Chairul Saleh sebagai nasionalis tulen. (ilustrasi/aktual.com)

Image result for Chairul Saleh+Foto

Kalau bicara tentang sejarah peran pemuda menjelang kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, maka nama Chairul Saleh selalu disebut-sebut bersama Adam Malik, Maruto Nitimiharjo, Sukarni dan Wikana. Bahkan para pemuda tersebut tercatat pernah menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, agar kedua tokoh pergerakan kemerdekaan nasional yang jauh lebih senior tersebut, secepatnya mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 1945.

Sebagaimana terdokumentasi dalam sejarah politik Indonesia, meski secara berliku-liku Bung Karno dan Bung Hatta menolak desakan kaum muda yang menculiknya, namun toh pada akhirnya kedua proklamator tersebut setuju untuk membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945. Melalui sekelumit cerita singkat ini, nampak jelas bahwa para pemuda kala itu telah memainkan peran sebagai katalisator dan akselator untuk mempercepat proses politik yang berlangsung di saat transis antara kekalahan Jepang dari pasukan sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat dan Inggris, dan kembalinya Belanda sebagai bagian dari negara-negara pemenang perang untuk menjajah Indonesia.

Terjadinya vakum kekuasaan antara kekalahan Jepang dan beralihnya kekuasaan Indonesia ke tangan sekutu itulah, para bapak pendiri bangsa yang berpusat pada Bung Karno dan Bung Hatta kemudian menggunakan momentum tersebut untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia sebagai negara bangsa.

Peran para pemuda seperti Chairul Saleh, Adam Malik Malik, Wikana, Sukarni dan Maruto Nitimiharjo, memang sangatlah penting sehingga sungguh besar jasa-jasanya.

Untuk tulisan kali ini, izinkan saya berkisah tentang Chairul Saleh, yang kelak di akhir masa pemerintahan Presiden Sukarno, putra minang tersebut menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri III dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Chairul Saleh lahir di Sawah Lunto, 13 September 1916. Pria bernama lengkap Chairul Saleh Datuk Paduko Rajo ini, memulai masa sekolahnya di Sekolah Rakyat di Medan pada 1924, yang kemudian diselesaikannya di Bukit Tinggi pada 1931. Antara 1931-1937, Chairul meneruskan pendidikan  HBS (setingkat SMA zaman sekarang). Setelah itu pada 1937-1941 Chairul Saleh menempuh pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Hukum yang dikenal kala itu bermana RHS.

Semasa kemahasiswaan inilah, Chairul untuk kali pertama jalin kontak dengan Mr Muhammad Yamin, yang kala itu sudah dikenal reputasinya sebagai pencetus dan salah seorang motor penggerak Kongres Pemuda 1928, yang bermuara pada lahirnya Ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Bersama beberapa teman seangkatannya, Chairul sering bertandang ke rumah Yamin di Pecenongan, Jakarta Pusat, untuk berdiskusi mengenai bagaimana agar bangsa pribumi bisa lepas dari belenggu penjajahan Belanda. Sedemikian kagumnya dengan Yamin, Chairul berani-beraninya bolos kuliah hanya untuk menyimak pidato-pidato Yamin di beberapa forum pertemuan.

Melalui pergaulan di dunia peguruan tinggi inilah Chairul Saleh terasah hasrat sejatinya sebagai aktivis pergerakan. Pada 1940, semasa masih getol-getolnya menempuh studi ilmu hukum, Chairul  mulai berkibar reputasinya sebagai aktivis pergerakan pemuda dengan terpilih sebagai Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI) antara 1940-1942.

Karena begitu aktif di PPPI, Chairul dipercaya duduk di kepengurusan. Semula jadi sekretaris I, kemudian terpilih jadi Ketua PPPI, hingga Jepang masuk Indonesia, menggantikan Belanda, sebagai negara penjajah baru di bumi nusantara.

Pada masa penjajahan Jepang antara 1942-1945, kiprah Chairul Saleh di dunia pergerakan juga tetap penuh warna. Semula memang bergabung dalam beberapa organ kepemudaan binaan Jepang seperti Angkatan Muda Indonesian. Namun dasar dirinya dari awal bergabung di lingkungan pergerakan yang sudah punya kesadaran politik yang cukup tinggi, jiwanya kemudian berontak, dan berbalik menjadi salah seorang aktivis pergerakan yang sangat anti Jepang.

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta berkeputusan untuk berkolaborasi dengan Jepang atas dasar pertimbangan taktis untuk mengkonsolidasikan seluruh komponen pergerakan nasional agar siap untuk merdeka ketika momentum itu tiba, maka Chairul Saleh pun berkeputusan ikut serta membentuk dua organ yang langsung di bawah pembinaan Bung Karno, yaitu Barisan Banteng, Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) dan Barisan Pelopor. Bahkan kemudian Chairul dipercaya menjadi Wakil Ketua Gerakan Angkatan Baru dan Pemuda.

Kalau menelisik kesejarahan ini, sebenarnya Chairul merupakan seorang nasionalis yang mana persemaian ideologisnya justru dibentuk oleh Bung Karno, dan bukan Tan Malaka seperti yang kemudian sejarah menggambarnya sebagai kader politik dan ideologisnya Tan Malaka.

Sebab baik Barisan Banteng maupun PUTERA, sejatinya merupakan organ-organ kemasyarakatan yang langsung di bawah pembinaan Bung Karno dan Bung Hatta.

Melalui kiprahnya di beberapa organ pergerakan pemuda ini, Chairul Saleh kemudian dikenal sebagai salah satu motor penggerak para pemuda yang bermarkas di Jalan Menteng Raya 31. Di sinilah basis pergerakan pemuda yang mana Chairul Saleh, Adam Malik, Wikana, dan Sukarni kemudian menjadi elemen kepemudaan yang mendesak Bung Karno dan Bung Hatta menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya sebelum Jepang menyerah kepada Sekutu, atau tepat pada saat Jepang menyatakan secara resmi menyerah kepada kepada tentara sekutu.

Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 dan sehari kemudian terbentuk pemerintahan kabinet presidensial dengan Bung Karno sebagai presiden dan Bung Hatta sebagai wakil presiden, Chairul Saleh dan kawan-kawan dari kelompok pemuda,  justru mendukung gagasan Tan Malaka yang menghendaki Indonesia merdeka 100% dan menolak perunding atau kompromi dengan Belanda, selama negeri kincir angin itu menolak mengakui Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Alhasil, Chairul bersama rekan-rekan seperjuangannya seperti Adam Malik, Sukarni, Maruto dan Wikana, bergabung dengan Persatuan Perjuangan yang dibentuk atas prakarsa Tan Malaka pada 4-5 Januari 1946. Adapun program utama Persatuan Perjuangan adalah menolak perundingan jika tidak didasari pengakuan kemerdekaan Indonesia 100%. Menariknya, hampir semua organisasi masyarakat dan kepemudaan, kecuali partai-partai pendukung Sutan Sjahrir dan Amir Syarifuddin yang notabene berhaluan sosialis-kiri dan komunis, mendukung program politik Persatuan Perjuangan.

Sekadar informasi. Berdirinya Persatuan Perjuangan dipicu oleh pergeseran orientasi politik pemerintahan dari presidensial yang berpusat pada Sukarno sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, menjad kabinet parlementer berbasis multi-partai, yang kemudian Sutan Sjahrir ditunjuk sebagai perdana menteri Indonesia pertama. Dan Komite Nasional Indonesia yang semula berfungsi koordinasi kemudian berubah berfungsi legislative. Namun yang lebih krusial, kebijakan politik Sjahrir dan Syarifuddin  justru membuka perundingan dengan pemerintah kolonial Belanda.

Sikap Sjahrir dan Syarifuddin itulah yang kemudian berbenturan dengan sikap politik Tan Malaka yang mendapat dukungan kalangan muda seperti Adam Malik, Chairul Saleh, Maruto Nitimiharjo, Sukarni, dan Wikana. Juga dapat dukungan dari beberapa politisi senior seperti Muhammad Yamin, Achmad Subarjo, Iwa Kusumasumantri dan lain-lain.

Ternyata benar. Perundingan Linggajati yang diprakarsai Sjahrir ternyata hasilnya malah merugikan posisi Indonesia. Begitu pula ketika Amir Syarifuddin menggantikan Sjharir sebagai perdana menteri, memprakarsai perundingan Renvile, hasilnya malah lebih buruk darpada perjanjian Linggajti. Bahkan melalui Renvile, TNI dipaksa meninggalkan Jawa Barat, menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di sela-sela antara pemerintahan Sjahrir dan Syarifuddin antara 1945-1948, cerita seputar Tan Malaka dan para pengikutnya yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan menarik untuk diungkap. Ketika Sjahrir terbukti gagal membawa posisi menguntungkan Indonesia terhadap Belanda melalui medan diplomasi, Adam Malik mendesak Bung Karno agar Tan Malaka ditunjuk sebagai perdana menteri.

Namun dengan halus Bung Karno menolak desakan Adam Malik. “Jangan terburu nafsu Adam, waktu masih panjang. Jangan terlalu banyak menembakkan peluru.”  Apapun maksud Bung Karno pada Adam, nampaknya itu isyarat Bung Karno masih memberi kesempatan kedua kali kepada Sjahrir untuk menjabat perdana menteri.

Sebaliknya Tan Malaka  berikut para pendukung Persatuan Perjuangan malah ditangkap dan ditahan. Antara lain Achmad Subarjo, Muhammad Yamin, Wondoamiseno, Suprapto, dan Abikusno Cokrosuyoso. Sedangkan para pendukung Bung Tan dari kalangan pemuda adalah Adam Malik, Sukarni, Chairul Saleh, Wikana dan lain-lain.

Namun bagi Tan Malaka dan para pendukung Persatuan Perjuangan, termasuk Chairul Saleh, waktu nampaknya berpihak pada mereka. Ketika Amir Syarifuddin yang ditunjuk Bung Karno sebagai perdana menteri menggantikan Sjahrir pada 3 Juli 1947, Amir seperti halnya Sjahrir, ternyata gagal dalam memperjuangkan posisi yang menguntungkan Indonesia di dunia internasional. Perjanjian Renville yang ternyata semakin merugikan posisi  Indonesia, maka Amir menyerahkan mandat pemerintahan pada 23 Januari 1948.

Situasi ini mendorong kekuasaan beralih kembali ke dwitunggal Sukarno-Hatta. Maka Bung Hatta ditunjuk sebagai perdana menteri pada 31 Januari 1948. Di sinilah titik belik mulai terjadi. Amir Syarifuddin dan partai-partai kiri dan komunis pendukungnya yang semula gigih mendukung Renville, sekarang malah ramai-ramai menyerang pemerintahan kabinet Hatta. Sedangkan Hatta dan pemerintahannya yang didukung oleh partai-partai nasionalis, agama dan sosialis, malah mendukung hasil Renville meski dengan sangat terpaksa hanya karena perlu untuk mempertahankan otoritas pemerintahan.

Sedemikian rupa gencarnya serangan kubu Amir Syarifuddin terhadap pemerintahan Hatta, sehingga Tan Malaka dan para pendukungnya kemudian dibebaskan dari tahanan untuk mengimbangi Amir dan golongan sayap kiri yang kemudian membentuk Fron Demokrasi Rakyat (FDR). Maka untuk mengimbangi FDR inilah, Bung Karno mengeluarkan keputusan pembebasan Tan Malaka pada 3 Juli 1948. Sedangkan para pengikutnya sudah dilepas beberapa waktu sebelumnya.

Segera setelah Tan Malaka dan kawan-kawan dilepas dari penjara, termasuk Chairul Saleh, Tan semakin mengaktifkan Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) yang kebetulan sudah didirikan sejak 6 Juni 1948 oleh para pendukung Tan Malaka, ketika Bung Tan masih dalam masa tahanan. Maka ditunjukklah beberapa pimpinan GRR dengan Dr Muwardi sebagai ketua, Syamsu Harya Udaya sebagai wakil ketua, dan Chairul Saleh sebagai sekretaris.

Maka clash antara GRR dan PKI tak terelakkan lagi, seperti benturan antara Barisan Banteng yang pro GRR dengan Pesindo yang pro FDR/PKI. Yang kemudian bermuara pada Pemberontakan Madiun pada September 1948. Singkat cerita, pemberontakan Madiun yang dimotori Amir Syarifuddin dan Muso yang sejak 1926 dianggap terafiliasi dengan PKI akhirnya berhasil ditumpas.

Sejak pasca penumpasan pemberontakan Madiun itulah, para pengikut Tan Malaka seperti Yamin, Adam Malik, dan Chairul Saleh, keberuntungan mulai berpihak pada mereka. GRR atas prakarsa Yamin Cs kemudian melebur beberapa partai yang sehaluan seperti Partai Rakyat, Partai Rakyat Jelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Comunis Muda (Acoma), dan Wanita Rakyat, menjadi satu kesatuan dan berfusi menjadi Partai Murba. Chairul Saleh, Adam Malik dan Sukarni, merupakan  beberapa tokoh yang duduk dalam pucuk pimpinan Murba.

Ketika agresi militer II Belanda meletus pada Desember 1948, Chairul Saleh ikut berjuang angkat senjata bergerilya di Jawa Barat, bergabung bersama  Barisan Bambu Runcing Jawa Barat. Sedangkan Sukarno berjuang angkat senjata di Jawa Tengah. Tan Malaka sendiri bergabung dengan Brigade Mayor Sabaruddin di Jawa Timur. Chairul Saleh bahkan ikut Long March bersama DIvisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Karawang dan Sanggabuana.

Ketika Indonesia akhirnya mendapat pengakuan dari Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949, Chairul Saleh merasa tidak puas dengan hasil tersebut, dan lari ke Banten bersama anggota-anggota kesatuan lainnya. Sampai kemudian meletus peristiwa Banten Selatan 1950-1952. Alhasil Chairul Saleh ditangkap karena dianggap melanggar ketentuan hukum NKRI. Namun Bung Karno yang sejatinya menghargai watak revolusioner dan radikal Chairul Saleh sebagai anak muda, ternyata cukup bijaksana.  Setelah Chairul dilepas dari tahanan, Bung Karno mengirim Chairul belajar di Jerman antara 1952-1955.

Dasar memang sudah wataknya sebagai aktivis pergerakan, selama sekolah di Jerman kerjannya ya tidak melulu belajar dan membaca buku saja. Chairul juga aktif merintis Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Berarti dalam dalam konteks PPI Jerman, Chairul Saleh boleh dibilang merupakan salah satu perintis dan pemrakarsanya.

Sayangnya, meski Murba punya kader-kader yang hebat dan mumpuni seperti Chairul Saleh, Adam Malik, Sukarno dan Maruto, namun hasil Pemilu 1955, namun bagi Murba hasilnya sangat mengecewakan. Hanya dapat 2 kursi dari 257 kursi di DPR. Intinya, dalam setting politik demokrasi parlementer dan produk UUD 1950, keberuntungan sama sekali tidak berpihak pada Murba.

Namun momentum keberuntungan bagi kader-kader Murba mulai terbuka ketika Bung Karno pada 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden, menyatakan kembali ke UUD 1945. Menyusul gagalnya Dewan Konstituante mencapai kata sepakat untuk menghasilkan undang-undang dasar baru. Dalam Demokrasi Terpimpin, pusat penggerak politik bukan lagi partai, tapi Bung Karno sebagai Kepala Negara dan kepala Pemerintahan.

Sehingga dalam penyusunan kabinet pun, Bung Karno menyusun kabinet tidak lagi berdasarkan poilitik dagang sapi, melainkan sepenuhnya atas wewenang dirinya selaku presiden merangkap perdana menteri. Di sinilah beberapa kader Murba pengikut Tan Malaka yang notabene sangat anti komunis dan bahkan berhadapan secara fisik menjelang pemberontakan Madiun September 1948, mulai diikutsertakan dalam beberapa posisi penting di kabinet. Nampaknya Bung Karno mengikutsertakan beberapa kader Murba untuk ,mengimbangi PKI yang semakin menguat.

Maka Muhammad Yamin, Priyono dan Chairul Saleh  dimasukkan dalam formasi kabinet. Sedangkan Adam Malik dan Sukarni, masing-masing dipercaya Bung Karno sebagai Duta Besar Rusia dan Cina.

Namun khusus buat Chairul Saleh, bahkan sebelum keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebenarnya sudah dipercaya Bung Karno memegang peran penting, meskipun secara bertahap. Misalnya pada Desember 1956 Chairul diangkat jadi Wakil Ketua Legiun Veteran RI. Bahkan pada 9 April 1957 diangkat jadi Menteri negara Urusan Veteran dalam Kabinet Juanda.

Nah baru pada 10 Juli 1959, di era pasca Dekrit Presiden, Chairul. Nampaknya di benak Bung Karno, Chairul sengaja dipasang menangani urusan veteran, untuk menjalin ikatan batin dengan para pejuang kemerdekaan maupun dari berbagai laskar yang mana dirinya memang ikut berjuang angkat senjata pada masa Revolusi Fisik 1945-1949.

Pada 10 Juli 1959, di era pasca Dekrit Presiden, Chairul malah dapat posisi yang jauh lebih strategis, yaitu sebagai menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan. Pada periode 1960-1965, posisi yang dipegang Chairul Saleh malah lebih fantastis lagi. Yaitu sebagai Ketua MPRS, sementara di sela-sela itu, antara 1963-1965 ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri III.

Pada masa ketika Chairul Saleh jadi menteri pertambangan inilah,  beberapa ide cemerlang terkait undang-undang nasionalisasi minyak perusahaan-perusahaan asing dan gagasan Wawasan Nusantara mulai dirumuskan dan dijadikan kebijakan strategis pemerintahan Sukarno. UU Migas malah sudah jadi dan tinggal dilaksanakan. Sedangkan Wawasan Nusantara, karena Sukarno keburu lengser pada 1967, baru direalisasikan pada masa pemerintahan Suharto pada 1982. Ketika pada masa Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmaja.

Sayangnya, pada 1965 meletus Gerakan September 1965. Sehingga kejadian ini menjadi titik awal kejatuhan Sukarno dua tahun kemudian. Semua kebijakan-kebijakan strategis terkait minyak dan Wawasan Nusantara yang sangat progresif revolusioner itu, akhirnyua kandas, seiring jatunya Sukarno. Yang mana Chairul Saleh pun bukan saja ikut lengser,  bahkan kemudian dikenakan tahanan. Meskipun sampai hari ini tidak jelas apa alasan sesungguhnya dari penahanan terhadap Chairul Saleh.

Memang semasa kader-kader Murba mendapat posisi strategis di kabinet pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 seperti Yamin, Chairul Saleh, Adam Malik, dan Sukarni, sempat memicu rasa iri dari kalangan kader-kader PKI yang merasa juga sangat revolusioner. Sehingga perbenturan antara PKI versus Murba jadi sangat tajam sejak 1963-1965. Bahkan antara Chairul Saleh dan Ketua PKI Aidit sempat perang mulut yang nyaris terjadi baku-hantam fisik dalam suatu rapat kabinet yang berlangsung di istana Bogor. Inti pertengkaran, karena Chairul dapat informasi bahwa PKI sedang menyiapkan suatu operasi politik untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.

Ketika perseteruan Murba versus PKI meruncing, ada yang aneh dalam keputusan Sukarno. Ketika Murba membentuk Badan Pendukung Sukarnoisme sebagai tameng untuk melawan PKI, Bung Karno malah membekukan BPS. Dan menahan salah satu pentolannya yaitu Sukarni. Bahkan Partai Murba kemudian dibubarkan pada September 1965.

Namun ketika pada 1966, ketika Suharto sudah semakin menguat sebagai pengganti Sukarno, Sukarno yang kala itu masih menjabat presiden, mengeluarkan keputusan merahabilitasi partai Murba melalui Keputusan Presiden No 223 tahun 1966.

Namun di sinilah uniknya drama politik antara 1965-1967. Partai Murba dipulihkan kembali reputasi dan kredibilitas serta nama baiknya yang sempat cemar gara-gara tuduhan bahwa kader-kader Murba pernah mendapat dana dari CIA untuk menggulingkan pemerintah. Namun ironisnya, salah satu pentolan utama Murba Chairul Saleh, justru harus masuk tahanan atas perintah dari Pemerintahan Presiden Suharto.

Hingga Chairul Saleh wafat pada 8 Februari 1967, dalam status sebagai tahanan, tidak ada alasan resmi kenapa Chairul harus ditahan. Dan yang lebih penting lagi, tidak ada penjelasan resmi sebab-musabab sesungguhnya kematian Chairul Saleh.

Mengembalikan reputasi sejarah Chairul Saleh jadi amat penting, karena lepas apa latarbelalkangnya, dan asal-muasalnya, Chairul Saleh sejatinya telah membuktikan dirinya merupakan seorang nasionalis tulen. Melalui jejak langkahnya, pemikirannya maupun sikap politiknya. Jika tidak, rasanya tak mungkin Bung Karno begitu menaruh kepercayaan pada putra Minang yang satu ini, untuk mengemban jabatan Menteri Pertambangan, Wakil Perdana Menteri III dan Ketua MPRS.

Hendrajit