Panen raya KPK. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Undang-Undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP) bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918.

Pasca kemerdekaan, aturan tersebut berubah menjadi menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) sejak 26 Februari 1946 yang kemudian dikenal dengan nama KUHP. Perubahan aturan hukum adalah hal yang lumrah agar hukum yang berlaku di suatu daerah lebih sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang hidup dinamis di tempat tersebut.

Bagian awal KUHP sendiri berbunyi “hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Artinya hukum pidana nasional dalam hal ini KUHP harus mencerminkan dapat mewujudkan keadilan, kepastian dan tentu saja bermanfaat bagi masyarakat yang hidup dalam hukum tersebut, yaitu sesuai dengan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Cita-cita yang sangat mulia!

“Sampai hari ini, Republik Indonesia belum punya terjemahan resmi dari KUHP. Kita masih memakai KUHP dengan terjemahan berbeda. RI perlu punya KUHP nasional yang juga bagian dari upaya rekodifikasi dari KUHP yang lama,” kata Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sekaligus Ketua Tim Musyawarah RUU KUHP Enny Nurbaninsih saat mengungkapkan salah satu alasan pelaksanaan kodifikasi hukum dalam RKUHP.