Ketegangan militer di Semenanjung Korea semakin memnas. Pada minggu (23/04),  dua  kapal perang perusak Jepang melakukan pelatihan bersama armada kapal induk CVN-70 Carl Vinson milik Amerika Serikat di Pasifik barat di dekat Semenanjung Korea. Demikian keterangan pihak Angkatan Laut Jepang.

Dua kapal perusak tersebut, “DD-106 Samidare” dan “DDG-78 Ashigara”, meninggalkan perairan barat Jepang pada Jumat untuk bergabung dengan “Carl Vinson” sebagai unjun kesetiakawan terhadap pasukan Amerika Serikat yang sedang bersiaga menghadapi peluncuran uji coba persenjataan nuklir oleh Korea Utara.

 

Kenyataan bahwa Angkatan Laut Jepang melakukan latihan bersama dengan pihak AS dengan mengikutsertakan kapal Induk USS Carl Vinson, mengindikasikan bahwa manuver AS dan Jepang di Semenanjung Korea memang tidak main-main.

 

Selain ada perkembangan menarik  bersamaan dengan latihan bersama AS-Jepang tersebut. Militer Jepang memerintahkan kedua kapal perang untuk menemani Carl Vinson menuju Utara minimal hingga Laut Cina Selatan, demikian menurut sebuah sumber yang juga dikutip oleh kantor berita Antara.

 

Di atas permukaan, memang manuver AS-Jepang ini semata ditujukan sebagai bagian dari ketegangan militer antara AS versus Korea Utara, menyusul sejumlah uji coba rudal balistik yang dilakukan Korea Utara beberapa bulan terakhir. Sehingga Presiden AS Donald Trump melontarkan ancaman akan melakukan aksi sepihak kepada Korut, yang berarti meriskir kemungkinan benturan militer langsung antara AS versus Angkatan Bersenjata Cina di Semenanjung Korea.

 

Namun pada sisi lain, latihan militer bersama AS dan Jepang bisa juga dibaca sebagai sebentuk kekhawatiran Jepang menghadapi ancaman Angkatan Bersenjata Cina yang semakin agresif di kawasan Asia Pasifik beberapa tahun terakhir ini.

 

Salah satunya yang jadi pangkal sengketa Jepang versus Cina adalah sengketa Kepulauan Senkaku(sebutan Jepang) dan Diayou (sebutan Cina), yang mana beberapa tahun belakangan ini telah ikut pula memanaskan situasi di Laut Cina Selatan. Sampai sejauh ini, masih belum ada tanda-tanda penyelesaian, sehingga sangat potensial sengketa ini diselesaikan melalui jalur perang. Apalagi kepulauan tersebut diklaim mengandung minyak dan gas bumi yang cukup besar.

 

Kedua negara sampai saat ini juga masih mengklaim sebagai pemilik sah kepulauan yang diperebutkan tersebut, dalam media massa Yindunixiya Shangbao edisi 12 Oktober 2012 misalnya Wakil Dubes Jepang untuk Indonesia, Yusuke Shindo mengatakan, Jepang ingin tetap menyelesaikan kasus Senkaku-Diayou secara damai.

 

Sejak ratusan tahun lalu, nelayan Jepang telah melakukan penangkapan ikan dan tinggal di kepulauan Senkaku. Berdasarkan data sejarah Jepang dan manuskrip asal Cina menyatakan Senkaku adalah pulau milik Jepang.

 

Salah satu buktinya adalah pemerintah Meiji pada tahun 1896 telah menyetujui adanya penangkapan ikan serta mengizinkan tinggal di pulau tersebut. Yusuke menegaskan bahwa pulau tersebut hingga kini masih berada dibawah pengawasan Jepang, Cina baru mengakui kepemilikan pulau tersebut tahun 1971.

 

Sementara itu pihak Cina juga mengklaim bahwa aksi Jepang untuk menarik perhatian Inggris, Jerman dan Perancis memboikot Cina terkait Senkaku-Diayou akan sia-sia. Pulau Diayou dan sekitarnya adalah wilayah Cina, sehingga Jepang menduduki wilayah Cina secara ilegal, seperti dimuat Harian Wen Wei Po Hongkong edisi 16 Oktober 2012.

 

Lantas, apa dampak buruk yang  bersifat langsung dari sengketa wilayah antara Jepang versus Cina? Zhang Monan dari Pusat Informasi Nasional Cina kepada Harian Wen Wei Po Hongkong edisi tanggal 10 Oktober 2012 mengatakan, memburuknya hubungan Cina-Jepang terkait perselisihan kepulauan Senkaku-Diayou akan berdampak serius terhadap pemulihan ekonomi dunia. Rangkaian efeknya tidak hanya membekukan ekonomi perdagangan Cina-Jepang, tetapi juga akan menimbulkan terpaan terhadap rantai suplai Asia bahkan ekonomi seluruh dunia.

 

Satu lagi analisis menarik berasal dari pakar masalah politik internasional Kantor Riset Global dan Regional Jerman kepada Harian Wen Wei Po Hongkong yang kami kutip beberapa waktu lalu. Menurut analisis mereka, persengketaan Cina-Jepang pada masalah Diayou-Senkaku sejatinya merupakan masalah peninggalan sejarah.

 

Masalah itu menyangkut masalah tanggung jawab, permintaan maaf dan kompensasi Jepang terhadap negara-negara disekitarnya dalam PD II, juga terpengaruh hubungan sekutu strategis AS-Jepang dalam Perang Dingin. Sengketa ini adalah masalah geopolitik, sehingga bukan hanya masalah Cina-Jepang, namun juga ada campur tangan AS.

 

Menurut General Manajer Takagi Securities, Satoshi Yuzaki, produsen-produsen mobil Jepang mengalami penurunan penjualan yang tajam di Cina akibat konflik klam perebutan pulau Diayou-Senkaku. Penjualan mobil Toyota mengalami penurunan sekitar 49%, Honda (41%) dan Nissan (35%) pada September 2012, seperti dilansir Harian Yindunixiya Shangbao edisi tanggal 17 Oktober 2012.

 

 

Kekuatan Angkatan Bersenjata  Cina Semakin Menguat, Angkatan Bersenjata Jepang Akan Dihidupkan Kembali

 

 

Berdasarkan data dari tim riset Global Future Institute, tim riset Global Future Institute, Cina mempunyai tentara aktif berjumlah 2.255.000 orang, tentara cadangan (800.000 orang), dan paramiliter aktif (3.969.000 orang). Angkatan Darat, Cina memiliki senjata bebasis darat sejumlah 31.300, tank sejumlah 8200, kendaraan pengangkut pasukan sebesar 5000, meriam sejumlah 14.000, senjata pendorong 1.700, sistem peluncur roket 2.400, mortir sejumlah 16.000, senjata kendali anti tank 6500, dan senjata anti-pesawat 7.700.

 

Di matra laut, Cina pun cukup berjaya. Kapal perang, berjumlah 760 unit, kapal pengangkut 1822 unit, pelabuhan utama 8, pengangkut pesawat 1 unit, kapal penghancur 21 unit, kapal selam 68 unit, fregat 42, kapal patroli pantai 368 unit 6, kapal penyapu ranjau sekitar 39 unit, dan kapal amphibi sekitar 121 unit. Menurut Harian Yindunixiya Shangbao edisi 3 Oktober 2012, kapal induk pertama Cina “Liaoning” 25 September 2012 diluncurkan dan tahun 2020 Cina akan memiliki 3 sampai 4 kapal induk. Angkatan Udara, Cina punya jumlah pesawat 1900 unit. Cukup menakjubkan. Helikopter 491 unit, lapangan udara 67 unit.

 

 

Di pihak Jepang relatif masih biasa saja menanggapi manuver Cina. Harian Guoji Ribao edisi tanggal 3 Oktober 2012 memberitakan Dua kapal induk AS “USS George Washington” dan “USS Johhon C Stennis” yang masing-masing dilengkapi dengan 80 jenis peralatan tempur canggih memasuki perairan laut Cina Selatan dan Timur.

 

Duta Besar Jepang untuk AS Ichiro Fujisaki dalam keterangan persnya pada Oktober 2012 lalu, mengatakan, AS tidak akan campur tangan dalam konflik Senkaku-Diayou, namun dia memperingkatkanb bahwa perjanjian keamanan AS-Jepang meliputi seluruh area kepulauan tersebut.

 

Jadi, untuk menghadapi Cina, Jepang memang masih sangat mengandalkan kedigdayaan Angkatan Bersenjata AS. Sebagaiman tergambar melalui hasil pertemuan Wakil Menlu AS, William J Burns dengan Menlu Jepang, Koichiro Genba pada Oktober 2012 lalu,  kedua negara telah menyepakati penempatan pesawat Ospre MV-22 milik AS di pangkalan Funtenma, Jepang sebagai bentuk mantapnya hubungan persekutuan  di antara kedua negara seperti dilansir media Wen Wei Po Hongkong terbitan Oktober 2012 lalu.

 

Begitupun, Jepang nampaknya juga secara bertahap akan menghidupkan kembali kekuatan angktan bersenjatanya.

Pertama, pada Desember 2010 lalu, Tokyo telah mengumumkan haluan Pertahanan Baru sebagai respons atas meningkatnya anggaran militer Cina dan sepak-terjangnya di kawasan Asia Pasifik. Berarti, ada satu tren terjadinya militerisasi baik di pihak Jepang yang notabene masih terikat pada perjanjian persekutuan keamanan bersama antara Jepang dan Amerika Serikat.

 

Kedua, sebagai konsekwensi dari haluan baru pertahanan Jepang untuk mengimbangi kekuatan militer Cina, Jepang memutuskan untuk menjalin kerjasama strategis dengan Amerika Serikat untuk menjamin keamanan nasional Jepang. Dan konsekwensinya, Jepang akan mempersilahkan kehadiran militer Amerika di Jepang (Mainichi Daily News, 2011).

 

Namun demikian di tengah semakin memanasnya ketegangan antara Jepang versus Cina di Laut Cina Selatan maupun Laut Cina Timur, analisis  Peter Gill dan Mark Phythian dalam buku “Intelligence in an Insecure World : Cambridge : Polity (2006) menarik juga untuk disimak.

 

Menurut Peter Gill dan Mark Phythian, tidak menutup kemungkinan sengketa Senkaku-Diayou terus akan “dipelihara” oleh Amerika Serikat sebagai “proxy war” yang dapat mencegah Cina akan menjadi negara kuat pada 2049.

 

Oleh karena itu, dalam setiap sengketa di era ancaman yang bersifat asimetrik sekarang ini selalu harus dilihat dalam konteks “what lies beneath in the surface” nya, karena dari sudut constructivism yang kemungkinan sedang dijalankan AS adalah mereka ingin menciptakan landscape tata dunia baru yang menguntungkan mereka, terutama terkait dengan kemungkinan perebutan energi, air dan pangan di masa depan.

 

Apalagi futurolog AS, Dr Samuel Huntington dalam bukunya the Clash of Civilization memprediksi akan pecah konflik militer terbuka antara Amerika dan Cina di kawasan Asia Pasifik pada sekitar 2014-2017.

Hendrajit