Ratusan jamaah Majelis Zawiyah Arraudah mendengarkan tausiyahnya Maulana Syekh Yusri Rusydi Jabr Al Hasani dalam acara pembacaan kitab amin al-I'lam bi anna attasawwuf min syariat al-islam karangan syekh Abdullah Siddiq al-Ghumari di Majelis Zawiyah Arraudah, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (28/1/2017). Didalam pembacaan kitab amin al-I'lam bi anna attasawwuf min syariat al-islam Syekh Yusri menjelaskan ihwal sufi atau orang yang mendalami tasawwuf. AKTUAL/Munzir
Ratusan jamaah Majelis Zawiyah Arraudah mendengarkan tausiyahnya Maulana Syekh Yusri Rusydi Jabr Al Hasani dalam acara pembacaan kitab amin al-I'lam bi anna attasawwuf min syariat al-islam karangan syekh Abdullah Siddiq al-Ghumari di Majelis Zawiyah Arraudah, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (28/1/2017). Didalam pembacaan kitab amin al-I'lam bi anna attasawwuf min syariat al-islam Syekh Yusri menjelaskan ihwal sufi atau orang yang mendalami tasawwuf. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Seperti yang dikutip dari kitab Lathâif al-Minan, Syekh Ibnu Athaillah mengisahkan tentang awal pertemuan dengan gurunya Syekh Abu Abbas A-Mursi, ia berkata:

“Sebelum aku bertemu dengannya, dahulu aku adalah orang yang mengingkarinya (Abu Abbas Al-Mursi), namun bukan dari apa yang telah aku dengar langsung dari kebenaran perkataanya, sampai aku berbincang langsung dengan salah satu dari murid-muridnya.

Aku berkata saat itu: ‘Tidak ada ulama selain mereka adalah ahli zahir, sedangkan mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal besar, padahal syariat zahir menentangnya”.

Ia menjawab:’apakah kamu tahu apa yang Syekh katakan tentang perbincangan kita saat ini?’. ‘Tidak’, jawabku. Ia melanjutkan,’saat pertama kali aku bertemunya, ia mengatakan kepadaku bahwa mereka (orang-orang yang menentang) adalah seperti batu. Mereka akan merasa, bahwa apa yang mereka katakan lebih baik dari apa yang engkau rasakan’.

Dari sana aku tahu bahwa Syekh Abu Abbas telah mengetahui apa yang terjadi diantara aku dan muridnya….,setelah perbincangan itu, aku berkata pada diriku sendiri, ‘biarkan aku bertemu dengan Syekh ini, karena sesungguhnya para wali Allah memiliki tanda-tanda yang tidak bisa ditutup-tutupi’.

Lalu aku datang ke majelis beliau dan aku mendengar ia berbicara tentang apa yang diperintahkan oleh Syariat. Pertama ia menjelaskan tentang Islam, kedua tentang iman, dan ketiga tentang ihsan…, dari sini aku tahu bahwa ucapan ini berasal dari telaga ketuhanan”.

Syekh Ibnu Athaillah dikenal sebagai salah satu dari mahaguru tarekat Syadziliyah setelah dua guru utamanya yaitu Syekh Ali Abu Hasan Assyadzili dan Syekh Abu Abbas Al-Mursi.

Menukil dari kitab Lathâif Al-Minan, Syekh Yusri juga pernah menjelaskan tentang mukasyafah (transparansi terhadap rahasia-rahasia langit) Syekh Abu Abbas Al-Mursi tentang Syekh Ibnu Athaillah. Syekh Yusri menjelaskan, “Sebagaimana diketahui, bahwa kakek dari Syekh Ibnu Athaillah adalah seorang ahli fikih penentang ajaran tasawwuf.
Pada suatu waktu Syekh Abu Abbas Al-Mursi mengatakan, bahwa hendaklah kita bersabar terhadap seorang alim ini (kakek Ibnu Athaillah), karena kelak keturunannya akan memakmurkan dan menjadi pembesar tarekat Syadziliyah ini, dialah Ibnu Athaillah Assakandary yang telah lama dinanti oleh sang guru”.

Pada akhirnya Ibnu Athaillah memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar, ketimbang seorang ahli fikih. Namun yang menarik adalah bagaimana kemudian beliau mampu menggabungkan antara nuansa fikih dan tasawwuf dalam setiap karya-karyanya.

Dari tanah kelahirannya, ia berhijrah ke kota Kairo, dimana ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid Al-Azhar. Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam kitab Addurar Al-Kâminah berkata: “ Ibnu Athaillah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkataan-perkataan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat para ulama-ulama klasik, juga bermacam-macam ilmu. Tidak heran jika pengikutnya begitu banyak dan menjadi simbol dari kebaikan”.

Senada dengan itu, para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah juga berpendapat sama tentang kedalaman ilmu dan ma’rifat yang dimiliki oleh Syekh Ibnu Athaillah.

Imam Adzdzahabi dalam Siyar A’lam wa Annubalâ, yang merupakan kitab biografi para tokoh-tokoh islam menuliskan; “Ibnu Athaillah merupakan seorang yang memiliki keagungan yang menakjubkan.

Kalam-kalamnya memiliki pengaruh yang kuat di dalam jiwa dan berbagai kebaikan. Dan aku melihat Syekh Tajuddin Al-Fariqi ketika beliau kembali dari Kairo, ia memuji nasehat dan isyarat-isyarat yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah. Dia berbicara di Masjid Al-Azhar diatas sebuah kursi dengan sebuah perkataan yang menentramkan jiwa”.

Terkait dengan karomah Syekh Ibnu Athaillah, Imam Al-Munawi dalam kitabnya ”Al-Kawakib Al-Durriyyah” , yang juga tertulis di salah satu dinding makam Ibnu Athaillah, mengatakan, “Syekh Kamal bin Himam ketika berziarah ke makam wali besar ini, membaca surat Hud, sampai pada ayat yang artinya: ‘Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…’, tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibnu Athaillah, ‘wahai kamal! Tidak ada diantara kita yang celaka’. Setelah menyaksikan karomah ini, Ibnu Himam berwasiat supaya setelah wafat ia dimakamkan di samping sang wali besar tersebut”.

Ibnu Athillah wafat pada tahun 709 H/1309 M, pada usia 51 tahun dan dimakamkan di pemakaman Al-Qorrofah Kubro, di bawah kaki bukit Muqattam, Kairo. Di sekitar pemakaman tersebut juga dimakamkan para ulama-ulama yang terkenal seperi Syekh Abi Jamroh dan Ibnu Daqiq Ied. Wallahu A’lam

Laporan: Mabda Dzikara

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid