Yogyakarta, Aktual.com-Restorasi gambut merupakan prioritas dalam agenda lingkungan hidup Presiden Joko Widodo, terutama terdorong tekad mencegah kembali kebakaran dan kabut asap yang menyelimuti kawasan selama tahun-tahun cuaca kering, seperti bencana kebakaran 2015 yang merugikan Indonesia hingga USD 16,1 miliar. Pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) pada Januari 2016 disambut sebagai langkah penting mengatasi bencana kebakaran hutan dan lahan. Namun, restorasi terbukti merupakan tugas rumit, terutama mengingat BRG dimandatkan sanggup merestorasi lebih dari 2 juta hektar lahan gambut yang rusak pada 2020.

Komitmen pendanaan restorasi saat ini jauh dari jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai target yang demikian ambisius. Menurut Kindy Syahrir, Wakil Direktur Pendanaan Lingkungan Hidup dan Kebijakan Internasional Kementerian Keuangan, pihaknya telah menjalankan strategi optimalisasi alokasi anggaran, seperti anggaran subsidi pupuk. Kindy menegaskan diperlukan tiga pra-kondisi untuk memobilisasi pendanaan, dengan kesepakatan dengan seluruh pemangku kepentingan. Pertama, reformasi agraria pada tingkat bentang alam. Kedua, metodologi penghitungan pengurangan emisi karbon dari penggunaan lahan. Ketiga, sistem Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi (MRV).

Pemerintah Indonesia tengah membentuk Badan Layanan Umum (BLU) sebagai mekanisme penyaluran dana termasuk bantuan dengan skema pembayaran berdasarkan hasil (results-based payments). Bila BLU telah aktif, Indonesia bisa mengalokasi dana hingga USD 2,8 miliar per tahun dari hibah internasional untuk adaptasi perubahan iklim. Sebuah RUU juga tengah dipersiapkan untuk mendukung mekanisme tersebut, yakni pembayaran untuk jasa ekosistem dan instrumen fiskal yang memungkinkan transfer antar wilayah sebagai insentif restorasi gambut.

Bagi sektor swasta, ketiga pra-kondisi tersebut harus dapat menjadi insentif pendorong pelaku usaha. Keputusan perusahaan untuk berinvestasi dalam sebuah proyek sedikit banyak didasari tempo pengembalian, waktu dan tingkat risiko. Mengacu pada pengalamannya yang luas bekerjasama dengan komunitas lokal dan petani kecil, Managing Director for Sustainability and Strategic Stakeholder Engagement, Golden Agri-Resources, Agus Purnomo, menyimpulkan dunia usaha masih menganggap investasi seperti ini berisiko.

Perspektif dunia usaha tersebut membawa kita kembali pada desakan perlunya kerangka hukum yang menunjang. Sebagaimana diungkapkan Ernest Bethe, Principal Operations Officer IFC, bahwa kerangka yang kini ada sangat menyulitkan lembaga keuangan untuk mendukung aktivitas petani independen. Mereka adalah kelompok yang paling pesat tumbuh dalam pengembangan sektor kelapa sawit Indonesia. Namun, petani independen kesulitan mendapatkan akses atas sumber pendanaan yang dapat diandalkan. Melalui reformasi kebijakan dan perangkat hukum, bank-bank nasional mendapat lebih banyak kesempatan untuk mendukung aktivitas petani kecil. Kondisi ini dapat menjembatani kesenjangan antara apa yang dapat ditawarkan bank dalam bentuk produk maupun masukan, dengan apa yang sesungguhnya dibutuhkan petani kecil, terutama mengingat minimnya hak atas penggunaan tanah dan tingginya tingkat bunga bank saat ini.

Setiap pemangku kepentingan menghadapi tantangan berbeda. Erwin Widodo selaku Koordinator Regional Tropical Forest Alliance 2020, menggambarkan Indonesia sebagai negeri yang terbagi menjadi tiga kelompok warga negara, yakni pemerintah, sektor swasta dan masyarakat madani. Di saat masing-masing kelompok merasa berhak menentukan bagaimana lahan gambut seharusnya dikelola, Erwin menekankan betapa gentingnya jalur komunikasi guna menyelaraskan persepsi dan prioritas.

Demi terus mendorong majunya agenda restorasi gambut sejumlah isu utama harus disepakati. Pertama, memperbaiki data spasial. Kedua, metodologi standar nasional. Ketiga, sinkronisasi dukungan pemerintah pada setiap tingkatan (nasional, provinsi dan lokal). Keempat, kepastian akan sumber pendanaan, termasuk mekanisme penyaluran dana.

Terlepas dari kompleksitas tersebut, termasuk mencocokkan pendanaan dengan proyek, minat pendanaan dari sumber-sumber internasional tetap ada. Climate Change Counsellor Kedubes Norwegia, Christoffer Gronstad, mengungkapkan bahwa negara donor seperti Norwegia menilai pendekatan bentang alam dan yurisdiksi dalam restorasi gambut sangat bermanfaat. Meski sebagian pihak menilai REDD atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation telah mati, Norwegia termotivasi dengan kemajuan yang dicapai Indonesia sejauh ini, sehingga akan terus memberi dukungan.

Kesepakatan dalam mengembangkan jalinan permitraan yang kuat antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat madani merupakan fondasi untuk mencapai sasaran restorasi gambut di Indonesia. Fondasi ini akan berujung pada artikulasi prioritas yang lebih tajam, menciptakan kondisi kondusif guna menggalang seluruh potensi sumber pendanaan, dan menjamin dukungan internasional atas manajemen gambut berkesinambungan yang dipimpin pemerintah dengan hasil berdampak tinggi pada tingkat bentang alam.

 

Oleh: Ann Jeannette Glauber
World Bank Lead Environmental Specialist for Indonesia

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs