Di negri kita tercinta, kalau ada seorang elit politik DPR apalagi pemerintahan terlibat korupsi atau namanya terseret-seret perkara penyalahgunaan kekuasaan negara seperti dalam korupsi mega proyek e-KTP atau kasus Rumah Sakit Sumber Waras yang mencuat beberapa waktu berselang, biasanya tetap bergeming. Kadang malah merasa tidak bersalah sama sekali. Betapa tidak.

Dalam kasus e-KTP Gubernur Jawa Tengah dan Sulawesi Utara disebut-sebut namanya. Sedangkan dalam kasus RS Sumber Waras, Gubernur Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, juga tersangkut.

Apakah kearifan lokal dari berbagai daerah di Indonesia sama sekali tidak memandang pelanggaran etika dan rusaknya Akhlak sebagai masalah serius yang merusak reputasi dan kehormatan?

Siapa bilang bangsa kita abai dalam soal reputasi dan integritas pribadi para pemimpinnya. Di kalangan leluhur kita di bumi nusantara, kearifan lokal Jawa sebenarnya punya ungkapan yang sebenarnya sudah cukup memadai untuk mengusik kedamaian para koruptor di negri kita. Luwih  becik mati ketimbang wirang(lebih baik mati daripada malu).

Sebuah ungkapan tentang bagaimana orang Jawa begitu menjunjung tinggi kehormatan di atas segalanya. Bahkan mati pun bagi orang Jawa tidaklah cukup berharga untuk bisa menggantikan sebuah kehormatan. Sebuah sikap yang sebenarnya cukup merata di seluruh lapisan suku bangsa Indonesia.

Lantas, kemana ungkapan yang memancarkan kearifan lokal Jawa itu sekarang dalam menuntun akhlak dan etika para elit politisi kita baik di tingkat pusat maupun nasional? Jangan-jangan fenomena korupsi berjamaah yang, selain mengisyratkan sistem politik kita memang koruptif di tingkat pusat dan daerah, namun bersamaan dengan itu menggambarkan adanya kualitas penghayatan spiritual dan erosi budaya di kalanjgan masyarakat Indonesia.

Jepang, sekadar sebuah perbandingan, punya ungkapan yang juga memancarkan kearifan lokal bangsanya, yang mirip ungkapan orang Jawa tadi. Harakiri. Penebusan rasa malu karena telah berbuat aib dengan bunuh diri. Bahwa kehormatan diri di atas segalanya, dan meskipun harus ditebus dengan kematian pun, sebenarnya tetap belum sebanding. Tentu saja hal semacam itu, baik tuntunan Jawa maupun konsepsi Harakiri ala Jepang, sudah bukan zamannya lagi untuk diterapkan secara harafiah. Namun yang relevan buat kita renungkan saat ini adalah substansinya. Inti dan saripati dari kedua ungkapan Jawa dan Jepan tersebut bagi kita dewasa ini.

Menariknya, antara Indonesia dan Jepang terdapat perbedaan yang cukup tajam dalam menangani hal-hal yang merusak kehormatan diri dan aib seperti dalam kasus korupsi misalnya.

Haruslah saya katakana di sini, dibanding Jepang, Indonesia justru telah mengalami erosi yang cukup parah mengenai konsep menjunjung dan menjaga kehormatan diri.

Padahal, kalau terkait kolusi penguasa dan pengusaha di Indonesia dan di Jepang sebenarnya menghadapi masalah yang sama sejak dekade 1950-an hingga sekarang. Bahkan ketika Indonesia pada 1950 meluncurkan Program Benteng yang sejatinya untuk memajukan para pengusaha pribumi, kemudian terperosok ke dalam kolusi penguasa-pengusaha sehingga program tersebut gagal total.

Di Jepang, kolusi penguasa-pengusaha juga sama gilanya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Apalagi kalau kita cermati, sistem politik Jepang malah lebih terang-terangan daripada Indonesia, dalam menegaskan bahwa sistem politiknya berbasis uang atau dalam istilah Jepang disebut Seiji Kenkin.

Bahkan seorang pengarang Jepang, Yukio Ozaki, mengatakan ada lima syarat untuk menjadi pemimpin di Jepang. “Satu sampai empat adalah uang, baru kemudian yang kelima adalah kecakapan politik,” begitu tutur Yukio Ozaki.

Begitupun, di Jepang dengan segala kondisi pemakluman terhadap kolusi yang demikian tinggi, toh negara harus bertekuk-lutut ketika terbukti secara hukum telah melakukan pelanggaran.

Ketika kasus Lockheed pada 1976 dan skandal Recruit pada 1988 terbongkar, mungkin bisa jadi ilustrasi menarik bagaimana Jepang menangani masalah krusial ini. Bayangkan saja. Dalam kasus Lockheed, Perdana Menteri Kakuei Tanaka ikut terseret gara-gara terbukti menerima uang suap dari perusahaan pembuat kapal terbang Amerika Serikat itu. Begitu pula dalam kasus Recurit, skandal insider trading, yang menyeret Perdana Menteri Noboru Takeshita ikut bertanggungjawab. Keduanya terpaksa menyatakan mundur dari kekuasaan alias tumbang dari tahta kekuasaan.

Melalui sekelumit cerita tadi, nampak jelas penegakan hukum di Jepang berbeda dengan penegakan hukum di Indonesia. Di Indonesia seakan berlaku ungkapan: Hukum adalah kekuasaan yang senyap, sedangkan kekuasaan adalah hukum yang aktif. Artinya, hukum di negri kita tajam ke bawah, tumpul ke atas.  Penegakan hukum bersikap ngambang dan lemah.

Sebaliknya di Jepang dalam penanganan kasus Lockheed dan Recruit, hukum ditegakkan secara jelas dan tanpa pandang bulu. Lantas, apa yang salah dengan kita?

Benar, masalah yang membedakan antara Indonesia dan Jepang bukan soal hukum, tapi budaya. Di Jepang, budaya tetap memancar dan merasuki berbagai sektor kehidupan masyarakat, tak terkecuali di ranah politik dan ekonomi. Tetap hidupnya budaya yang mampu mengontrol masalah sehingga bisa dikontrol oleh hukum. Itulah bedanya dengan apa yang berlaku di Indonesia.

Memang asumsi ini masih bisa diperdebatkan, namun setidaknya dalam kasus Lockheed dan Recruit, kalaupun ini masih kita anggap asumsi, asumsi ini tidak jauh meleset.

Tetap tegasnya penegakan hukum di Jepang dalam menangani kasus-kasus tertentu, agaknya merupakan imbalan dari tidak diberlakukannya konsepsi Harakiri secara harafiah yang tentunya di era sekarang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Namun subtansinya tetap, ketika seseorang terkena aib, maka kehormatan diri yang rusak harus ada ganjarannya. Sehingga sprit Harakiri itu ditransformasikan melalui penegakan hukum yang ketat dan tak pandang bulu.

Dengan begitu, konsepsi Harakiri tetap menemukan bentuknya yang ideal meskipun disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sehingga seorang Tanaka atau Takeshita, begitu terbongkar keterlibatannya dalam grafitikasi, sontak mengundurkan diri, karena budaya Jepang masih merasuki jiwa masyarakat dan pemimpinnya, bahwa orang yang telah berbuat aib dan ketahuan, merasa malu dan merasa tidak pantas untuk menduduki jabatan pemerintahan atau parlemen.

Dengan begitu, meskipun kolusi penguasa-pengusaha di dalam sistem politik Jepang masih sama gilanya dengan di negri kita, namun di negeri Sakura itu, pejabat pemerintahan masih tetap tertanam kesadaran bahwa ejabat dengan kekuasaannya, merupakan institutusi pelayanan masyarakat. Sehingga orientasi utamanya adalah sebagai pelayan masyarakat.

Sehingga tersirat masyarakat mempunyai hak untuk mengrol perilaku pejabat. Sedangkan di Indonesia, apa yang membudaya di kalangan birokrasi pemerintahan maupun para pejabat politik baik di eksekutif maupun legislatif, kekuasaan dan pejabatnya justru minta dilayani oleh masyarakat.

Dalam konteks ini, baik di era Orde Baru maupun Orde Reformasi sekarang ini, hal tersebut belum berubah. Masyarakat baik di era Suharto maupun era reformasi, masyarakat masih tetap sulit untuk mengontrol perilaku pejabatnya, baik pusat maupun daerah.

Ketika para pejabat dan elit politik kita terbongkar perbuatan aibnya, masyarakat hingga kini tetap sulit dan tidak mampu menuntut para pejabat dan elit politik mempertanggungjawabkannnya secara hukum maupun secara etika dengan mengundurkan diri.

Inilah salah satu agenda strategis bangsa yang nampaknya harus dirubah melalui sebuah cara pandang dan pola pikir baru. Pejabat adalah abdi masyarakat dan bukan sebaliknya.

Hendrajit.