari kita simak pidatonya di hadapan para anggota Dewan Kotappraja: “Tuan kepala, saya duduk dalam Dewan kota bukan sebagai wakil KPM, tetapi sebagai wakil rakyat Betawi, maka tuan jangan lupa bahwa saya adalah bagian dari rakyat itu. “

 

Usia Thamrin kala menjadi anggota Dewan Kotapraja adalah 25 tahun. Bayangkan dalam usia semuda itu, sudah memikirkan berbagai persoalan masyarakat dan tidak hanya sekadar mengurus kepentingannya sendiri seperti para politisi partai politik saat ini.

 

Luar biasanya lagi, di tengah semakin meningkatnya pergolakan kalangan muda dalam kancah pergerakan nasional yang semakin memilih pendekatan nonkooperatif, Thamrin secara sadar lebih memilih berjuang melalui pendekatan kooperatif terhadap pihak penjajah. Melalui gagasan dan usulannya yang rasional, pihak pemerintah kolonial Belanda terpaksa menyetujui aspirasi-aspirasi kaum Pribumi Betawi yang diperjuangkan Thamrin di Dewan Kota.

 

Menariknya lagi, Thamrin meski berkiprah di Dewan Kotapraja yang notabene berada dalam kendali Belanda sebagai penjajah, namun etos sebagai seorang anggota dewan perwakilan rakyat dipertunjukkan Thamrin secara maksimal. Misal dengan berkunjung dari kampong ke kampong, menampung aspirasi rakyat Betawi. Mulai dari memperjuangkan proyek pengadaan air besih, sampai ke pengadaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Serta pembangunan sarana jalan yang menuju perkampungan Pribumi.

 

Di bidang pendidikan Thamrin juga gigih dalam memperjuangkan bagi kalangan Pribumi untuk mendapatkan pendidikan. Bahkan mendesak pemerintah Belanda untuk memberi kesempatan kaum Pribumi untuk disekolahkan jadi guru atas biaya pemerintah.

 

Terhadap para pegawai Pribumi, Thamrin juga gigih berjuang agar mendapatkan posisi jabatan yang lebih tinggi dan peningkatan upah.

 

Di ranah ekonomi, kiprah Thamrin juga cukup konkrit. Dalam rangka memperjuangkan nasib para pedagang Pribumi, Thamrin mendesak pemerintah Belanda memperbaiki kondisi pasar. Antara lain dengan merehabilitasi pasar dan memberi bantuan pinjaman modal.

Dalam bidang sosial Thamarin gigih berjuang agar mendapat subsidi bagi panti-panti asuhan kalangan Pribumi untuk meringankan beban panti-panti asuhan Pribumi yang ada.

 

Tentu saja gagasan dan usulan Thamrin itu ada yang disetujui ada juga yang ditolak. Intinya, Thamrin mencoba menyadarkan Belanda bahwa masyarakat pribumi Betawi juga berhak mendapat perhatian perbaikan nasibnya. Bukan hanya mementingkan Belanda Eropa atau Timur asing serta kaum elit ambtenar.

 

Berkat reputasi Thamrin sebagai pejuang rakyat Betawi dan kaum Pribumi yang tulus dan penuh antusiasme, pada perkembangannya membawa dirinya maju selangkah lagi. Menjadi anggota Volksraad. Sebuah dewan perwakilan  rakyat yang dibentuk pemerintah Hindia Belanda, untuk menampung aspirasi dan tuntutan yang dilakukan oleh kaum pergerakan nasional.

 

Di sinilah kali pertama kaum Pribumi mendapatkan jalur-jalur politik untuk menyalurkan aspirasinya. Karena dipandang cakap dan sosok ideal di Dewan Kotapraja, Thamrin pada 1927 terpilih sebagai anggota Volksraad. Menariknya, Thamrin bisa lolos jadi anggota Volksraad karena tokoh sentral Sarikat Islam HOS Cokroaminoto menolak tawaran Belanda untuk jadi menduduki kursi itu. Maka kursi kosong itu jatuh kepada Thamrin.

 

Melalui kiprahnya di Volksraad, selain semakin meningkatkan kredibilitas Thamrin sebagai pejuang rakyat, juga membawa dirinya pada dimensi yang lebih politis. Betapa tidak. Seiring dengan pendekatan kooperatif Thamrin dalam memperjuangkan tuntutan dan aspirasi kaum Pribumi Betawi maupun dalam skala yang lebih nasional, Bung Karno, salah seorang tokoh pergerakan nasional yang lebih muda daripada Thamrin, menempuh pendekatan yang lebih nonkooperatif dan frontal terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Alhasil, jiwa juang Thamrin dan komitmen kebangsaannya semakin diuji oleh sejarah.

 

Sementara itu, karena sekarang anggota Volksraad yang lingkupnya adalah nasional dan tidak lagi sebatas Betawi, maka perhatian Thamrin juga meluas ke masalah-masalah sosial di daerah lain seperti masalah penindasan terhadap para buruh atau kuli perkebunan di Deli, Sumatra Timur.

 

Tentu saja soal penindasan perburuhan di Deli Sumatra Timur ini dipandang sensitif bagi pemerintah kolonial Belanda. Sebab kalau menelisik akar soalnya, perbudakan yang ditrapkan di Deli sejatinya merupakan bagian dari sistem eksploitasi kaum kapitalis untuk mengambil bahan baku yang semurah-murahnya dari Indonesia, dengan mengeksploitasi kaum buruh atau kuli perkebunan dengan upah yang amat rendah.

 

Di sinilah kesadaran nasional dan keterjajahan asing semakin kuat dalam diri Thamrin. Bahkan bukan saja di ranah ekonomi, di bidang budaya pun keterjajahan asing terasa di bidang bahasa. Yang mana dalam forum-forum penting harus menggunakan bahasa Belanda.

 

Juga semasa di Volksraad ini pula, Thamrin sempat menyentuh pusat syaraf sistem kapitalisme  yang jadi tumpuan pemerintahan kolonial Belanda, yaitu mengecam praktek transmigrasi yang lebih menguntungkan para pengusaha swasta Belanda daripada peningkatan taraf hidup kaum Pribumi yang ditransmigrasikan.

 

Hoesni Thamrin juga mengecam peningkatan anggaran pertahanan pemerintah Belanda dengan mengeksploitasi berbagai pungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat Pribumi.

 

Meski berkiprah di Volksraad yang sesungguhnya alat politik bikinan Belanda, namun Thamrin telah menggunakan lembaga ini benar-benar sebagai dewan perwakilan rakyat. Dan mengangkat isu-isu sensitif yang menyentuh langsung pusat saraf sistem kolonial itu sendiri.

 

Itulah sebabnya kematian Mohammad Hoesni Thamrin pada 11 Januari 1943 ketika dikenakan tahanan rumah dengan dalih telah menyebarkan berita-berita buruk terhadap pemerintah Belanda, tetap misteri hingga sekarang.

Hendrajit, redaktur senior.