Jakarta, Aktual.com – Setelah 20 tahun lamanya kita menikmati kebebasan demokrasi, terhitung sejak bergulirnya reformasi 1998 hingga hari ini. Di tengah usia negara yang masih cukup muda, bangsa kita sudah tumbuh menjadi dewasa. Demokrasi sudah relatif tumbuh dengan baik, kebebasan berpendapat perlahan menjadi hal yang tidak tabu, cair saja dan minim ketegangan.

Hingga kedewasaan itu pun melahirkan rasa toleransi yang baik, dan melahirkan harmonisasi dalam interaksi sosial kita. Belum sempurna memang, tapi setidaknya jauh lebih baik dari pada masa orde baru. Dimana ketika itu, harmonisasi cenderung diciptakan dengan ancaman, sehingga ia rapuh dan menyuburkan benih-benih perlawanan.

Bersyukur masa-masa gelap demokrasi itu sudah berhasil kita lewati. Segala bentuk totaliterianisme sudah kita simpan dalam peti mati dan kita sepakat untuk tidak pernah membangkitkannya.

Namun menjadi sebuah ironi, saat kita tengah mekar-mekarnya menjadi bangsa yang demokratis, tiba-tiba datang sekelompok orang paranoid, tidak tahu diri, minim pemahaman sejarah, dan malas berpikir kemudian menjelma menjadi penguasa dengan tanpa rasa bersalah, mereka bangkitkan kembali nilai-nilai totaliterianisme dan mengobrak-abrik struktur demokrasi yang tengah kita nikmati.

Hingga konflik-konflik sosial pun tumbuh di banyak titik, dan mengancam keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Kebebasan berpendapat perlahan telah mereka sumbat. Suara-suara kritis masyarakat mulai dibungkam. Rakyat diteror dengan penangkapan demi penangkapan. Terus terjadi, ramai dan dipertontonkan. Akal rakyat berusaha mereka kontrol, jauh hingga ke ruang-ruang privat. Sehingga percakapan-percakapan antar personal pun perlahan menjadi tabu, ketika hendak membicarakan persoalan-persoalan negara.

Bahkan mssjid yang menjadi sentral informasi paling dekat dengan masyarakat, juga berulang kali hendak mereka kontrol. Tindakan seperti ini jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Karena masjid itu selain sebagai sarana membangun interaksi dengan Allah swt, juga merupakan tempat pendidikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Termasuk juga pendidikan politik. Tidak sedikit dari masyarakat kita, yang menjadikan masjid sebagai obat penawar atas kekecewaannya terhadap kinerja pemerintah. Jika ini dikontrol juga, maka rakyat pun bisa benar-benar memberontak dan besar kemungkinan melakukan tindakan-tindakan anarkis.

Hal-hal dasar ini seharusnya dipahami oleh penguasa. Agar jangan coba-coba melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengontrol masjid.

Masjid ibarat jantung bagi umat islam, semakin ditekan maka akan semakin memperkuat denyut nadi perlawanan umat. Karena masjid sangat terbuka terhadap situasi zaman. Maka seharusnya biarkan masjid mengalir sesuai kehendak umat, apa yang dibahas di dalam masjid, biarkan menjadi hak umat. Tidak perlu penguasa berlagak bijak hendak menertibkannya.

Sejarah dunia telah menjelaskan, bahwa setiap rakyat yang ditekan maka mereka pasti akan melawan. Dan setiap kekuatan yang terhimpun oleh rakyat, maka tidak ada angkatan bersenjata yang bisa mengalahkannya. Bangunan totalitarianisme juga sudah runtuh dimana-mana, ia ditentang oleh zaman. Sebab sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar manusia.

Tidak ada orang yang berpikiran sehat yang mau menerima totaliterianisme, karena itu hanyalah jalan menuju penderitaan. Cepat atau lambat, gelombang perlawanan pasti akan pasang. Jika sudah demikian, maka revolusi pun akan sulit dibendung. Sebab segala bentuk yang bertentangan dengan hati nurani, akan selalu membangkitkan perlawanan. Dan ini berbahaya bagi masa depan negara kita.

Oleh : Setiyono
(Pengkaji Sejarah, Hukum dan Demokrasi)