Warga Malang menyalami Maulana Syekh Yusri Rusydi Jabr Al Hasani usai memberikan tausiah usai salat Jumat di Masjid Sabilillah, Malang, Jawa Timur, Jumat (27/1/2017). Dalam kegiatan Safari Dakwah hari ke 10 ini, Maulana Syekh Yusri memimpin salah Jumat dan memberikan tausiah kepada masyarakat Malang sebelum mengisi pengajian, tahlil dan Maulid Nabi Muhammad SAW di Madrasah Arraudhah Desa Tambak Asri Tangkil, Tajinan, Malang, Jawa Timur. AKTUAL/Tino Oktaviano
Warga Malang menyalami Maulana Syekh Yusri Rusydi Jabr Al Hasani usai memberikan tausiah usai salat Jumat di Masjid Sabilillah, Malang, Jawa Timur, Jumat (27/1/2017). Dalam kegiatan Safari Dakwah hari ke 10 ini, Maulana Syekh Yusri memimpin salah Jumat dan memberikan tausiah kepada masyarakat Malang sebelum mengisi pengajian, tahlil dan Maulid Nabi Muhammad SAW di Madrasah Arraudhah Desa Tambak Asri Tangkil, Tajinan, Malang, Jawa Timur. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Di antara tarekat-tarekat yang ada, tarekat As-Syadziliyah memiliki pandangan-pandangan yang sedikit berbeda dibanding lainnya. Annnemarie Schimel menyebutkan bahwa Imam Syadzili mengusung persfektif sufistik yang berbeda dengan ajaran tasawuf yang lain pada masanya, seperti ajarannya yang tidak menekankan perlunya tapabrata atau kehidupan menyendiri dan tidak juga menganjurkan bentuk-bentuk dzikir tertentu yang disuarakan dengan lantang.

Kemudian Annemarie Schimmel melanjutkan bahwa anggota tarekat Syadziliyah tidak diperkenankan mengemis dan tidak mendukung kemiskinan. Sebaliknya, sumber-sumber Mesir abad ke-14 dan ke-15 mengisahkan bagaimana tiap anggota tarekat ini menonjol dalam kerapian pakaian mereka, berbeda dengan sufi-sufi yang ada di sekitar Kairo pada masa itu.

Masih menurut Annemarie Schimmel, ciri khas yang yang mendasar dari tarekat ini adalah bahwa seseorang Syadziliyyah pasti sudah ditakdirkan untuk menjadi anggota tarekat ini sejak alam baka dan mereka percaya bahwa Quthb akan senantiasa muncul dari Tarekat Syadziliyah.

Imam Syadzili tidak menuliskan ajaran-ajarannya dalam sebuah kitab yang tertulis, namun karya-karyanya adalah kitab yang berjalan, yaitu para murid-muridnya. Karena Imam Syadzili sangat intens dalam perihal pengajaran-pengajaran secara langsung face to face.

Karena memang pengetahuan mengenai Tarekat sesungguhnya adalah pengetahuan mengenai hakikat, yang dalam banyak hal tidak akan mampu dijangkau oleh akal. Seperti halnya dicontohkan dalam kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa ‘Alaihimassalaam.

Begitu juga muridnya, Abu Abbas al-Mursi, tidak meninggalkan karya tasawuf tertulis. Semua perkataan Imam Syadzili dan Syeikh Abu Abbas al-Mursi tentang tasawuf, doa-doa, hizib, dan juga wasiat-wasiatnya dikumpulkan oleh Syeikh Ibn Athoillah dan sekaligus ia merupakan penulis biografi kedua gurunya itu.

Sehingga dengan cara seperti itu, terjagalah warisan ajaran-ajaran tarekat Syadziliyah sampai saat ini. Di samping itu, Syeikh Ibn Athoillah juga merupakan orang pertama yang menulis sebuah karya tulis utuh yang menjelaskan adab-adab dalam tarekat, mendefinisikannya dan sekaligus meletakkan kaidah-kaidahnya sebagai acuan bagi para jama’ah tarekat Syadziliyah sampai saat ini.

Abu Wafa al-Taftazani menyebutkan bahwa ajaran tasawuf tarekat Syadziliyah sangat berbeda dengan aliran-aliran tasawuf falsafi semodel ajaran tasawuf Ibn Arabi tentang Wahdatul wujudnya.

Tak satupun dari guru besar tarekat Syadziliyah menyebutkan tentang pemikiran Wahdatul Wujud itu. Di saat mereka sangat jauh dengan gaya tasawuf falsafi, ternyata mereka sangat dekat dengan ajaran tasawuf al-Ghazali.

Hal ini bisa dibuktikan dengan salah satu perkataan Imam Syadzili kepada muridnya, “Jika engkau ingin mengadukan kebutuhanmu kepada Allah, maka berwasilahlah melalui Imam Ghazali”. Kemudian ia berkata, “Kitab Ihya Ulumuddin (karya al-Ghazali) akan mewariskan kepadamu keilmuan, kitab Qut Qulub (karya al-Makki) akan mewariskan kepadamu sebuah cahaya.”

Syeikh Ibn Athoillah menyebutkan Imam al-Ghazali dalam beberapa tempat yang sangat banyak dalam kitab-kitabnya yang sangat besar dan terkemuka, karena disamping meneladani guru-gurunya, ia juga terpengaruh olehnya dalam berbagai macam hal.

Untuk itu, sebagian besar ajaran tarekat Syadziliyah banyak dipengaruhi oleh ajaran tasawuf al-Ghazali. Meskipun antara al-Ghazali dan ajaran tarekat Syadziliyah memiliki banyak kesamaan, namun juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Apabila al-Ghazali lebih menekankan pada riyadlah al-badan atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan adanya musyaqqoh seperti bangun untuk sholat malam, lapar, dan lain-lain.

Maka Imam Syadzili lebih menekankan pada riyadlah al-qulub tanpa menekankan adanya musyaqqah al-abdan, misalnya dengan lebih menekankan senang (al-farh), rela (al-ridlo), dan selalu bersyukur (al-syukr) atas nikmat Allah.

Menurut Abu Wafa al-Taftazani, ajaran-ajaran dalam tarekat As-Syadziliyah bisa diringkas di dalam lima prinsip, yaitu takwa kepada Allah di dalam kerahasiaan maupun tempat terbuka, mengikuti sunah dalam perkataan dan perbuatan, memaligkan diri dari makhluk di dalam kerahasiaan maupun tidak, ridla terhadap Allah dalam hal yang sedikit maupun banyak dan kembali kepada Allah di saat senang maupun kesusahan.

Dan masih dalam penjelasan Abu Wafa, menurutnya, salah satu ajarannya yang terkemuka adalah menghilangkan tradisi memprediksi hal yang akan datang. Ini merupakan dasar yang membangun keseluruhan tarekat ini dan sekaligus dijadikan sebagai ciri khas alirannya dalam tasawuf.

Dalam ajaran tarekat As-syadziliyah, dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan akan membuat hati mengenal rahmat Ilahi.

Sedangkan meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta akan membawa kepada kezaliman. Dalam pandangan tarekat ini, sebaiknya manusia menggunakan nikmat Allah dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan rasul-Nya.

Tarekat As-Syadziliyah tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi keduniaan mereka. Syeikh Ibn Athoillah membahas perihal mengatur dunia tanpa tertipu dengannya. Menurutnya, mengatur dunia itu ada dua macam. Yaitu, mengatru dunia untuk dunia semata dan mengatur dunia untuk akhirat.

Yang pertama adalah merancang cara mengumpulkan dunia dengan rasa bangga dan cinta kepadanya. Setiap kali dunianya bertambah, ia bertambah lalai terhadap akhirat, tambah terbuai dan tambah terperosok dalam maksiat. Tandanya, dunia tersebut membuatnya lalai dan tidak mengindahkan syariat.
Sementara yang kedua (mengatur dunia untuk akhirat) sepeti orang yang mengelola dagangannya agar bisa makan dari hasil yang halal dan baik, agar bisa berinfak kepada fakir miskin, agar bisa menyambung silaturahmi, bisa menjaga diri untuk tidak mengemis dan bisa menjaga kehormatan.

Tandanya, ia tidak sibuk memperkaya diri, tidak mendunia, selalu membantu penderitaan kaum muslim dan memudahkan orang-orang yang berada dalam kesulitan.

Zuhud dalam pandangan tarekat As-Syadziliyah tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah. Dunia yang dibenci kaum sufi, adalah dunia yang memalingkan seorang hamba dari Tuhannya, yang melengahkan dan memperbudak manusia karena kesenangan yang berlebihan terhadapnya.

Bagi kalangan tarekat As-Syadziliyah, tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang salik dibolehkan untuk mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, yaitu dengan tidak sedih ketika harta hilang dan tidak bangga ketika hartanya bertambah. Wallahu A’lam

Laporan: Mabda Dzikara

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid