Jakarta, Aktual.com — Ketika saat ini bangsa kita sedang kehilangan jatidiri dan gagal meneropong sifat, kodrat dan sejarah kebesaran para leluhurnya di masa silam, membaca ulang beberapa fragmen sejarah hidup Datu Ibrahim Tan Malaka, telah menyadarkan kita betapa banyak orang-orang yang mendambakan perubahan, bahkan perubahan yang revolusioner namun sayangnya tanpa tuntunan dari Para Ahli Revolusi dan Ilmu Revolusi.

Untuk kali ke sekian, saya baca ulang semi otobiografi atau mungkin lebih tepatnya memoar dari Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara.

Saat pertama kali baca, masih SMA. Kali kedua, waktu masih giat-giatnya jadi mahasiswa. Membaca dari penjara ke penjara dalam usia setengah baya sekarang ini, ada terang baru dari sosok ini yang mencuat dari buku yang pernah kubca puluhan tahun lalu itu.

Meski putra Minang sempat tercatat sebagai kader Komintern dan terseret dalam pusaran pertarungan di Sarikat Rakyat dan pernah satu haluan dengan Semaun, Darsono dan mas Marko Dikromo yang kelak merupakan kader-kader tulen Partai Komunis Indonesia(PKI).
Namun membaca beberapa penuturannya di bagian pertama bukunya, sebenarnya kalau kita jeli, sudah kelihatan bahwa rasanya tak masuk akal mencap dia sebagai kader tulen komunis.

Ketika mengulas soal filosofi pendidikan saja misalnya, cara dia menggambarkan hubungan batin guru dan murid yang menurutnya kadang lebih kuat ikatan batinnya daripada hubungan orang tua dan anak. Sungguh menarik.

Menurut pandangannya, hubungan anak dan orang tua, bisa jadi hanya sebatas jasmani saja. Namun hubungan murid dan guru, ikatan batiniahnya kuat. Bukan saja kecerdasan si murid, namun kemauan dan hasrat sejatinya juga bisa dikembangkan oleh si guru. Satu hal yang belum tentu akan dilakukan orang tua pada anaknya. “Gurulah yang menyuburkan rohani, semangat pengetahuan, perasaan dan sering juga kemauan,” begitu tutur Tan Malaka.

Guru sejati, tulis pria yang punya nama samara Ilyas Hussein itu, tak akan memandang warna kulit atau bentuk muka guru yang memberikan apa yang diinginkan, yaitu pengetahuan. Guru sejati juga tidak akan memandang warna kulit muridnya, yang ikhlas dan sanggup menerima pelajarannya adalah sederajat di hati sanubarinya dengan anak kandungnya. Guru sejati ingin menurunkan pengetahuannya, seperti murid yang sejati yang juga harus menerima pengetahuan.

Nah, uraian dan pandangan seperti ini, rasanya tidak mungkin keluar dari benak dan pemikiran seorang kader tulen komunis yang umumnya mendewakan materialisme dan menafikan kekuatan spiritual sebagai sarana sebab-akibat terjadinya peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian sejarah.

Sewaktu Tan berada di Rusia pada 1922, ketika mewakili PKI dalam pertemuan internasional para kader-kader komunis sedunia di Moskow, dia sempat bikin ulasan menarik soal Revolusi. Buat dirinya, dalam revolusi, yang penting itu bukan orang orang revolusioner, melainkan pentingnya Para Ahli Revolusi yang Revolusioner.

Menurut putra kelahiran Suliki, Sumatera Barat pada 1897 tersebut, success story revolusi Rusia 1917 yang dimotori oleh Vladimir Ulyanov Lenin, karena keberhasilannya mengenali sifat dan kodrat nya suatu golongan revolusioner dalam menumbangkan feodalisme dan kapitalisme satu demi satu, atau bahkan sekaligus. Intinya, berhasil menumbangkan yang lama dan membangun yang baru.

Di sinilah Tan Malaka kemudian terinspirasi untuk membuat tesisnya sendiri tentang revolusi. Bahwa untuk menstimulasi atau mendorong terciptanya suasana revolusi untuk mengubah suatu tatanan yang sudah lapuk dan rapuh, yang lebih dibutuhkan adalah munculya Para Ahli Revolusi yang Revolusioner, bukan sekaran orang-orang revolusioner.

Datuk Ibrahim Tan Malaka menulis: “Seperti pekerjaan para ahli, yang pertama mengumpulkan dan menyelidiki semua bukti yang berhubungan maka hendaknya seorang ahli revolusi terlebih dahulu mengumpulkan semua bukti sosial yang akan diperiksa sifat dan tujuannya masing-masing (kodrat) serta melakukan koordinasi untuk mengerahkan kekuatan terhadap golongan yang disingkirkan(kaum feudal dan borjuis) dengan cara dialektika-materialistis disertai dengan pengetahuan dan naluri tentang jiwa murba bergerak.”

Bagi Tan ini penting, karena situasi India(Hindustan), Indonesia, RRC maupun Indonesia, berbeda sifat dan sejarahnya. Sehingga kesimpulan yang akan diperoleh para ahli revolusi di Indonesia ataupun India tentu saja akan berbeda-beda. Yang menyamakan di antara para ahli revolusi ketiga negara tersebut adalah cara berpikirnya yang bertumpu pada dialektika-materialistis dan semangat memeriksa, siapa-siapa saja yang punya kodrat dan sifat sebagai golongan revolusioner.

Para ahli revolusi yang revolusioner harus mengetahui akan gerak jiwanya komponen-komponen strategis masyarakat yang termasuk dalam golongan revolusioner sekaligus mengenali sifat, hasrat dan sejarah sosial masing-masing komponen strategis masyarakat tersebut. Dengan kata lain, bagi Tan, Marxisme bukanlah kajian hafalan(dogma) melainkan satu penunjuk untuk aksi revolusioner. Berarti, Marxisme merupakan sebuah gagasan hidup yang menginspirasi gerakan perubahan. “Semua bukti revolusi Indonesia dan kesimpulan yang menentukan strateginya harus dipertimbangkan satu-persatu menurut nilainya masing-masing, begitulah kesimpulan yang ditarik Tan ketika berkontemplasi tentang keberhasilan revolusi Oktober 1917 di Rusia.

Singkat cerita, Para Ahli Revolusi yang Revolusioner dalam benak Tan, selain harus bergaul secara intensif dengan rakyat, juga harus mampu menyelami jiwanya rakyat yang sedang bergelora. Dengan begitu, para ahli revolusi yang revolusioner harus mempelajari kondisi masyarakatnya baik: iklim, peraturan ekonomi, sosial-politik yang berlaku saat itu, sejarah, sistem teknologi yang lazim digunakan masyarakatnya. Bahkan juga kecerdasan, perangai, perasaan, pandangan hidup serta organisasi anggota masyarakatnya. Dan di atas itu semua, para ahli revolusi yang revolusioner, seharusnya juga seperti lazimnya para ahli di bidang apapun, mempunyai mata terbuka terhadap persoalan revolusi di negara-negara lain. Para ahli revolusi harus menyadari bahwa ada faktor-faktor lain yang belum diketahui di masing-masing negara. Sehingga revolusi yang akan dilancarkan di suatu negara, pastinya punya kekhususan dan kekhasan tersendiri.

Seusai membaca ulang Tan Malaka, sontak semakin meyakinkan pandangan dan pemikiran yang saya kembangkan beberapa waktu belakangan ini, betapa untuk membangun suatu ketahanan nasional yang kokoh atas dasar ideologi, politik-ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan, maka gerakan sadar geopolitik ke segenap lapisan masyarakat, menjadi mutlak adanya.

Tan Malaka, melalui memoarnya Dari Penjara ke Penjara, telah memberi terang baru sebagai suluh untuk masa depan Indonesia.

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit