Jakarta, Aktual.co — Buku Karya Dr Sam Ratulangi yang diterbitkan pada Juni 1937—dialihbahasakan oleh Prof. Poeradisastra dan diterbitkan kembali dengan judul Indonesia di Pasifik. Analisa Masalah-Masalah Pokok Asia Pasifik (1982)— Menarik untuk dikupas kembali. Mari kita kutip paragraf pembuka berikut:

“Pada saat ini diketahui oleh hampir setiap orang, bahwa di Pasifik telah terbentuk sebuah kawasan politik tersendiri. Kawasan itu mengesampingkan, malah melebihi arti dunia lama Samudra Atlantik. …”

Menurut Ratulangi, semua itu didahului oleh suatu proses pertumbuhan kekuasaan yang kuat pengaruhnya yakni perubahan nisbah modal internasional akibat PD I. Perubahan inilah yang telah menggeser kawasan Pasifik pada rencana pertama. Sebelum PD I, Samudra Atlantik dianggap lautan dunia yang dipersengketakan bagi hegemoni ketatanegaraan dan ekonomi.

PD I telah mengakibatkan perpindahan modal secara hebat. Amerika dan Jepang bukan lagi negara yang untuk keperluan uang di bidang pemerintahan maupun swasta harus mendatangi pasar uang Eropa.

Selama dan karena PD I, keduanya telah menjadi negara kreditur berkat perkembangan industrinya. Inilah (sekarang) Kawasan Pasifik.

Landasan kawasan ini adalah New York – Tokyo yang dihubungkan ke Nanking dan Kanton, dan meliputi seluruh Lautan Teduh yang sama sekali tak teduh-tenang lagi. Tetapi lautan ini senantiasa membuncah gemuruh karena datang dan perginya kapal-kapal niaga semua bangsa (negara) maritim, dan latihan perang armada AL Amerika, Inggris, Jepang, dan Perancis yang simpang-siur mengitari sudut barat-daya Pasifik.

Sam Ratulangi membagi kekuasaan di Asia Pasifik ke dalam empat perserangkaian: barat, timur, utara, dan selatan yang memiliki kepentingan-kepentingan di dunia.

Dari selatan berdesakan tiga kepentingan masuk ke Pasifik: kepentingan Inggris, Perancis, dan Belanda. Gerbang masuk secara geografis adalah Indonesia, secara nonfisik adalah sistem kolonial. Perserangkaian Timur terbentuk oleh kepentingan Amerika. Kepentingan modal Amerika ditanam di Asia Timur.

Di pihak lain, penetrasi Asia—oleh orang-orang Jepang dan Tiongkok—menjadi masalah yang penting bagi Amerika Utara dan Selatan. Perserangkaian Barat mencakup Jepang, Tiongkok, Siam, Mancukuo, dan kelak Filipina; di mana Jepang menjadi pemegang peranan. Perserangkaian ini sekaligus merupakan obyek dan subyek, terlibat secara aktif dan pasif dalam masalah Pasifik. Berpaling ke perserangkaian sebelah utara, Tsar Rusia menghendaki sebuah pelabuhan yang bebas es di Lautan Teduh dan mendesak ke selatan.

Pasifik telah menciptakan sebuah kawasan ekonomi-politik tersendiri, dengan masalahnya sendiri, yang basis dasarnya adalah Amerika dan Jepang. Bagi Asia Pasifik secara keseluruhan dapatlah disusun bagan bahwa utara bersifat industri dan secara internasional aktif, selatan bersifat pertanian dan secara internasional pasif.

Arti Indonesia bagi Pasifik dan bagi ekonomi dunia pada umumnya mengandung tiga hal yang bersifat pasif.
Pertama, sebagai negeri konsumen.
Kedua, negeri sumber bahan mentah. Ketiga, sebagai negeri tempat penanaman modal. Negeri ini mempunyai ciri yang khas:
(a) secara geografis ekonomi karena letaknya di tengah-tengah kawasan konsumsi dan produksi yang berarti bagi ekonomi dunia, Indonesia menduduki suatu posisi penentu di dalam lalu lintas ekonomi dunia;
(b) secara geo-ekonomi karena tanahnya yang mengandung kekayaan bahan-bahan mentah mineral serta permukaan tanahnya yang dapat menghasilkan bahan-bahan mentah pertanian untuk ekonomi dunia;
(c) secara ekonomi sosial oleh karena penduduknya yang giat bekerja sekalipun dengan suatu tingkat hidup yang rendah; massa yang enam puluh juta jiwa merupakan kelompok konsumen hasil industri yang setiap tahunnya beratus-ratus juta gulden;
(d) secara iklim yakni suatu iklim tropis yang lunak dengan musim yang teratur; (e) secara keuangan dengan tiadanya modal nasional dalam negeri serta suatu kehampaan industri. Semua itu menarik perhatian dan kegiatan modal luar negeri. Akan tetapi di atas segala-galanya, negeri dan rakyatnya merupakan unsur pasif di dalam perhatian dan kegiatan internasional.

Analisis Ratulangi yang begitu tajam dan tembus pandang ke masa depan terkait dengan kedudukan strategis Indonesia di tengah-tengah lalu-lintas wilayah Asia Pasifik, hebatnya justru ditulis sewaktu dalam masa tahanan di Penjara Sukamiskin, Bandung, pada 1936.

Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau yang lebih dikenal dengan Sam Ratulangi, lahir pada 5 November 1890 di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Ratulangi boleh dibilang merupakan orang Indonesia pertama, atau bahkan satu-satunya, yang berhasil memperoleh gelar Doktor dala bidang Ilmu Pasti dan Alam (Doktor der Natur Philosphie) dari Universitas Zurich, Swiss. Universitas ini merupakan perguruan tinggi ternama yang menghasilkan para maestro dunia seperti Albert Einstein, Max Plank, dan suami isteri Curie.

Menariknya, Ratulangi belakangan justru lebih kesengsem di dunia jurnalistik, ketimbang menekuni dunia keilmuan sebagai dosen Ilmu Pasti dan Alam sesuai bidang studi yang ditempuhnya. Jurnalisme nampanya memang passion-nya yang sesungguhnya. Pada 1934, ia menerbitkan mingguan berbahasa Indonesia, Peninjauan, bersama Dr Amir, seorang psikolog kenamaan, dan PF Dahler, Indonesianis peranakan Belanda.

Melalui media mingguan ini, Ratulangi secara gencar menyerang kebijakan kolonial, khususnya ketidakadilan yang dialami para buruh Indonesia (pribumi). Sehingga dipandang oleh pemerintah Belanda sebagai ancaman terhadap kemapanan kolonial di bumi nusantara.

Sehingga melalui akal bulus Belanda, Ratulangi dikriminalisasi atas dasar tuduhan terlibat skandal keuangan ketika menjadi anggota Volkrad, sehingga ia divonis 4 bulan penjara. Ratulangi menjadi anggota Volkrad (Dewan Rakyat) bikinan Belanda sejak 1927. Namun rupanya Belanda “salah milih orang.” Karena Ratulangi selalu menyerang sepak-terjang Belanda sebagai penjajah.

Malah satu ketika Ratulangi sempat berujar “Nasib rakyat Indonesia bukan lagi seperti seekor domba yang dicukur bulunya, tapi sudah ibarat seekor ayam yang dikelupas bulunya. Dengan pengertian, domba yang sudah dicukur bulunya masih bisa hidup karena bulunya itu akan tumbuh kembali. Tapi kalau ayam yang dikelupaskan kulitnya, hanya tinggal menunggu matinya saja.”

Ungkapan yang menghujam pusat urat syaraf pemerintahan kolonial Belanda itu tentunya bikin panik Belanda. Apalagi ketika pada 1938, Ratulangi merintis dan mengelola suratkabarnya sendiri yang berbahasa Belanda, Nationale Commentaren. Antara periode 1938-1942, Nationale Commentaren merupakan majalah paling terkemuka sebagai bacaan kaum intelektual bumiputera.

Bahkan dari kalangan pemerintahan kolonial pun tak segan berlangganan. Para penulis yang mendukung penerbitan berkala ini memang para intelektual punya reputasi untuk menggayang mesin kolonialis Belanda seperti Bung Hatta, Mohammad Yamin, Wiwoho Purbohadijoyo, Dr Philip Laoh, Dr Suratno, Muhammad Husni Thamrin, dan Sutarjo Kartohadikusumo.

Jika kita menelisik kembali buku Ratulangi tentang Asia Pasifik di atas, memang tak lepas dari perhatian besar Ratulangi dalam mengupas perkembangan dunia internasional. Maka melalui rubrik internasional di Nationale Commentaren, berbagai isu internasional dibahas dan dikupas dari kacamata bumipetera. Dan Ratulangi, tak pelak lagi, merupakan pemrakarsa ide tersebut.

Inilah yang mengilhami saya dan beberapa kawan di Global Future Institue, merintis dan mengelola the Global Review Quarterly maupun yang dalam bentuk website.

Pada kenyataannya kini, Asia Pasifik memang sudah menjadi sasaran “medan perang” dua kekuatan adidaya; AS versus Cina. Sementara pada saat yang sama, Rusia sejak KTT APEC 2012 lalu, telah mengintegrasikan wilayah Siberia sebagai Pintu gerbang jalur Rusia Timur menuju Asia Pasifik, sebagai tindak lanjut dari doktrin politik luar negeri Rusia untuk fokus ke kawasan Asia Pasifik.

Maka, tema sentral Ratulangi, Kedudukan Indonesia di tengah-tengah lalu lintas Asia Pasifik, jadi relevan kembali untuk kita kaji bersama. Celakanya, rubrik intenasional di era pasca reformasi saat ini, tidak lagi mendapat apresiasi yang tinggi seperti ketika Ratulangi mewarnai majalah Peninjauan dan Nationale Commentaren.

Oleh: Hendrajit, Redaktur Senior Aktual