Bicara soal lingkungan hidup mungkin tidak semenarik bicara soal politik. Apalagi politik nasional sedang hangat-hangatnya akhir-akhir ini. Namun, bicara soal lingkungan hidup adalah bicara tentang masa depan umat manusia, dan Indonesia berpartisipasi dalam kelangsungan hidup umat manusia tersebut.

Ratifikasi Perjanjian Paris oleh Pemerintah Indonesia, pada Oktober 2016, adalah kabar baik. Ini memberikan harapan dan sinyal bahwa pemerintah siap untuk mengambil langkah-langkah yang berarti dan mengikat, untuk melindungi Indonesia dari dampak buruk perubahan iklim, termasuk menyebabkan kematian dini di seluruh Asia Tenggara.

Emisi gas rumah kaca dari perusakan hutan terus meningkat. Pengeringan dan kebakaran lahan gambut berkontribusi sangat besar terhadap total emisi nasional. Maka, sekarang adalah waktunya bagi Indonesia untuk memenuhi komitmen yang telah dibuat pada Deklarasi hutan di New York 2014, untuk mengakhiri deforestasi dan melindungi lahan gambut secara total.

Menurut Greenpeace Indonesia dalam siaran persnya, transparansi adalah kunci untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi hijau dan penurunan emisi yang telah ditetapkan pemerintah. Ini artinya kredibilitas proses bergantung pada bagaimana semua stakeholder memiliki akses terhadap kebijakan dan data, yang memungkinkan pemantauan independen dan verifikasi terhadap klaim pemerintah. Sayangnya, nilai-nilai tersebut belum tercermin di seluruh level pemerintahan Joko Widodo.

Hal yang paling penting adalah apa yang akan dilakukan setelah ratifikasi. Implementasi penurunan emisi yang telah dijanjikan haruslah secara sinergi diadopsi oleh semua sektor. Juga, bagaimana konsep pembangunan Indonesia beralih menuju penerapan ekonomi rendah karbon.

Sektor energi, khususnya batubara, memainkan peran strategis dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Pada 2008, pembakaran batubara ditaksir menyumbang 50 persen dari emisi SO2 dari sektor energi. Sisanya, 30 persen emisi PM10 dan 28 persen emisi NOx. Dan pembakaran batubara berpotensi meningkatkan risiko penyakit serius, seperti kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, penyakit pernafasan kronis, dan infeksi pernafasan akut.

Perhitungan Greenpeace, yang memasukkan biaya kesehatan dan biaya pemanasan global ke dalam biaya pembangkitan listrik dari batubara di Indonesia, menunjukkan bahwa biaya pemanasan global terhitung 11% dari total biaya. Biaya tersebut hanya sedikit lebih rendah dibandingkan biaya modal dan biaya bahan bakar, yang menyumbang 12% dan 15%, dan lebih tinggi dari biaya operasi dan pemeliharaan (7%).

Maraknya pembangunan pembangkit batubara bertentangan dengan janji pemerintah untuk mengurangi emisi di sektor energi. Jika kita merujuk pada draft NDC (Nationally Determined Contribution) Agustus 2016 yang telah disusun Pemerintah Indonesia, sektor energi diharapkan menyumbang 15,87 persen penurunan emisi di bawah skenario penurunan emisi 29 persen, dan 18,76 persen di bawah skenario penurunan emisi 41 persen.

Namun faktanya, konsumsi energi Indonesia masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil, khususnya batubara sebagai sumber utama pembangkitan listrik. Dalam rencana besar elektrifikasi nusantara, pemerintah akan membangun tambahan 35 gigawatt (GW) pembangkit listrik baru hingga 2019, di mana sebanyak 22 GW berasal dari PLTU batubara. Pemenuhan sumber kelistrikan Indonesia yang masih akan didominasi oleh batubara dapat dilihat pada Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025.

Dengan tidak ada pengurangan porsi batubara dalam RUPTL, Greenpeace mengkalkulasi,  dengan asumsi setiap 1.000 MW PLTU batubara mengeluarkan 6 juta ton karbondioksida per tahun, maka perkiraan jumlah karbondioksida dari pembangkit batubara di seluruh Indonesia pada 2025 akan mencapai 332 juta ton per tahun, yang setara dengan emisi karbondioksida tahunan dari 69,7 juta kendaraan. Dengan kata lain, proyek-proyek pembangkit listrik batubara baru diproyeksi bisa menyumbang hampir 192 juta ton karbondioksida per tahun.

Sedangkan untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius, kita harus mencapai nol karbon pada 2060-2080. Artinya, pemerintah harus mengambil langkah progresif untuk mengakhiri era batubara dan beralih pada energi bersih.

Upaya pemerintah untuk menggunakan Clean Coal Technology (CCT) ataupun Carbon Capture Storage (CCS) guna menurunkan emisi tidak akan menyelesaikan masalah. Penggunaan teknologi Ultra Super Critical, yang direncanakan pada PLTU-PLTU baru (termasuk dalam kategori Clean Coal Technology), tetap akan mengeluarkan 5,4 juta ton karbondioksida per tahun untuk per 1000 MW pembangkit batubara.

USC hanya akan mengurangi emisi sebesar 10-15% apabila dibandingkan dengan teknologi sub critical. Sedangkan teknologi CCS sampai detik ini belum terbukti dapat digunakan secara komersial oleh pembangkit manapun di seluruh dunia.

Sementara itu, peralihan bahan bakar fosil menuju energi terbarukan masih terlalu lambat. Bahkan target moderat bauran energi yaitu penggunaan setidaknya 23% energi dari sumber baru dan terbarukan pada 2025 tampaknya tidak akan tercapai dengan praktik saat ini.

Kurangnya kemauan politik dari pemerintah Indonesia, tercermin dari kurangnya insentif dan bantuan untuk pengembangan teknologi energi terbarukan. Kedua hal ini adalah akar dari kegagalan untuk melakukan peralihan cepat dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan.

Oleh sebab itu, untuk memenuhi janjinya, pemerintah harus mengubah strategi dan kebijakan energinya dengan mengambil langkah-langkah berikut:

Pertama, menghentikan rencana proyek-proyek PLTU batubara yang baru. Hal ini harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang konkret, di antaranya dengan memastikan kebijakan ini diadopsi dalam revisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2014-2019), serta dengan merevisi RUPTL 2016-2025.

Kedua, mempersiapkan berakhirnya peran PLTU batubara dan memperbaiki pengawasan PLTU yang ada. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral harus menyiapkan peta jalan menuju 2030 dengan target interim yang jelas, yaitu mempromosikan peralihan cepat dari energi batubara menuju energi terbarukan. Juga diperlukan pemantauan yang transparan terhadap emisi dari PLTU batubara yang beroperasi saat ini, dan memperkuat penegakan hukum serta penerapan sanksi bila terdapat ketidakpatuhan.

Ketiga, menetapkan target yang lebih ambisius untuk memperbesar pangsa energi terbarukan dalam bauran energi nasional untuk mengganti energi batubara pada 2030. Agar hal ini efektif dijalankan, pemerintah harus: (1) menyediakan insentif yang pantas untuk pengembangan energi terbarukan; (2) mendukung pengembangan teknologi yang terkait dengan energi terbarukan; (3) fokus pada sumber energi terbarukan yang melimpah-ruah di Indonesia seperti panas bumi, tenaga air dan angin. ***

Jakarta, November 2016

Artikel ini ditulis oleh: