PLTS (Foto: Istimewa)
Satrio Arismunandar
Satrio Arismunandar

Pemerintah harus segera memperbesar pemanfaatan energi baru terbarukan, karena energi fosil tidak akan bertahan lama. Salah satu alternatif itu adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya.

Langkah baru telah dilakukan pemerintah Presiden Joko Widodo dalam masalah energi baru terbarukan. Pemerintah merencanakan membentuk badan usaha khusus energi baru terbarukan, untuk mempercepat pengembangan energi nonfosil. Pemerintah juga segera membentuk badan pengelola dana ketahanan energi serta perbaikan regulasi sektor energi baru terbarukan.

Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Sudirman Said pada 7 Januari 2016 menyatakan, pembentukan BUMN khusus energi baru terbarukan itu merupakan terobosan untuk mempercepat pencapaian target dalam bauran energi.

Berdasarkan kebijakan energi nasional, bauran energi pada 2025 untuk sektor energi baru terbarukan setidaknya 23 persen. PLN khusus energi baru terbarukan ini diharapkan dapat menjembatani keterbatasan anggaran PLN dalam pengembangan energi di sektor hulu.

Dalam hal pengembangan energi baru terbarukan, salah satu sektor yang layak dikembangkan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). PLTS adalah pembangkit listrik yang mengubah energi surya (sinar matahari) menjadi energi listrik. Pembangkitan listrik bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung menggunakan sel surya (photovoltaic) dan secara tidak langsung dengan pemusatan energi surya.

Photovoltaic mengubah secara langsung energi cahaya menjadi listrik menggunakan efek fotoelektrik. Sedangkan pemusatan energi surya menggunakan sistem lensa atau cermin, dikombinasikan dengan sistem pelacak, untuk memfokuskan energi matahari ke satu titik untuk menggerakkan mesin kalor.

Sistem pemusatan energi surya (concentrated solar power, CSP) menggunakan lensa atau cermin dan sistem pelacak untuk memfokuskan energi matahari dari luasan area tertentu ke satu titik. Panas yang terkonsentrasikan lalu digunakan sebagai sumber panas untuk pembangkitan listrik biasa, yang memanfaatkan panas untuk menggerakkan generator. Sistem cermin parabola, lensa reflektor, dan menara surya adalah teknologi yang paling banyak digunakan. Fluida kerja yang dipanaskan bisa digunakan untuk menggerakan generator atau menjadi media penyimpan panas.

Sedangkan sel surya atau sel photovoltaic adalah alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi listrik menggunakan efek fotoelektrik. PLTS tipe photovoltaic menggunakan perbedaan tegangan akibat efek fotoelektrik untuk menghasilkan listrik. Solar panel terdiri dari tiga lapisan, lapisan panel P di bagian atas, lapisan pembatas di tengah, dan lapisan panel N di bagian bawah. Sinar matahari menyebabkan elektron di lapisan panel P terlepas, sehingga menyebabkan proton mengalir ke lapisan panel N di bagian bawah, dan perpindahan arus proton ini adalah arus listrik.

Salah satu keunggulan PLTS adalah ia tidak menimbulkan polusi atau pencemaran lingkungan. Ini berbeda dengan pembangkit listrik tenaga batu bara, yang menghasilkan pencemaran. Sumber energinya adalah sinar matahari, yang tersedia berlimpah di negara beriklim tropis seperti di Indonesia. Ia juga cocok untuk pengunaan di pulau-pulau terpencil, yang jauh atau tidak terjangkau oleh jaringan listrik PLN.

PLTS semacam ini bersifat mandiri (independen) karena menghasilkan listrik sendiri dan tidak terhubung pada jaringan PLN. Wilayah Indonesia yang sudah menggunakan PLTS adalah Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, Jawa Barat, dan Yogyakarta. PLN bahkan sudah punya program “100 Pulau dengan 100% Tenaga Surya.”

Indonesia memiliki potensi energi surya sebesar 4,8 KWh/m2 atau setara 112.000 GWp, sepuluh kali lipat dari potensi Jerman dan Eropa. Indonesia baru memanfaatkan sekitar 10 MWp.

Untungnya, pemerintah telah mengeluarkan roadmap pemanfaatan energi surya yang menargetkan kapasitas PLTS terpasang hingga tahun 2025 mencapai sebesar 0,87 GW atau sekitar 50 MWp/tahun. Jumlah ini merupakan gambaran potensi pasar yang cukup besar dalam pengembangan energi surya pada masa datang.

Presiden Jokowi telah meresmikan Independent Power Producer PLTS berkapasitas 5 Megawatt, di Desa Oelpuah, Kupang Tengah, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 27 Desember 2015. PLTS ini merupakan yang terbesar di Indonesia, dengan nilai investasi 1,2 juta dollar AS. Pengerjaannya dilakukan oleh PT LEN Industri (Persero).

PLTS ini dibangun untuk mengatasi masalah listrik di NTT. Menteri ESDM Sudirman Said menjelaskan, NTT masih mengalami defisit listrik sebesar 40 persen. “Kekurangan daya listrik bisa teratasi dengan PLTS ini,” katanya.

Kementerian ESDM telah mencanangkan program pembangunan PLTS berkapasitas 5 ribu Megawatt (MW). Menurut rencana, program ini akan diluncurkan dalam ajang Bali Clean Energy Forum, di Bali pada 11-12 Februari 2016.

Meski pengembangan PLTS telah memiliki basis yang cukup kuat dari aspek kebijakan, namun pada tahap implementasi, potensi yang ada belum dimanfaatkan secara optimal. Secara teknologi, industri photovoltaic di Indonesia baru mampu melakukan pada tahap hilir—memroduksi modul surya dan mengintegrasikannya menjadi PLTS, sementara sel suryanya masih impor. Padahal sel surya adalah komponen utama dan yang paling mahal dalam sistem PLTS.

Harga yang masih tinggi menjadi isu penting dalam perkembangan industri sel surya. Berbagai teknologi pembuatan sel surya terus diteliti dan dikembangkan dalam rangka upaya penurunan harga produksi sel surya, agar mampu bersaing dengan sumber energi lain.

Ketua Tim percepatan Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM, William Sabandar, menjelaskan pasokan listrik yang berasal dari energi surya itu akan dibangun selama lima tahun ke depan. Namun, William belum memerinci daerah yang akan menjadi lokasi pembangunan. Adapun biayanya diperkirakan mencapai 7 miliar dollar AS.

William menambahkan, pendanaan itu akan memaksimalkan dana non Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk melibatkan institusi non-perbankan. “Nanti OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan memfasilitasi bagaimana sektor energi bisa dibiayai. Jadi ada kerjasama Kementerian ESDM dan OJK,” ujarnya.

Menteri ESDM Sudirman Said mengungkapkan ambisinya, menjadikan Indonesia sebagai inisiator penggunaan energi bersih di kawasan Asia Tenggara dan dunia. Sektor energi harus dibangun dari tiga pertimbangan: Pertama, aspek legal atau konstitusi. Kedua, mengenai platform pemanfaatan energi (fosil) yang makin lama makin habis. Serta aspek ketiga, mengenai kolaborasi global. “Maka dari itu, kita ingin membuka dialog yang mendorong adanya reform atau aliansi dalam tiga hal tadi,” tutur Sudirman.

Membangun PLTS bukanlah sekadar masalah teknologi, tetapi banyak hal penting yang terkait. Pembentukan BUMN khusus energi baru terbarukan harus didukung kebijakan, pendanaan, teknologi, dan sumber daya manusia, apabila BUMN khusus ini betul-betul dimaksudkan untuk mempercepat pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia.

Sudirman menyebutkan, PLN perlu diwajibkan membeli tenaga listrik dari energi baru terbarukan. Hal itu akan dituangkan dalam peraturan presiden tentang percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Sudirman juga menyatakan perlunya membentuk badan usaha –yang cenderung sebagai anak usaha PLN—yang khudus membeli energi baru terbarukan.

Hal ini mendapat kritik dari Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Fabby berpendapat, badan usaha khusus tersebut harus memiliki kemampuan finansial. “Nantinya badan usaha khusus itu akan berkontrak dengan PLN dalam hal jual-beli tenaga listrik. Ada potensi inefisiensi sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi,” ujarnya.

Sebagai solusi mempercepat pengembangan energi baru terbarukan, pemerintah perlu memperjelas regulasi terkait pembiayaan dan insentif, serta harga jual energi baru terbarukan. “Hal ini sangat penting bagi investor untuk memberi kepastian berinvestasi,” tegas Fabby. ***

Artikel ini ditulis oleh: