Pancasila sebagai Ideologi Negara

Selain sebagai dasar filsafat dan pandangan hidup kebangsaan-kenegaraan, Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi negara; suatu ideologi komprehensif yang mengatasi partikularitas paham perseorangan dan golongan. Dalam pengertian bahwa dalam wilayah privat (keluarga) dan komunitas (etnis, agama, dan golongan masyarakat yang homogen), masing-masing perseorangan dan golongan masih bisa mengembangkan partikularitas ideologinya masing-masing. Namun dalam wilayah publik kenegaraan, segala perseorangan dan golongan itu harus menganut Pancasila sebagai ideologi negara.

Istilah ideologi berasal dari kata ‘idea’ yang berarti ‘gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita dan ilmu. Secara harfiah, ideologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang ide-ide, atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar (Kaelani, 2013: 60-61). Secara umum, ideologi dapat didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan dan paradigma pengetahuan yang menyeluruh dan sistematis yang memberikan landasan interpretasi untuk bertindak (Heywood, 2012: 1214).

Dengan demikian, setiap ideologi idealnya harus mampu memadukan tiga unsur: keyakinan, pengetahuan, tindakan. Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi  tuntunan-tuntunan normatif-preskriptif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin dan teori, yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level operasional dari  keyakinan dan pengetahuan itu dalam realitas konkrit.

Pancasila sebagai keyakinan sesungguhnya telah memiliki landasan normatif dan preskriptif yang jelas dan visioner. Pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dilukiskan sebagai berikut:
Pertama, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan (religiositas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal-transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Dalam kaitan ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang memisahkan “agama” dan “negara” serta berpretensi menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas. Negara menurut alam Pancasila diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama diharapkan bisa memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Pada saat bersamaan, Indonesia bukan “negara agama” yang hanya merepresentasikan salah satu (unsur) agama dan memungkinkan agama mendikte negara. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan multiagama dan multikeyakinan, Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang sama terhadap semua agama/keyakinan, melindungi semua agama/keyakinan, dan harus dapat mengembangkan politiknya sendiri secara independen dari dikte-dikte agama.

Kedua, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas, yang mengarah pada persaudaraan dunia, dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimiliki untuk secara bebas-aktif “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan universal ini adalah “adil” dan “beradab.”

Ketiga, menurut alam pemikiran Pancasila, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan ini, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan dengan ungkapan ”bhinneka tunggal ika.” Di satu sisi, ada wawasan kosmopolitanisme yang berusaha mencari titik-temu dari segala kebhinekaan yang terkristalisasi dalam dasar negara (Pancasila), UUD dan segala turunan perundang-undangannya, negara persatuan, bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada wawasan pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, dan unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya.

Keempat, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka ”musyawarah-mufakat.” Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha (minorokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.

Kelima, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusian, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai mahkluk individu—yang terlembaga dalam pasar—dan peran manusia sebagai makhluk sosial—yang terlembaga dalam negara—juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam suasana kehidupan sosial-perekonomian yang ditandai oleh aneka kesenjangan sosial, kompetisi ekonomi diletakkan dalam kompetisi yang kooperatif (coopetition) berlandaskan asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-masing pelaku ekonomi diberi peran masing-masing yang secara keseluruhan mengembangkan semangat kekelurgaan. Peran individu (pasar) diberdayakan, dengan tetap menempatkan negara dalam posisi penting sebagi penyedia kerangka hukum dan regulasi, fasilitas, rekayasa sosial, serta jaminan sosial.

Dalam perkembangannya, kekokohan keyakinan normatif Pancasila itu belum didukung oleh dimensi pengetahuan dari ideologi. Berbeda dengan anggapan umum yang memandang Pancasila sekadar teori, pada kenyataannya, Pancasila justru belum dikembangkan ke dalam seperangkat teori secara elaboratif dan komprehensif, yang dapat mewarnai konsepsi-konsepsi pengetahuan. Padahal, proses objektivikasi dari Pancasila sebagai keyakinan menjadi Pancasila sebagai ilmu sangat penting, karena ilmu merupakan jembatan antara idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan. Setiap rancangan perundang-undangan selalu didahului oleh naskah akademik. Jika pasokan teoritis atas naskah ini diambil dari teori-teori pengetahuan yang bersumber dari paradigma-ideologis yang lain, besar peluang lahirnya kebijakan perundang-undangan yang tak sejalan dengan imperatif moral Pancasila.

Usaha objektivasi Pancasila ke dalam paradigma pengetahuan sesungguhnya bisa dilakukan dengan meletakkannya ke dalam perspektif teoritis-komparatif. Rasionalitas atas konsepsi Ketuhanan yang berkebudayaan, yang menjadikan negara Indonesia bukanlah negara sekular maupun negara agama, mendapatkan pembenaran teoretik dan komparatifnya dalam teori-teori kontemporer tentang “public religion”. Perspektif kontemporer ini menolak tesis “separation” dan “privatization” dan mendukung tesis “differention”. Dalam teori ini, peran agama dan negara tidak perlu dipisahkan, melainkan dibedakan. Dengan syarat bahwa keduanya saling mengerti batas otoritasnya masing-masing yang disebut dengan istilah “toleransi-kembar” (twin tolerations).

Komitmen bangsa Indonesia dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi menempatkan visi Indonesia dalam perpaduan antara perspektif teori ‘idealisme politik’ (political idealism) dan ‘realisme politik’ (political realism)—yang berorientasi kepentingan nasional—dalam hubungan internasional. Prinsip kebangsaan Indonesia yang dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, dan juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahannya masing-masing menyerupai perspektif ‘etnosimbolis’ (ethnosymbolist). Perspektif ini memadukan antara perspektif ‘modernis” (modernist)—yang menekankan unsur-unsur kebaruan dalam kebangsaan, dengan perspektif ‘primordialis’ (primordialist) dan ‘perenialis’ (perennialist)—yang melihat keberlangsungan unsur-unsur lama dalam kebangsaan.

Gagasan demokrasi permusyawaratan ala Indonesia yang menekankan konsensus dan menyelaraskan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi mendahului gagasan ”demokrasi deliberatif” (deliberative democracy), yang diperkenalkan oleh Joseph M. Bessette pada 1980; juga ada kesejajarannya dengan konsep ”sosial-demokrasi” (sosdem).    Sedangkan gagasan keadilan sosial menurut Pancasila merekonsiliasikan prinsip-prinsip etik dalam keadilan ekonomi baik yang bersumber dari hukum alam, hukum Tuhan, dan sifat-sifat sosial manusia, yang dikonseptualisasikan sejak pemikiran para filosof Yunani, pemikiran-pemikiran keagamaan, teori-teori ekonomi merkantilis, ekonomi liberalisme klasik dan neo-klasik, teori-teori Marxisme-sosialisme, sosial-demokrasi hingga “Jalan Ketiga”. Gagasan keadilan ekonomi menurut sosialisme Pancasila mempunyai kesejajarannya dengan diskursus sosial-demokrasi di Eropa, tetapi juga memiliki akar kesejarahannya dalam tradisi sosialisme-desa dan sosialisme-religius masyarakat Indonesia.

Jika Pancasila sebagai landasan normatif telah begitu kuat, dan Pancasila sebagai kerangka paradigma pengetahuan masih dalam taraf percobaan, dimensi tindakan dari Pancasila masih jauh panggang dari tuntutan keyakinan dan pengetahuan. Pancasila belum banyak diimplementasikan ke dalam level operasional kebijakan dan tindakan penyelenggaraan negara.  Tantangan ini harus segera dijawab dengan cara menumbuhkan kepercayaan diri dan daya juang agar Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, serta menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Pancasila adalah dasar persatuan dan haluan kemajuan-kebahagiaan bangsa. Selama kita belum bisa membumikan nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, selama itu pula bangsa Indonesia tidak akan dapat meraih kemajuan-kebahagiaan yang diharapkan.

Pengakaran (radikalisasi) Pancasila dari keyakinan dan pengetahuan ke praksis tindakan merupakan suatu kemestian, betapapun hal itu merupakan pekerjaan yang sulit di suatu negeri yang dirundung banyak masalah. Namun, dengan semangat gotong-royong yang menjadi nilai inti Pancasila, kesulitan itu bisa ditanggung bersama.
Bersambung…

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual