Ancaman terorisme di level internasional tahun ini menunjukkan gejala meningkat. Pemerintah Indonesia telah mendesak komunitas internasional untuk memperkuat strategi penanggulangan pendanaan terorisme. Hal itu diungkapkan oleh Wakil Menlu Abdurrahman Mohammad Fachir dalam pembukaan Konferensi Pencegahan Pendanaan Terorisme ke-2 di Nusa Dua, Bali, 10 Agustus 2016.

Aksi terorisme tak mungkin terjadi tanpa pendanaan. Maka peredaman terorisme juga bisa diwujudkan lewat peredaman pendanaan terorisme. Pencegahan pendanaan terorisme itu dapat dilakukan dengan menyusun penilaian risiko regional, memperkuat kerja sama antarunit intelijen keuangan negara, dan mengembangkan sarana edukasi. Jika terorisme internasional terus meningkat, mungkin karena kerjasama antarlembaga dan antarnegara dalam peredaman pendanaan terorisme ini belum cukup optimal.

Tahun 2016 mungkin akan dikenang sebagai “tahun terorisme” atau tahun yang dipenuhi aksi-aksi terorisme. Berbagai aksi teror melanda dunia, mulai dari negara-negara di Timur Tengah yang selalu dipenuhi konflik berdarah, sampai ke negara yang relatif damai seperti Indonesia, bahkan sampai ke negara maju seperti Belgia, Jerman, dan Perancis.

Pada 14 Januari, teroris meledakkan bom di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Delapan orang meninggal dunia. Terduga perencana aksi teror tersebut, Bahrun Naim, diyakini berafiliasi dengan kelompok ekstrem ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) dan sudah berada di Suriah sejak 2014.

Belakangan, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri pada 5 Agustus telah menangkap lima orang terduga teroris pimpinan Gigih Rahmat Dewa di sejumlah lokasi di Batam. Kelompok ini diduga sebagai penyalur warga Indonesia dan asing di kawasan Asia yang hendak pergi “berjihad” ke Suriah. Kelompok Gigih diduga sedang merancang serangan teror bersenjata ke kawasan Marina Bay, Singapura.

Di Turki, 12 Januari 2016, sebanyak sebelas turis Jerman tewas dalam serangan di pusat wisata Sultanahmet, Istanbul. ISIS diduga kuat sebagai pelaku serangan. Pada 17 Februari, 29 orang tewas dalam aksi bom mobil di dekat Mabes Angkatan Bersenjata Turki di Ankara. Elang Kemerdekaan Kurdi (TAK) mengaku sebagai pelaku.

Lalu, pada 13 Maret, setidaknya 34 orang tewas dan lusinan lainnya terluka dalam bom bunuh diri di Ankara. TAK mengklaim serangan ini. Pada 7 Juni, tujuh polisi dan empat warga sipil tewas ketika sebuah bom mobil meledak di dekat Istanbul. TAK mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Pada 28 Juni, di Bandara Internasional Ataturk di Istanbul, 41 orang tewas dalam serangan tiga bom bunuh diri. Bukti-bukti mengarah kepada ISIS sebagai pelaku.

Pada 22 Maret, giliran teror menghantam Brussels, ibukota Belgia. Tiga ledakan terjadi di Bandara Zaventem dan Stasiun Metro Bawah Tanah Maalbeek. Pelaku sedikitnya tiga orang. Dua tewas dan seorang tertangkap. Jumlah korban jiwa sedikitnya 32 orang.

Rangkaian ledakan bom bunuh diri menewaskan 94 orang dan melukai 150 warga lain di Baghdad, ibukota Irak, pada 11 Mei. ISIS diyakini sebagai pelaku, sesudah posisinya terdesak di berbagai front pertempuran di Irak. Ini adalah serangan yang menimbulkan korban besar. Sebenarnya banyak serangan lain yang sudah terjadi namun kurang dipublikasikan, mungkin karena jumlah korbannya yang “relatif kecil.”

Di balik semua eskalasi aksi terorisme ini terdapat aspek pendanaan terorisme. Modus pendanaan terorisme terus berkembang. Menurut Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf, lembaga yang dipimpinnya mewaspadai pendanaan terorisme yang berkedok donasi , yang disalurkan lewat organisasi amal.

Itulah sebabnya PPATK membuat aturan agar yang menerima sumbangan harus ada klarifikasi. Ditambahkan oleh Yusuf, sebagian besar dana yang digunakan untuk mendanai terorisme berasal dari hampir 10 negara. Tidak hanya dari kawasan Timur Tengah, namun pendanaan juga berasal dari negara-negara tetangga kita.

Pihak teroris mengalokasikan dana untuk aktivitasnya melalui yayasan atau organisasi amal, agar memudahkan anggota kelompok teroris memperoleh uang tunai. Transfer dana lewat perbankan kini tak lagi dilakukan oleh pelaku terorisme, kecuali sangat mendesak dan tidak ada pilihan lain. Hal itu karena transfer dana lewat saluran perbankan itu mudah dilacak oleh aparat dan PPATK.

PPATK bisa mendeteksi transaksi yang mencurigakan. Mengantisipasi penyaluran dana oleh teroris melalui lembaga-lembaga keuangan, PPATK kini terus aktif dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai, untuk meningkatkan pengawasan aliran dana yang mencurigakan.

Kita berharap dengan pengontrolan arus pendanaan itu setidaknya bisa mengurangi atau meredam aksi terorisme. Selain itu kerjasama antarlembaga dan antarnegara juga bersifat krusial dalam meredam aksi terorisme. Semoga saja, aparat kita dan PPATK semakin meningkat kemampuannya dalam mendeteksi pendanaan terorisme.***

Artikel ini ditulis oleh: