Pidato Soekarno tentang Pancasila itu sangat heroik, empatik dan sistematik. Dikatakan heroik karena dia berpidato sambil menyerukan kemerdekaan dengan dasar-dasar negara yang diidealisasikannya di tengah-tengah opsir balatentara Jepang bersenjatakan bayonet, “Saya sadar, Saudara-saudara, bahwa ucapan yang hendak saya ucapkan mungkin adalah satu ucapan yang berbahaya bagi diriku, sebab ini adalah zaman perang, kita pada waktu itu di bawah kekuasaan imperialis Jepang, tetapi juga pada waktu itu, Saudara-saudara, aku sadar akan kewajiban seorang pemimpin. Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa menghitung-hitung akan akibatnya”.  Dikatakan empatik, karena Soekarno berusaha menghargai dan melibatkan semua unsur dalam kerangka persetujuan. Dikatakan sistematik, karena dia menguraikan Pancasila secara runtut, logis dan koheren.

Namun demikian, betapapun hebatnya uraian Soekarno tentang dasar negara itu, eksposisinya masih merupakan pandangan pribadi. Untuk diterima sebagai (rancangan) dasar negara, harus disepakati oleh konsensus bersama lewat persetujuan anggota BPUPK. Pada proses untuk mendapatkan konsensus bersama itulah prinsip-prinsip Pancasila dari pidato Soekarno itu mengalami reposisi dan penyempurnaan. Proses ini berlangsung setelah masa persidangan pertama BPUPK berakhir.

Pada akhir masa persidangan pertama, Ketua BPUPK membentuk Panitia Kecil yang bertugas mengumpulkan usul para anggota yang akan dibahas pada masa sidang berikutnya (10-17 Juli 1945). Panitia Kecil beranggotakan delapan orang (Panitia Delapan) ini, terdiri atas 6 orang wakil golongan kebangsaan dan 2 orang wakil golongan Islam, dipimpin oleh Soekarno.  Dalam kapasitas sebagai ketua Panitia Kecil, Soekarno melakukan berbagai inisiatif di luar kerangka formalitas. Dia memanfaatkan masa persidangan Chuo Sangi In  ke VIII (18-21 Juni 1945) di Jakarta untuk mengadakan pertemuan terkait dengan tugas Panitia Kecil.  Selama pertemuan yang dihadiri oleh 38 orang, Panitia Kecil dapat mengumpulkan dan memeriksa usul-usul dari 40 Iin menyangkut beberapa masalah yang dapat digolongkan dalam sembilan kategori:  (1) Indonesia merdeka selekas-selekasnya; (2) Dasar (Negara); (3) Bentuk Negara Uni atau Federasi; (4) Daerah Negara Indonesia: (5) Badan Perwakilan Rakyat: (6) Badan Penasihat; (7) Bentuk Negara dan Kepala Negara; (8) Soal Pembelaan; dan (9) Soal Keuangan.

Di akhir pertemuan tersebut, Soekarno juga mengambil inisiatif informal lainnya, dengan membentuk Panitia Kecil (“tidak resmi”) yang beranggotakan 9 orang, yang kemudian dikenal sebagai “Panitia Sembilan”.  Panitia ini bertugas untuk menyusun rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang di dalamnya termuat Dasar Negara.

Karena penghormatan Soekarno pada golongan Islam, komposisi Panitia Sembilan itu lebih seimbang ketimbang Panitia Delapan (bentukan resmi BPUPK), yakni terdiri dari 5 orang wakil golongan kebangsaan (termasuk Soekarno sebagai penengah) dan 4 orang wakil golongan Islam,  kendati jumlah wakil golongan Islam di BPUPK maupun dalam pertemuan ini kurang dari 25 persen total anggota/peserta pertemuan. Panitia Sembilan ini pun diketuai Soekarno, yang dibentuk sebagai ikhtiar untuk mempertemukan pandangan antara dua golongan tersebut menyangkut dasar kenegaraan. Dengan komposisi relatif seimbang, Panitia itu berhasil merumuskan dan menyetujui rancangan Pembukaan UUD yang kemudian ditandatangani oleh setiap anggota Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. Soekarno menamakan rancangan Pembukaan UUD itu “Mukaddimah”, sedangkan Muhammad Yamin menamakannya “Piagam Jakarta”, dan Sukiman Wirjosandjojo menyebutnya “Gentlemen’s Agreement”.

Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945) mencerminkan usaha kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan. Titik temu kedua golongan tersebut diikat pada alinea ketiga: “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas….” Alinea ini mencerminkan pandangan golongan kebangsaan—yang menitikberatkan kehidupan kebangsaan yang bebas—dan golongan Islam—yang melandaskan perjuangannya atas rahmat Allah.  Menurut Muhammad Yamin, dengan menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa”, Konstitusi Republik Indonesia berlindung kepada Allah, dan dengan itu ”maka syarat agama dipenuhi dan rakyat pun tentu menimbulkan perasaan yang baik terhadap hukum dasar ini”.  Ujung kompromi bermuara pada alinea terakhir yang mengandung rumusan dasar negara berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila. Islam tidak dijadikan dasar negara (dan agama negara). Terjadi perubahan dalam tata urut Pancasila dari susunan yang dikemukakan Soekarno pada 1 Juni 1945. Prinsip ”Ketuhanan” dipindah dari sila terakhir ke sila pertama, ditambah dengan anak kalimat, ”dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (kemudian dikenal dengan istilah ”tujuh kata”). Bagi golongan Islam, penambahan ”tujuh kata” itu dianggap penting sebagai bentuk politik pengakuan. Seperti dinyatakan Prawoto Mangkoesasmito, golongan Islam sepakat dengan semua sila Pancasila, namun menuntut penambahan “tujuh kata” dari sila Ketuhanan karena hal ini penting, bahwa Islam yang selama zaman kolonial terus dipinggirkan akan mendapat tempat yang layak dalam negara Indonesia merdeka.

Selain itu, prinsip ”internasionalisme atau peri-kemanusiaan” tetap diletakkan pada sila kedua, namun redaksinya mengalami penyempurnaan menjadi ”Kemanusian yang adil dan beradab”. Prinsip ”Kebangsaan Indonesia” berubah posisi dari sila pertama menjadi sila ketiga. Bunyinya menjadi ”Persatuan Indonesia”. Prinsip ”Mufakat atau demokrasi” berubah posisi dari sila ketiga menjadi sila keempat. Bunyinya menjadi ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Prinsip ”Kesejahteraan sosial” berubah posisi dari sila keempat menjadi sila kelima dengan bunyi ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Menurut Mohammad Hatta, dengan perubahan posisi prinsip Ketuhanan dari posisi pengunci ke posisi pembuka, ”Ideologi negara tidak berubah karenanya, melainkan negara dengan ini memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat.” Dengan demikian, fundamen moral menjadi landasan dari fundamen politik (dari sila kedua sampai dengan kelima).  Lepas dari itu, penyempurnaan redaksi sila-sila tersebut juga memberikan kualifikasi yang penting tentang bagaimana sifat dan orientasi ideal yang terkandung dari sila-sila tersebut. Pada sila kedua, prinsip internasionalisme (peri-kemanusiaan) itu harus bersifat adil dan beradab. Pada sila ketiga, prinsip kebangsaan itu harus bersifat mempersatukan. Pada sila keempat, prinsip demokrasi itu harus bersifat kerakyatan dan permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Pada sila kelima, prinsip kesejahteraan itu harus bersifat adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hasil rumusan Piagam Jakarta dan berbagai usulan yang berhasil dihimpun selama reses itu kemudian dilaporkan dan didiskusikan pada masa persidangan kedua BPUPK (10-17 Juli 1945). Ketika melaporkan hasil-hasil yang telah dilakukan Panitia Kecil (resmi) pada 10 Juli 1945, Soekarno menyadari bahwa kegiatan pertemuan dan rumusan-rumusan yang dihasilkannya itu melanggar formalitas, bukan saja tempat dan mekanismenya yang tidak resmi, tetapi juga melampaui kewenangannya.  Dalam bahasa Soekarno, ”Semua anggota Panitia Kecil sadar sama sekali bahwa jalannya pekerjaan yang kami usulkan itu sebenarnya ada yang menyimpang daripada formaliteit, menyimpang daripada aturan formeel yang telah diputuskan, telah ditentukan. Tetapi anggota Panitia Kecil berkata: Apakah arti formaliteit di dalam zaman gegap gempita ini. Apakah arti formaliteit terhadap desakan sejarah sekarang ini.” Hasil rumusan Panitia Kecil tersebut direspons Latuharhary yang menyatakan keberatan atas pencantuman ”tujuh kata” pada 11 Juli 1945, ”Akibatnya akan sangat besar sekali, umpamanya terhadap pada agama lain. Maka dari itu saya harap supaya dalam hukum dasar, meskipun ini berlaku buat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam. Saya usulkan supaya dalam hukum dasar diadakan pasal 1 yang terang supaya tidak ada kemungkinan apapun juga yang dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan yang bersangkutan.”

Tanggapan Latuharhary merangsang perdebatan pro dan kontra menyangkut ”tujuh-kata” beserta pasal-pasal ikutannya, seperti ”agama negara” dan syarat agama seorang Presiden. Pada 11 Juli 1945, Soekarno berkata, ”Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam.” Pada 16 Juli 1945, dengan berlinang air mata Soekarno menghimbau agar mereka yang tidak setuju dengan hasil rumusan Panitia bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya demi persatuan Indonesia. Dengan demikian, hasil rumusan Piagam Jakarta (dengan ”tujuh kata”-nya) itu bertahan hingga akhir masa persidangan kedua (17 Juli 1945).  Di luar persoalan ”tujuh kata”,  seluruh anggota BPUPK dapat menerima dan menyepakati pokok-pokok pikiran dalam rancangan Pembukaan UUD 1945 itu pada 11 Juli. Semangat gotong-royong (kekeluargaan) sebagai sifat dasar manusia Indonesia yang disebutkan Soekarno  juga terefleksi dalam proses perumusan hukum dasar (batang tubuh UUD).
Bersambung…

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual